Selamat siang, jumpa lagi dengan Dek Aram dan Bang Rahim. Maafkan aku belum bisa membalas komentar dipart sebelumnya. Aku masih sibuk mempersiapkan mau mudik. Jangan bosan untuk komen, meski selalu telat untuk dibalas ya.
======000=====
Sebulan sudah berlalu. Aram dan Dhea menghabiskan hari-hari terakhir mereka di tempat itu. Dhea yang seminggu terlebih dahulu selesai melaksanakan tugasnya, tidak langsung pulang. Dia sengaja menunggu Aram, sehingga mereka bisa pulang bersama-sama. Sementara Sita, semenjak seminggu ini dia menginap dirumah dinas kedua gadis itu. Terasa sekali Sita berat berpisah dengan kedua sahabatnya yang ramah dan baik hati.
Malam itu, malam terakhir keberadaan mereka di desa tersebut. Aram, Dhea, Sita, dan Rio serta berapa anak remaja mengadakan sedikit pesta bakar ikan dipinggir pantai.
Aram dan Rio duduk agak jauh memperhatikan mereka yang sedang membakar ikan, ubi, serta menyiapkan untuk makan malam. Aram duduk memeluk lututnya sembari sesekali mengeratkan baju tebalnya. Sementara Rio duduk sembari sesekali mengetuk-ngetukkan ranting yang dipegangnya ke pasir. Cukup lama keduanya terdiam, hanya memperhatikan yang lainnya sedang sibuk membakar ikan.
"Bang..." akhirnya Aram memecah keheningan antara mereka berdua. Rio menoleh.
"Ya?"
"Abang benar nggak ikut aku ke Jakarta?" Rio kembali memalingkan wajahnya, dia menghela nafas.
"Entahlah. Rasanya aku masih belum siap."
"Lalu kapan Abang siap? Ini hari terakhirku Bang. Besok aku pulang. Setidaknya aku punya jawaban dari Abang." Rio menunduk. Rasanya berat jika harus membuka hatinya kembali. Meski cinta yang dulu sudah bisa dia hapus, namun rasa perihnya masih terasa. Dan Rio tidak ingin mengulang kembali rasa sakit hatinya itu. Dia masih tidak percaya kalau adik dari gadis disampingnya itu menyukainya. Apalah arti dirinya dimata gadis itu? Bukankah masih banyak laki-laki yang pantas jadi kekasihnya. Kenapa harus dia? Bukan Rio tidak ingìn, tetapi ketika mengingat keluarga besar Aram, apalagi ayahnya, membuat Rio merasa kecil.
"Aku hanya masih tidak percaya kalau adikmu menyukaiku. Apa yang dilihatnya dariku? Aku tidak mau menjadi geer sendiri." Aram tersenyum. Dia menoleh.
"Aku juga tidak tau Bang. Tapi menurutku, banyak kelebihan Abang yang membuat Zee tertarik sama Abang. Aku saja meski tidak mencintai Abang, tapi aku menyukai kok. Berada didekat Abang tuh nyaman. Dan aku yakin Zee juga merasakan hal yang sama." Rio terkekeh.
"Kamu bisa aja bikin aku geer." Aram berdecak.
"Aku serius Bang. Asal Abang tahu, kami ini keturunan dari orang-orang yang selalu memegang teguh hati kami. Karena sekali kami mencintai seseorang, maka itulah yang akan terus kami pertahankan. Tanpa memperdulikan orang tersebut pantas atau tidaknya. Abang nggak perlu minder, percaya aja sama diri Abang sendiri. Karena pada hakikatnya kita ini sama saja. Harta, jabatan, kekuasan itu hanya pakaian saja. Jika semua itu nggak ada, semua manusia akan sama. Jadi Abang hanya perlu meyakinkan hati Abang saja."
"Kamu mudah mengatakan hal itu karena kamu tidak berada diposisiku." Aram tertawa.
"Ya mungkin saja sih. Tapi aku pikir jika seseorang selalu berpikir positif dan selalu menjadi dirinya sendiri tanpa merasa minder dengan keadaannya, maka pikiran seperti Abang itu nggak akan pernah ada. Atau begini saja, aku tanya nih ya. Menurut Abang, Zee itu gimana? Kan Abang sudah pernah ketemu dan sudah pernah jalan jugakan sama dia?" Rio mengangguk, "lalu penilaian Abang tentang dia gimana dan apa yang Abang rasakan sewaktu bertemu dan jalan dengannya, sampai sekarang? Jujur aja Bang, jangan sampai Abang menyesal nantinya." Rio tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIARKAN AKU JATUH CINTA
FanfictionAku bukan ingin mencintai karena nama dan kekayaan. Aku hanya ingin cinta yang sederhana, tidak rumit dan nyaman. Karena itu aku jaga hatiku agar tidak mudah luruh terhadap segala rayuan. Aku hanya ingin mencari yang benar-benar tulus, bukan hanya c...