Setelah momen menegangkan itu, Misha dengan cepat dan penuh ketegasan, menarik Haruto ke lorong kecil di dekat kota setelah situasi mulai mereda. Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, dia memastikan tidak ada orang di sekitar, lalu melepaskan genggaman tangannya dari lengan Haruto.
"Haruto, apa yang kau lakukan barusan?" tanya Misha, suaranya berbisik tapi tegas. Tatapannya tajam, dipenuhi rasa cemas namun juga keteguhan sebagai seorang pemimpin.
Haruto masih terdiam, menunduk, tidak langsung menjawab. Kepalanya penuh dengan pertanyaan yang tidak bisa dijelaskan begitu saja, emosi yang bercampur aduk dan rasa frustrasi yang belum sepenuhnya pudar.
"Aura yang kau lepaskan tadi... Kau hampir saja memicu kekacauan di seluruh kota. Apa yang terjadi padamu?" Misha melanjutkan, kini suaranya lebih lembut, seolah berusaha mencari jawaban dengan pendekatan yang berbeda.
Haruto akhirnya menatap Misha, ekspresinya terlihat lelah. "Aku... tidak tahu apa yang terjadi. Semuanya terasa begitu... salah." Dia menarik napas panjang, mencoba menjelaskan perasaan kacau di dalam dirinya. "Aku merasa terjebak. Semua tekanan, semua tanggung jawab... Aku bahkan tidak yakin siapa diriku lagi."
Misha mendengarkan dengan seksama, meskipun di dalam pikirannya banyak hal yang berkecamuk. Ia memahami bahwa di balik kekuatan Haruto, ada tekanan besar yang sedang dipikulnya. Namun, ledakan emosi seperti tadi bisa berbahaya, bukan hanya bagi Haruto, tapi juga bagi kerajaan.
"Kita semua memiliki beban, Haruto," ucap Misha setelah jeda singkat. "Tapi kau tidak bisa membiarkan itu menghancurkanmu, apalagi membuatmu kehilangan kendali di depan orang lain."
Haruto mengangguk pelan, tapi masih terlihat jauh dari tenang.
"Besok kita akan membicarakan ini dengan lebih tenang. Sekarang kau perlu istirahat," kata Misha, suaranya kembali tenang dan penuh otoritas. "Ingat, kau tidak sendirian dalam menghadapi ini."
Haruto menghela napas panjang, mengangguk pelan, lalu melangkah menjauh dari Misha menuju kembali ke asrama. Kepalanya masih dipenuhi keraguan, tetapi setidaknya dia tahu bahwa ada seseorang yang memperhatikannya, meski jalan yang harus ia lalui masih panjang.
["Lapor, energi abnormal kembali terasa ... apakah anda ingin menggunakan Gluttony untuk menyerapnya ...?"]
"Ahh ... lakukan ..."
["Dimengerti ... Penyerapan selesai ... Individu Misha von Ascham sedikit terkejut dan dia masih bersandar di dekat sana ..."]
"Energi dari iblis ... ya ..."
Saat Haruto hendak memasuki asrama, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh sosok yang berdiri di pintu masuk—Kepala Ksatria Akademi, seorang pria berpostur tinggi dengan baju zirah perak berkilau yang menatapnya dengan tegas.
"Haruto, aku diberi perintah untuk tidak membiarkanmu masuk ke asrama sebelum kau melunasi pembayaran akademi," ucap Kepala Ksatria tanpa ragu.
Haruto menatapnya dengan wajah lesu, tubuhnya masih terasa berat setelah insiden sebelumnya. "Jadi, aku tidak boleh masuk?" tanya Haruto, meskipun dia sudah bisa menebak jawabannya.
"Itu perintah langsung dari administrasi. Sampai pembayaranmu diselesaikan, kau tidak diizinkan menggunakan fasilitas apa pun, termasuk asrama."
Haruto merasa frustrasi lagi, tetapi dia sudah terlalu lelah untuk berdebat. Semua kejadian dalam beberapa pekan terakhir—tekanan dari akademi, emosi yang meledak-ledak, dan kini masalah keuangan—terus menumpuk, seolah dunia sengaja mengujinya tanpa henti.
"Dan kalau aku tak bisa melunasinya?" Haruto menatap Kepala Ksatria, nadanya datar, tanpa harapan.
Kepala Ksatria tidak segera menjawab, namun ekspresinya sedikit melunak. "Kau harus mencari solusi. Entah bagaimana, kau perlu menyelesaikannya secepat mungkin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dead or Alive in Second Life : RE
FantasyBercerita tentang anak SMA biasa bernama Takumu Hiyoshi yang di reinkarnasikan sebagai World Order yang baru. Demi menjaga tatanan di sana, Takumu menyembunyikan identitasnya dengan Bereinkarnasi kembali menjadi anak dari kepala desa di wilayah Nord...