Fast Lane 14.2 - Flying In Shocks

93 4 0
                                    

Batavia, or in the modern time

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Batavia, or in the modern time. People called it, Jakarta.

Adalah surga bagi orang - orang yang gemar menerima tantangan, membangun dinasti modern mereka, sebutlah, harta, tahta, wanita? Tapi buat gue, nggak sama sekali.

Hidup di Rotorua dan tumbuh besar disana, udah memberikan gue suatu pandangan hidup yang lebih dogmatis daripada hanya sekedar punya ini atau punya itu di dunia ini. — Tapi buat Ibu dan Papa, kayaknya, extraordinairé living adalah teman mereka dalam kehidupan ini. Or at least, begitulah.

Setelah menerima panggilan telpon dari Ibu, gue mendadahi Diwangka, meskipun bekas gay, bro, gue tetap respect sama dia. Asal dia tidak mengganggu pedang punya gue, gue tidak masalah.

* * * * *

Kemudian dilanjut dengan cipika cipiki dan say goodbye kepada stewardess gue dan rekan - rekan lainnya yang sedang bersantai di private lounje kami ini, gue berjalan ke hangar nomor tigabelas, melanjutkan perjalanan gue, sekarang menggunakan topi New York Yankee berwarna biru tua yang baru saja gue beli dari sebuah butik di airport ini, — tujuannya satu, untuk penyamaran, ya biar gue nggak dihampiri ladies ladies yang udah gue 'puasin' dan minta jatah lagi.

Dengan aviator dari Rayban, gue melenggang sendirian sambil menenteng flight bag gue ke hangar tigabelas. Yang gue inget, saat itu langit Jakarta udah menunjukkan pukul 4 senja hari,

Jadi matahari udah nggak terlalu panas lagi, dan dari landasan udara, elo selalu bisa merasakan bahwa ada suatu kenikmatan kecil yang tidak tergantikan. Apa ituu? Seeing the setting sun in a wild, wide, green Havana.

Sebuah kecintaan yang udah Papa tanamkan di dalam diri gue sejak gue masih kecil dahulu, baik itu saat gue berada ribuan kaki di atas udara, atau hanya satu sentimeter saja diatas tanah, gue tetap mensyukuri kedua duanya.

Kapan lagi punya kesempatan hidup di bumi ini, bro. Gue pernah membayangkan gimana jadinya ya kalau gue kalau hidup di planet pluto (udah bukan planet lagi, malah) sana. Itu juga belum bisa dipastikan apakah ada penghuninya atau tidak. Hahaha.

Setelah sampai di depan hangar, gue mencari bapak Suwandiman, Pilot heli yang biasa terima orderan buat antar orang dari bandara ke destinasi tujuan mereka yang ada di jantung kota Jakarta. Sore itu, gue mau terus terang, suasana Jakarta malah sejuk banget, mungkin karena suasana hangar yang gue datangi ini kali ya, pun gue masih inget, walaupun udah agak samar samar memori nya di kepala gue ini.

Nah, setelah gue ketemu dengan orang yang memberitahukan kalau itu adalah pak Suwandiman, dia menunjuk ke arah seorang laki - laki yang rambutnya udah banyak rambut putih putihnya, kemudian gue menyapa dia.

"Selamat sore, maaf mengganggu pak," sapa gue hangat kepada pria ini.

"Selamat sore..." — Jawabnya, dia yang waktu itu lagi asyik mengutak – atik bagian ekor dari mesin helikopter nya, dia akhirnya menoleh ke arah gue. Dari situ, ada banyak hal hal mengejutkan terjadi diantara kami berdua.

"Eh, kamu! Kamu pasti anaknya Elfa kan? Waduh... Siapa namamu, aduh, maaf, saya lupa lagi, soalnya nama orang bule, sih." wow, Okay, kok dia kayak kenal banget ya sama nyokap gue?

"Palma pak, hehe." — Jawab gue kemudian tertawa kecil.

"Iya, Palma! Nah itu, saya baru inget lagi." — Hahah si bapak ini, lucu sekali ya gaya berbicaranya.

"Saya turut berduka cita ya mengenai papamu... Mr. Neal dulu adalah teman baik saya waktu beliau masih bekerja di RI."

"Iya pak...." jawab gue menjadi lesu.

"Oke, kalau kamu datang ke saya, berarti kamu ada perlu, ada perlu apa, Palma?"

"Saya perlu tumpangan ke Kempinski pak." gue menjelaskan kepadanya.

"Kempinski... Bentar... Oh... Itu di menteng, Jakpus bukan?" tanya nya bercepat – cepat, hahahaha.

"Duh, saya kurang hafal Jakarta pak, saya bule asli Bandung, hehehee." jawab gue cengengesan.

"Oh, ya udah, nggak Papa, ayo kita langsung berangkat aja." jawabnya lagi.

Kemudian, beliau mengambil jaket fighter miliknya yang digantung tepat di dinding hangar, gue lihat, ada border bendera negara Indonesia nya, dan logo - logo keren lain yang menempel di jaketnya itu.

Setelah itu kami berdua masuk ke dalam heli Airbus 125 yang terparkir di pintu depan hangar. Gue tengok lagi, di ekor heli nya juga ada logo bendera Indonesia dan kode dari nomor heli nya. Keren juga ya, pikir gue dalam hati, nasionalisme nya dia oke punya bro.

Sebelum heli terapung apung di atas udara, dan setelah kecepatan rotor baling - baling nya stabil, dia menyuruh gue untuk memakai beberapa peralatan di dalam interior heli nya itu, yang gue agak - agak familiar sebenernya, tapi tentu saja nggak sama persis seperti di pesawat. — Setelah melalui banyak proses, dia ngomong di radio. Meng 'oke' kan jari jarinya sambil nepuk pundak gue,

"Ready to fly, son!?" ucapnya kepada gue

"Absolutely." jawab gue yang udah merasa ajeg dan siap, sambil oleng olengan karena heli udah mulai mengambang diatas tanah sambil berguncang guncang dahsyat.

" jawab gue yang udah merasa ajeg dan siap, sambil oleng olengan karena heli udah mulai mengambang diatas tanah sambil berguncang guncang dahsyat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Doyan Cewek, I Am A Boy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang