Fast Lane 14.4 - To the Hotel

742 4 0
                                    

Telpon dari Dewinta tidak terjawab karena dia menelpon gue secara sekaligus saat gue sedang berada di atas helicopter, dan sayangnya, ponsel gue tidak gue aktifkan dalam vibrate mode. Jadi panggilannya nggak kedengaran, nggak terjawab.

Next, gue mengabaikan panggilan dari Dewinta, gue nggak menelpon dia kembali, karena memang gue sedang enggak mood buat komunikasi sama dia di saat saat sibuk seperti ini.

Sekarang di jam tangan Timex gue ini...., waktu menunjukkan pukul enam petang lebih dua puluh menit, waktu Indonesia barat. Lo pasti heran, yang di absen nya Breitling, lalu kenapa yang gue pakai jam adalah jam Timex, kenapa Timex, bro Palma?

Mungkin lo akan berkata, sorry ya, kan itu bukan jam tangan hi end. Palma is ugly, wearing a low-end stuff, yuck, disgusting. Kenapa tidak pakai Titus, Patek Phillipe, Rolex atau IWC saja? — Begini ya... alasannya cuma satu sebenernya, kenapa gue tetap pakai Timex. Ya karena Timex memang jam tangan yang bagus, modelnya selera gue banget di saat gue sedang tidak ingin dan butuh untuk pakai jam tangan yang lainnya. Timex Weekender. Adalah salah satu jenis jam yang sangat gue sukai. Karena memang saat sedang tidak berada di pesawat..., Breitling nggak gue butuhkan.

Buat gue budget bukanlah masalah (Kelihatan banget ya tukang bohongnya, disuruh beli Jaeger-LeCoultre pasti megap megap setengah mati gue), tapi buat gue selera lebih penting. — Kalau udah selera terhadap satu barang, gue nggak peduli mau orang bilang barang itu remeh, low class dan segala macamnya, masa bodoh. Kalau gue nyaman memakainya, ya gue pakai.

Next, setelah melewatkan panggilan dari Dewinta yang tidak terjawab itu, gue membuka Path gue, gue cek, nah, di Path gue itu, gue melihat crew gue yang nanti bakalan satu flight sama gue ini udah pada check in di Jakarta Airport Hotel, lokasi nya dekat dengan bandara Soetta.

Hotel ini memang sering dipakai oleh orang - orang penerbangan yang kalau tidak berasal dari hometown mereka sendiri, mereka bakalan check in di hotel seperti ini, stay in satu malam saja, atau beberapa malam setelahnya.

Kecuali ada satu orang rese yang suka curhat di Path nya sendiri, mengatakan kalau dia nggak mau menginap disana (di Jakarta Airport Hotel itu), hanya karena dia lebih memilih untuk menginap di Four Seasons. Siapa lagi itu orang, kalau bukan Diwangka. Haduh....

*Tut.... Tut...* gue menelpon nyokap gue.

"Halo, ya Palma?" tanya nyokap gue dari telpon.

"Palma udah di helipad bu." jawab gue menjelaskan keberadaan gue sekarang udah dimana.

"Ya udah, temui Ibu di bar hotel beberapa menit lagi yaa."

"Okay."

*Tut,tut,tut*

*Call Closed*

Beberapa detik setelah gue menutup telpon dari Ibu, gue memandang agak jauh kearah mall Grand Indonesia yang berseberangan dengan helipad hotel Kempinski, tempat dimana gue berdiri dari atap hotel ini. Jakarta memang fantastic, apalagi jika dilihat pada saat malam hari. It's something glamorous.

Setelah itupun, gue menghampiri bapak Suwandiman yang nampaknya sejak tadi memang sangat khusyuk dalam menikmati momen menghisap cerutunya.

"Pak, saya mau turun menuju ke bar Kempinski, terima kasih banyak pak, udah mengantarkan saya. Saya mohon permisi dulu ya. Sampai jumpa lagi..."

"Ehhh, you're not joking me, son?" nada bicaranya itu mencegah gue dari beranjak meninggalkan dia.

"What? Of course i'm not, sir." jawab gue yang memang sedang tidak bercanda.

"I'll come down with you to the hotel." jawabnya lagi, penuh eksentrik, ohhh, rupanya, this cool man wanna go with me to the hotel.

"Oh? sure.... c'mon then." Anjis, rupanya gue salah tebak, gue kira, dia mau langsung balik lagi menaiki helikopter nya lagi. Taunya.... dia mau mampir dulu ke hotel.

"So... what's that? A montecristo, sir?" karena penasaran, gue berinisiatif menanyakan tentang cerutunya itu.

"Damn right, son." yeah, tebakan gue bener rupanya.

Inside the hotel, nggak banyak yang bisa gue ceritakan sebetulnya. — Tapi pas masuk bareng pak Suwandiman ke lobi hotel, pak Suwandiman, yang notabenenya memang punya Pilot pride sejati, pas masuk, banyak tamu tamu hotel yang memperhatikan kehadiran kami berdua, terutama, tamu perempuan, di weekend yang rasanya begitu padat ini.

Gue pikir, ajegile, tua tua begini pak Suwandiman masih menarik perhatian aja, dong. Soalnya kan bro, banyak pasang mata yang melihat saat itu tertuju ke arah pak Suwandiman. — Bukan gue..., gue tuh apasih... Cuma anak bawang doang.

Memang bener ya ternyata, jadi Pilot itu, resikonya besar, nggak cuma di udara saja, tapi juga di darat, karena jadi pusat perhatian juga, hehehe.

After that, gue menaiki lift, masih bersama dengan bapak Suwandiman, kemudian berjalan menuju bar, lalu bertemu dengan Ibu. Di bar, gue lihat ada Ibu yang sedang duduk - duduk berdua dengan seseorang perempuan, gue nggak tahu perempuan itu siapa, yang jelas, cewek itu kelihatannya lebih muda daripada Ibu. — Nah, setelah Ibu melihat kehadiran gue dan pak Suwandiman, kira - kira, beginilah percakapannya saat kami bertiga pada akhirnya, saling bertemu...

Doyan Cewek, I Am A Boy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang