Chapter 88 - Kekalahan Telak

2 1 0
                                    

Hiyoshi berdiri di tengah arena, napasnya masih tersengal-sengal, menatap Elara yang terpental akibat hantaman terakhirnya. Penghalang pelindung yang membatasi arena mulai pecah, menunjukkan betapa hebatnya benturan tersebut. Para pengajar yang berjaga di sisi arena langsung bergerak cepat, mendekati Elara yang terbaring tak sadarkan diri.

"Sensei!" seru salah satu pengajar sambil memeriksa denyut nadinya. Yang lain segera merapalkan mantra pemulihan untuk memastikan kondisinya stabil.

Kerumunan murid yang semula riuh dengan sorakan kini terdiam dalam keheningan, menahan napas. Wajah mereka mencerminkan keterkejutan melihat pertarungan yang begitu sengit. Tamamo, yang sebelumnya tenang, tampak sedikit khawatir saat melihat Elara tak sadarkan diri, meskipun ia tahu ini hanyalah latihan. Ayumu berdiri dengan ekspresi kaku, menahan diri untuk tidak berlari mendekati Hiyoshi. Sementara Tania memandang dengan mata terbelalak, tercengang oleh kekuatan yang baru saja diperlihatkan Hiyoshi.

Adelina berbisik dengan suara rendah, "Apakah... Elara-sensei benar-benar kalah?"

Seorang pengajar senior mengangkat tangannya, memberikan tanda bahwa pertandingan sudah berakhir. "Pertarungan selesai!" serunya. "Pemenangnya adalah Hiyoshi!"

Suara pengajar itu menggema di seluruh arena. Para murid yang tadinya terdiam mulai bergumam, menyadari bahwa mereka baru saja menyaksikan sesuatu yang luar biasa. Elara, yang biasanya tak terkalahkan, telah tumbang di tangan murid yang lebih muda.

Sementara itu, Hiyoshi menatap tangan dan tubuhnya, seolah baru menyadari kekuatan yang ia gunakan. Sakit di lengan dan kakinya masih terasa, tapi lebih dari itu, perasaan lega dan kemenangan perlahan merayap ke dalam dirinya.

"Apa yang baru saja terjadi..." gumam salah seorang murid.

Akiko yang menjaga Karin menghela napas lega ketika melihat Hiyoshi baik-baik saja. "Dia benar-benar melampaui batasannya..." gumam Akiko dengan nada bangga.

Di sisi lain, Elara mulai membuka matanya perlahan, sadar kembali diiringi mantra penyembuhan dari para pengajar. Meski kalah, wajahnya menunjukkan senyum kecil, seolah mengakui bahwa dia telah dihadapkan dengan lawan yang pantas. Elara tersenyum pahit sambil berusaha bangkit dengan bantuan pengajar lainnya. "Kau benar-benar sudah berkembang pesat, anak muda..." ucapnya lirih.

Di arena, sorakan dan tepuk tangan akhirnya pecah, memenuhi udara sebagai bentuk penghormatan kepada kedua petarung yang telah menunjukkan kemampuan luar biasa mereka.

Elara, yang sudah mulai pulih dari mantra penyembuhan, berdiri tegak dan menatap Hiyoshi dengan sorot mata yang penuh respek. Dia menyeka keringat di dahinya sambil tersenyum tipis, menutupi rasa lelah dan sakit yang masih ia rasakan.

"Yaah, aku benar-benar tidak menyangka ... kau bisa melemparku sejauh itu," ucapnya, suaranya terdengar tulus, tanpa tanda kemarahan atau kesal. Justru, ada nada kebanggaan dalam kata-katanya.

Hiyoshi yang mendengar itu segera mengangkat kepalanya, rasa lega bercampur semangat terpancar dari matanya. Ia lalu mengangguk pelan, dan ketika Elara melanjutkan, "Seperti yang aku janjikan ... apa yang akan kamu minta dariku?" suaranya penuh kepercayaan.

Dengan napas yang masih sedikit terengah, Hiyoshi menjawab, "Aku berterima kasih pada Anda, Sensei. Saya ingin bertarung satu lawan satu lagi di kesempatan yang lain ... namun kali ini, dengan kekuatan penuh 100% dari kita berdua."

"100% melawan 10% itu tidak adil nampaknya ..." lanjut Hiyoshi.

Mendengar permintaan Hiyoshi, Elara terdiam sejenak, memandang murid yang baru saja berhasil mengalahkannya. Senyumnya perlahan berubah menjadi tawa kecil, tanda bahwa dia menyukai tantangan yang diberikan Hiyoshi. "Aku akan menunggu saat itu," jawabnya. Ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

Dead or Alive in Second Life : RETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang