Kebebasan Atau Kebinasaan

4.4K 231 1
                                    

Agam melewati Rafi, lalu menghampiriku seraya menatap lekat wajah lebam ini. Apa dia mengenalku?

Aku tatap balik sorotan matanya dengan pandangan kehancuran yang aku rasakan. Aku perlu bantuannya untuk bisa keluar dari tempat sialan ini, aku sungguh perlu bantuan. Yaa, aku perlu bantuan dari Agam.

Aku masih menatapnya dalam, Agam jongkok tepat di hadapanku dan tanpa membuang waktu lagi aku langsung berhambur ke dalam pelukannya. "Tolong gue! bawa gue pergi dari sini, lo boleh ngelakuin apapun ke tubuh gue, asal jangan biarin para pecundang itu nyentuh tubuh gue!" bisikku penuh penekanan, Agam sepertinya terkejut atas tindakan ku yang tiba-tiba memeluknya, lalu tanpa di duga Agam melepaskan pelukan ini di tubuhnya. Aku takut! apa Agam tak ingin menolongku. Tapi, ternyata dugaan itu salah, ternyata dia ingin membuka jaket yang melekat di tubuhnya dan memakaikan ke tubuhku, setelah itu Agam mengangkat tubuh lemah ini dengan hati-hati.

Oh Tuhan.. Agam menolongku.

"Lo mau bawa dia kemana?" tanya Rafi keheranan.

"Dia urusan gue!" ucap Agam dan berlalu begitu saja meninggalkan si pecundang Rafi.

Rafi mengerutkan dahi, lalu didetik selanjutnya tawa renyah pun menggema di seluruh ruangan. "Ternyata lo yang mau maen-maen sama dia. Have fun Gam, hati-hati aja maennya udah bonyok itu soalnya," ucap Rafi setengah berteriak. Agam hanya diam tak menanggapi omongan sampah si Rafi itu. Pelan-pelan aku melirik ke atas untuk bisa melihat wajahnya. Wajah ini yang telah menolongku dari kesengsaraan.

"Thank ya!" ucapku tulus kepadanya.

"Gue gak butuh ucapan terima kasih lo, lo lupa apa yang lo katakan di dalem tadi?" jawabnya dingin dengan tatapan lurus ke depan, "karena lo udah nuduh gue bantu pengen dapet imbalan tubuh lo, okey, kalo itu yang ada di pikiran lo, gue akan tagih janji itu."

Hm.. sepertinya aku melupakan sesuatu.

"L-lo.. lo mau bawa gue kemana?"

"Lo itu milik gue, jadi lo harus ikut kemana pun gue pergi!" setelah itu dia memasukan tubuhku ke dalam mobil nya.

Oh Tuhan! ini kebebasan atau malah kebinasaan?

***

Agam membaringkan tubuhku di tempat tidur, sepertinya aku dibawa ke apartemen miliknya. Dan setelah itu dia meninggalkanku, sungguh pria yang aneh, apa maksudnya membawaku ke apartemennya lalu meninggalkanku sendiri di sini. Rasanya kepala ini hampir pecah memikirkan sesuatu yang tidak penting, mana badan pula terasa sakit, seluruh badanku remuk.

"Obati luka lo!" Aku tersentak mendengar suara Agam lagi, perlahan aku melirik kotak obat yang disodorkannya tersebut lalu mengambilnya, aku pandangi kotak obat itu dalam diam, bingung juga bagaimana caranya agar bisa mengobati luka ini sendiri. Sedangkan, aku tak mampu melihat wajahku ini.

"Ish sini!" Agam merebut paksa kotak obat yang aku pegang dan langsung membukanya. "Kalo diliatin doang ini obat, gak bakal ngobatin luka lo sendiri!" Ucapnya lagi dan mulai mengobati lukaku.

Aku tercengang.

Pikir dong Gam, mana mungkin aku bisa ngobatin luka ini sendiri. Aneh! malah marah-marah lagi, kesel deh.

"Aww! sakit!" aku memekik nyaring. Namun, ia terus saja mengobati lukaku tanpa ampun, mengabaikan rintihan kesakitanku tersebut.

"Aww! pelan-pelan kek!"

"Aduh duh!" ringisku sambil memegang tangannya yang sedang mengobati itu, tapi dia terus saja mengobati luka ini walaupun sudah aku pegang erat tangannya

"Adaw! Agam!" teriakku histeris, bukan lebay tapi ini benar-benar sakit. Aku tatap wajahnya dengan tatapan horor tapi ia malah tersenyum kecil karena telah  membuat aku tersiksa. Pria aneh! aku baru tahu kalau Agam senyebelin ini, Tuhan.

"Selesai. " ucapnya santai seperti tak membuat penganiayaan terhadapku saja. Lalu dengan telaten Agam membereskan semua obat-obatan itu dan menaruhnya kembali ke atas laci dekat tempat tidur.

"Mulai sekarang lo tinggal sama gue." Ucap Agam seraya menatapku datar.

"HAH! Jawabku refleks sebab tak percaya dengan apa yang di katakannya tadi.

"Lo lupa?" lagi-lagi dia mengingatkan tentang perkara ucapan asalku waktu lalu. Ya Tuhan, aku terjebak. "Setidaknya sampe luka lo hilang," tuturnya lagi.

"Ya ya ya, oke terserah!" ucapku pasrah seraya memutar bola mata jengah.

"Jangan macem-macem sama si Rafi! dia itu gila, masih untung lo nggak mati!"

"Gue nggak pernah takut sama pecundang!"

"Nantangin ya lo orangnya?" Aku menoleh lalu mendapati Agam tengah tersenyum tipis di sana.

"Kalo emang dia salah gue beranilah nantanginnya, ngapain takut!" kataku bangga.

Agam hanya diam tak menanggapi lebih tentang perkataan terakhirku itu, yang ku lihat, dia hanya menatapku dengan sorotan yang sulit diartikan. Apa sebenarnya yang sedang dia pikirkan?

"A-apaan?!" tanyaku gugup karena Agam hanya diam memandangiku, lalu entah karena ada apa, yang jelas Agam mulai mendekatkan dirinya hingga jarak kami begitu dekat. Aku duduk tegak di atas kasur dan Agam juga duduk di hadapanku, perlahan Agam melingkaran tangannya di pinggulku dan dengan gerakan cepat dia menarik tubuhku untuk lebih dekat padanya.

Deg.

"Gue nagih janji lo sekarang," bisiknya lembut seraya meniup telingaku, aku berkedip linglung, tubuhku kenapa seketika memanas? sedangkan, diposisinya Agam menatap wajahku dalam-dalam, lalu dia merunduk namun tatapannya terus mengunci mataku. Ahh, sepertinya dia akan menciumku.

Aku menelan saliva susah payah, aku sungguh gugup! tangan ini pun bergetar menahan Agam yang sebentar lagi pasti akan menciumku. "Gam.. bibir gue luka lho, bekas bogeman si Rafi." Tunjukku ke arah bibir yang terluka.

"Tenang aja gue maennya lembut, gue gak akan ngelukai lo, percaya deh," ucapnya seraya menyentuh lembut bagian bibir bawahku. Dan oke, aku tak bisa beralasan lagi, sekarang aku terbuai akan sentuhan Agam, dan dia juga sudah mencuri ciuman pertamaku, ciumannya yang lembut dan begitu singkat. Lalu perlahan Agam mendorong bahuku pelan sehingga aku jatuh tepat di bawah tubuhnya.

Oh No!

"Hm A-agam gue laper.." Ucapku terbata, tubuh pun sudah berkeringat dingin dengan tanganku yang masih menahan tubuhnya.

"Makan gue aja lo pasti kenyang."

Hah?

Tanpa diduga, dengan gerakan cepat Agam kembali mengecup bibirku lembut dan ini sangat memabukkan, ciuman Agam yang tadinya lembut pun lama-lama berubah kasar, dia terus saja melumat bibirku dan memberikan gigitan-gigitan kecil di sana. Agam melepaskan tautan bibirnya, deru napas kami terdengar tak beraturan. Sungguh kami kehabisan napas.

Aku menatapnya malu. Hembusan napas Agam menerpa wajahku yang sedang mengatur napas juga, kemudian Agam merunduk lagi ke bawah demi mencium leher putihku yang terekspos. Tangannya tak tinggal diam, dengan gerakan tergesa-gesa ia membuka kancing kemejaku. Sementara bibirnya terus saja menyusuri leherku sampai ke bawah, ke bawah dan kemeja yang aku kenakan pun sudah terbuka sepenuhnya.

Lalu..

Tok tok...

***

Touch Love (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang