Met malam. Aram dan Si Abang datang lagi nih menyapa. Maaf agak malam ya.
======0000======
Rahim terpana mendengar ucapan Jalal. Ada gejolak kebahagiaan dalam dadanya dan mengaliri keseluruh sendi-sendi dan urat nadinya. Dia bahkan lupa untuk tersenyum. Meski sebenarnya jawaban dari omnya itu sudah dia perkirakan, tetapi tetap saja itu membuatnya bahagia.
"Jadi, bagaimana?" tanya Jalal memecah keheningan. Rahim memandang kedua orang tuanya.
"Bagaimana Yah, Bun?"
"Kenapa kamu menanyakan kepada kami? Bukankah saat kamu melamar Aram saja kamu nggak memberitahukan kepada orang tuamu." Sahut Bayu dengan santai.
Bukan Bayu tidak mau menanggapi keinginan putranya, namun dia juga harus tegas. Rahim yang berbuat berarti dia juga yang harus bertanggungjawab dengan perbuatannya.
Rahim tertunduk. Dia merasa bersalah kepada orang tuanya.
"Maafkan aku Yah, Bun. Aku nggak ada niat menyembunyikan semua ini, hanya saja terlupa karena terlalu kepikiran dengan hubungan kami saat itu." Salima tersenyum. Dia menghampiri putra dan duduk disamping Rahim. Tangannya mengusap lembut bahu pemuda itu.
"Nggak usah dipikirkan ucapan Ayah tadi. Kami memang terkejut mendengar kamu sudah melamar Aram, tetapi kami juga bisa memakluminya, bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kita cinta sehingga hati dan pikiran kita tersita karenanya." Ucap Salima dengan lembut. Rahim mengangguk, dia tersenyum kepada bundanya.
"Jadi bagaimana Rahim?" tanya Jalal sekali lagi. Kali ini Rahim mengangguk setuju.
"Baiklah Om. Aku terima persyaratan Om, meski rasanya berat untuk melepaskan Dek Aram kembali kesana. Tapi aku akan berusaha untuk bersabar menunggunya." Akhirnya semua bisa menarik nafas lega.
"Bagus. Itu jawaban yang Om tunggu. Dan yang pasti selama Aram menyelesaikan tugasnya disana, kamu tidak boleh menemuinya sampai masa tugasnya selesai," raut wajah Rahim berubah, "kecuali untuk menjemputnya nanti kembali ke Jakarta." Kata Jalal lagi.
Aram memandang abangnya dengan perasaan kasihan. Dia mengerti perasaan pemuda itu, sebagaimana yang dirasakannya juga saat ini. Tapi apa boleh buat. Aram tentu saja tidak bisa meninggalkan tugasnya sekehandak hatinya. Masih ada tanggungjawab yang harus dia selesaikan.
"Iya Om, aku mengerti. Aku akan bersabar menunggu Dek Aram menyelesaikan tugasnya, dan biar nanti aku yang akan menjemputnya kesini." Sahut Rahim dengan lemah. Jalal mengangguk.
"Baiklah. Om pegang janji kamu."
"Iya Om."
******
Aram menyandarkan kepalanya di dada abangnya. Tangan kekar Rahim merangkul tubuh mungil Aram kedalam pelukannya. Kini mereka berdua duduk di teras belakang. Tidak ada yang bersuara. Keduanya menikmati masa-masa kebersamaan mereka saat ini. Karena besok harus berpisah cukup lama. Sesekali Rahim mencium rambut Aram, sementara Aram hanya tersenyum bahagia.
Yah, Aram bahagia. Meski harus berpisah cukup lama, namun dia lega. Perasaannya bersambut, kini abangnya menerima cintanya dengan tangan terbuka. Sekarang lelaki itu sudah menjadi miliknya. Semuanya tentang abangnya akan menjadi miliknya.
"Bang..."
"Hm..."
"Abang kenapa diam saja?" Rahim menghela nafas.
"Abang harus ngomong apa?" Aram tersenyum.
"Apa aja. Asalkan jangan diam aja." Rahim masih terdiam, "Abang sedih ya pisah sama Aram?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BIARKAN AKU JATUH CINTA
FanfictionAku bukan ingin mencintai karena nama dan kekayaan. Aku hanya ingin cinta yang sederhana, tidak rumit dan nyaman. Karena itu aku jaga hatiku agar tidak mudah luruh terhadap segala rayuan. Aku hanya ingin mencari yang benar-benar tulus, bukan hanya c...