Chapter 23. The First Warning

7.1K 416 3
                                    

Bukankah setiap hati ada pemiliknya? Lalu mengapa memaksa hati tetap hadir? Bahkan memaksa yang jelas bukan pantasnya.

***

Alena berjengit keheranan saat melangkahkan keluar kelas dan berbelok kearah kanan. Yang mana memperlihatkan Vano sedang bersedekap sembari bersandar di tembok. Banyak pasang mata siswi yang sengaja mencuri curi pandang kearah cowok itu. Namun Vano, tetaplah Vano. Dia menghiraukan semuanya.

Vano memalingkan wajahnya kekiri, melihat Alena yang sedang menatapnya dengan kerutan dahi yang tecetak jelas.

Vano mendekat kearah Alena dan mengusap kerutan didahi itu. "Enggak usah berfikir terlalu keras. Lo juga tahukan alasan gue kesini?"

Alena tetap diam membisu. Apa Vano tidak melihat semua tatapan siswi yang memekik karena perlakuan Vano barusan? Menarik lengan untuk mendekat. "Karena gue mau anter lo pulang!"

Lengannya ditarik paksa oleh Vano dan membawanya keparkiran. Alena pasrah akan hal itu. Jika dia menolak hanya akan menyusahkan dirinya saja, Vano tetaplah Vano yang akan berdebat hingga keinginannya terwujud.

Oh sialan!

Saat sedang menuju parkiran langkah Alena terhenti, "Van!"

Vano menatap kearah alena yang mencengkram erat tasnya, "ada apa?"

"Gue ketoilet bentar ya!"

Vano tersenyum dan mengangguk. Membiarkan Alena pergi ketoilet. Dia duduk di kursi panjang depan ruang BK. Ruangan yang sering dia keluar masuk karena berbagai kasus yang dilakukannya.

Alena menatap dirinya dipantulan cermin toilet sekolahnya. Merapihkan sedikit rambutnya.
Kemudian muncul seorang perempuan yang Alena yakini masih murid SMA Cahya Gemilang 69. Terbukti dari seragam yang dia pakai sama dengan seragam yang dipakai dirinya.

Lagipula mana mungkin sekolah ini mengizinkan dengan mudah murid lain keluar masuk sekolah ini dengan mudah. Belum lagi ada satpam yang menjaga dengan ketat!

Alena melihat jika siswi itu menatap tajam kearahnya. Dan jujur saja Alena bingung, kenapa dia menatap dirinya seperti ingin membunuh saja?

Terlebih Alena tidak kenal dengan siswi itu. Apa dia punya salah pada siswi itu? Sehingga siswi itu menatap tajam dirinya?

Siswi tersebut mendekat kearah Alena. Dia adalah Dara. Si tukang labrak! "Lo yang namanya, Alena?"

Bahkan Alena yakin jika dia berbicara dengan nada ketus dan raut wajah yang tak mengenakan.

Alena memalingkan wajahnya kearah Dara. Sembari berusaha mengendalikan dirinya untuk tetap tenang dan jangan mudah curiga kepada orang lain.

Alena mengangguk "Iya gue Alena. Ada apa ya?"

Dan tiba tiba tanpa ada angin berlalu atau hujan yang berkelabu, Dara mendorong Alena dengan keras, gadis itu merasakan jika punggung nya terasa nyeri karena harus berbenturan dengan tembok.

"Lo bilang, ada apa?" Dara menarik dagu Alena, memaksanya dengan segala cara untuk menatapnya. "Gue Dara. Dan gue gak suka. Ah bukan malah gue benci sama lo!"

Alena mengernyitkan dahinya. Benci? Hei, apa dia bercanda? Alena jelas bingung kenapa dara bisa benci pada dirinya?

"Benci? Tapi kenapa? Bahkan gue gak kenal sama lo!" Alena tetap tenang. Berusaha membalas tatapan tajam Dara dengan lembut.

"Lo bilang enggak kenal gue?" Dara mendekat kearah Alena dan menjambak rambut Alena yang mana membuatnya melotot sekaligus meringis menahan perih dikepala.

"Gue orang yang terkenal disekolah ini! Dan gue anak dari kepala sekolah ini!"

Dara kembali membangga-banggakan status dirinya perihal dirinya anak kepala sekolah ini.

Alena memutar bola matanya 360 derajat penuh. "Terus? Apa masalahnya?"

Dara tergelak ironi. "Well itu gak penting. Lo mau tahu kenapa gue benci sama lo?" Dara menunjuk tajam kearah Alena, "karena gue enggak suka lo dekat sama vano! Dan gue benci sama sikap lo yang sok itu! Lo sok jual mahal belaga nolak  dia!

Dara menampar pipi kiri Alena. Alena mengusap pipinya yang terkena tamparan. Dia merasa heran, mengapa Vano punya penggemar sampai sebegitu fanatiknya? Bukankah itu hak Alena untuk menerima atau tidaknya perasaan Vano? Vano saja tidak marah, kenapa dara harus marah? Konyol!

"Ini peringatan pertama dari gue! Gue mau lo jauhin Vano! Atau gue enggak segan-segan ngelakuin hal yang lebih dari ini!" setelahnya Dara keluar dari toilet, meninggalkan Alena yang sedang mengontrol dirinya untuk tidak menangis.

Alena memutar kran di wastafel dan membasuh mukanya. "Gimana bisa jauhin Vano. Vano aja sahabat gue?" Alena terkekeh berusaha menghibur dirinya sendiri dan melangkah keluar.

***

Vano bangkit dari duduknya, saat melihat Alena sedang berjalan kearahnya dengan tangan yang terus memegang pipinya. "Lo lama banget sih ke toilet doang!" Vano berprotes pada Alena. Dia pikir jika Alena terlalu lama saat di toilet.

Jelas Alena tidak terima, "Emangnya lo gak ngerti, kalau cewek ke toilet itu enggak sebentar? Lo kira jadi cewek enggak ribet?!"

Vano terkekeh dan mengedikan bahunya acuh. Jelas dia tidak tahu jika menjadi cewek itu ribet. Dia kan cowok. "Bercanda len. Ayo balik!"

***

"Len, lo kenapa dari tadi megang pipi lo mulu?"
Vano bertanya heran pada Alena. Karena dia bingung, kenapa Alena sedari tadi memegang pipinya sendiri terus menerus?

Apa dia sedang sakit gigi? Ataukah sakit hati? Yang benar saja. "Gak apa-apa, Van. Gue cuma lagi pengen pegang pipi gue sendiri."

Alena jelas harus berbohong perihal alasan mengapa dia terus menerus memegang pipinya. Mana mungkin dia berkata jujur jika alasannya karena berusaha mengenyahkan rasa perih akibat tamparan si cewek bar-bar itu.

Vano memicingkan matanya kearah Alena dan menunjukan smirknya yang menjengkelkan "Lo ngode atau gimana, sih?"

Alena mengernyitkan dahinya. kode? Kode apa?

"Lo ngode biar pipi lo gue pegang? Udah sini-sini!" Vano menarik Alena mendekat dan mencubit pelan kedua pipi mulus Alena, "Kalau mau dicubit sama gue, enggak usah ngode juga kali! Bilang langsung aja!"

jelas Alena memutar bola matanya jengah. Astaga kenapa Vano bisa berfikir konyol seperti itu? "Apa sih, Van?! Buru balik!" ucapnya dengan ketus.

"Iya-iya gitu aja ngambek!"

-------

Terimakasih sudah membaca. Aku harap kalian meninggalkan vote ataupun komentar :v See u on next chaps yett.

Hug Me Hugie (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang