Keesokan paginya, Noir terbangun dengan tubuh yang terasa seperti habis dihajar pertempuran panjang—meskipun itu bukan jenis pertempuran yang dia harapkan. Tubuhnya lemas, setiap otot seakan memberontak ketika dia mencoba bangkit dari tempat tidur.
Matanya berat, dan kepalanya berdenyut. "Aku... aku merasa seperti habis kehilangan semua energi," gumamnya sambil meraih kepalanya, mengusap rambut yang kusut. Semalaman, Raphael benar-benar memaksanya, membuatnya merasa tak berdaya, meskipun dia adalah salah satu ras Angel terkuat yang pernah ada.
Saat Noir mencoba berdiri, kakinya terasa goyah, dan dia hampir jatuh. "Ini... terlalu berlebihan," desahnya, nyaris tidak bisa berdiri tegak. Wajahnya pucat, dan matanya terlihat sayu, seolah dia belum tidur selama berhari-hari.
Saat Noir melangkah keluar dari kamar, langkahnya lamban dan tidak bersemangat, jelas menunjukkan bagaimana ia dipaksa untuk mengeluarkan tenaganya semalaman. Raphael, yang berdiri di dapur dengan sikap tenang, menatapnya dengan senyuman kecil di bibirnya.
"Sudah bangun, Sayang?" tanya Raphael, suaranya lembut namun penuh makna. Dia tampak segar bugar, berbeda 180 derajat dari Noir yang sekarat karena kelelahan.
Noir hanya bisa mengangguk pelan, terlalu lelah untuk menjawab dengan kata-kata. Dalam hati, dia tahu kalau hari ini akan panjang, apalagi dengan Blanc yang mungkin masih mendengarkan setiap gerakan di kamar sebelah semalaman.
Noir melirik Raphael yang tampaknya kembali ke bentuk aslinya sebagai seorang malaikat dengan sikap tenang dan anggun. "Dia menjadi Angel lagi... padahal semalam dia menjadi iblis..." gumam Noir, kelelahan masih jelas terlihat di wajahnya.
Blanc kemudian memasuki ruangan sambil menguap, di sampingnya berdiri Beelzebub, yang tampaknya masih malas bangun pagi. "Noir... lain kali kalau main jangan terlalu brutal. Aku tidak bisa tidur semalam," gumam Blanc, suaranya terdengar menyesal namun masih menyimpan nada kekesalan.
Noir hanya bisa mengangkat bahu, merasa sedikit canggung. "Salahin aja orang itu..." ucap Noir sambil menunjuk ke arah Raphael yang tengah bersama Chlaire, menyiapkan sarapan dengan tampilan ceria dan tanpa beban. Chlaire, yang tampaknya tidak terlalu mengerti situasi, hanya membantu dengan penuh semangat, seolah hari-harinya adalah rutinitas yang menyenangkan.
Raphael, mendengar Noir yang menuduhnya, tersenyum manis dengan tatapan tajam. "Oh, jadi ini semua kesalahanku?" tanyanya, nada suaranya terdengar lembut tapi jelas ada maksud di baliknya.
Noir menelan ludahnya dengan gugup. "Gek..." gumamnya, sadar bahwa dia mungkin sudah menyinggung Raphael terlalu jauh.
Blanc, yang ikut memperhatikan situasi, tersenyum dan menambahkan, "Kamu memang benar-benar lemah terhadap wanita ya..." Ucapnya sambil memutar mata, lalu tiba-tiba memegang perutnya sambil berkata setengah menggoda, "Aku ingin suatu saat nanti kau beri aku hadiah yang lebih besar..." senyumnya penuh makna.
Namun, sebelum Blanc sempat melanjutkan, Raphael tiba-tiba menaruh gelas dengan keras di atas meja, membuat semua orang di ruangan berhenti bergerak. "Nona Blanc..." ucapnya dengan senyum yang tak lagi ramah. "Kamu di awal sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan... jadi..." senyum Raphael berubah menjadi sadis, dan Blanc terlihat mulai ketakutan. "Tidak ada lagi hadiah itu... sebelum aku selesai bermain selama tiga hari lagi..." lanjut Raphael dengan nada yang menyeramkan.
Blanc, merasa terancam, menelan ludah dan berbisik, "Tu-kau... apa kau mau membunuh suamimu...?"
Raphael, tanpa mengurangi senyumannya yang tajam, menjawab, "Ini bukan apa-apa bagi seseorang yang pernah menghancurkan Netherworld... Dan kamu, Noir-kun, tidak boleh mengeluh." Pandangannya menusuk Noir, yang tampak semakin kecut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dead or Alive in Second Life : RE
FantasyBercerita tentang anak SMA biasa bernama Takumu Hiyoshi yang di reinkarnasikan sebagai World Order yang baru. Demi menjaga tatanan di sana, Takumu menyembunyikan identitasnya dengan Bereinkarnasi kembali menjadi anak dari kepala desa di wilayah Nord...