Fast lane 39 - A Tale of Yesterday

54 1 0
                                    

"Halo." dia jawabnya jutek banget bro.

"Judes banget..." jahil gue lagi, saat gue menyapa dirinya.

"....." dia pun tidak menjawab.

"Kapan sampai disini?" tanya gue lagi..

"Tadi malam." jawab dia singkat.

"Masih marah?" tanya gue penasaran.

lalu jawaban darinya, "Menurutmu...?"

"Hmm..." gue bergumam dalam... gue merasakan sesuatu yang tidak enak dari dalam dirinya.

"Tante elfa.. aku mohon permisi dulu ya." tiba tiba dia berbicara pada Ibu.

"Oh, iya iya sayang. Salam untuk Papa dan mama mu yaa." ucap Ibu kepada dia.

"Okay tante. Nanti aku sampaikan salamnya." ucapnya kemudian pergi. — Kemudian dia, perempuan itu, pergi melangkahi gue. Meninggalkan gue yang masih duduk pada sofa di dalam ruangan ini. — Bahasa tubuhnya?

Jangan tanya bro...

"So, Hensey, what's new?" tanya Mr. Eiffel kepada gue.

"Nothing much, sir." jawab gue yang memang biasa saja.

"Good for you." — "I presume that i might have to talk with you personally about my trip to Portofino, you got time?"

"Certainly, let's talk now." sahut gue lagi. — Ini untuk percakapan selanjutnya, gue terjemahin ke bahasa Indo aja ya bro.

"Jika dipikir dipikir lagi, saya sudah agak lama tidak melakukan perjalanan ke luar dari Indonesia. Saya mungkin lupa beberapa tata cara dan persiapan khusus yang perlu saya lakukan nanti ketika waktu keberangkatan bagi saya sudah tiba. — Ada hal lain yang perlu saya ketahui?" dia bertanya, panjang lebar kepada gue.

"Tidak, pak, tidak perlu persiapan khusus, semua proses nanti hanya perlu diikuti saat waktu keberangkatan bapak sudah tiba. — Mungkin jangan lupa bawa paspor dan visa bapak saja."

"Baik, terima kasih banyak, Hensey."

"Sama sama pak." ucap gue ringan.

And thennn gue, Ibu, dan Mr. Eiffel berbincang bincang tentang keluarga, pekerjaan, dan pengalaman² kami seputar kehidupan.

Gue sih lebih banyak mendengarkan mereka, apalagi mendengar pengalaman tentang bagaimana dulu Ibu dan Mr. Eiffel bisa kenal di masa lalu, atau dengerin tentang pengalaman Mr. Eiffel yang kata beliau, dulu, keluarganya nya itu hanya orang biasa biasa saja.

Tetapi kedua orang tuanya percaya bahwa pendidikan adalah kunci utama agar anak anak mereka bisa sukses melakukan proses social climbing. — Kata Mr. Eiffel, dulu itu dia sampai jadi pegawai di sebuah toko kecil agar bisa menambah nambah uang untuk membiayai kuliahnya.

Atau katanya, dia harus pakai motor tua dari Jepang, hujan hujanan, harus rela berbasah basahan, demi menghormati semua keputusan dosen yang kadang kadang sangat meremehkan usahanya di dalam proses perkuliahan. Tetapi dia pantang menyerah, dia harus mendapatkan nilai yang bagus di perantauan, supaya dia bisa membuat bangga kedua orang tuanya.

Wah, seru deh pokoknya, inspiratif sekali, kisah kisah seperti ini mengingatkan gue tentang kisah hidup salah seorang sahabat dekat gue.

Disini gue sadar, di satu sisi, manusia diberikan keberuntungan yang amat sangat luar biasa. Di sisi lain, ada manusia yang harus berjuang untuk meraih keberuntungan tersebut. Bahkan kalau bisa tidak hanya meraihnya, tetapi menciptakan keberuntungan tersebut.

Gue bener bener merasa kalau... gue nggak ada apa apanya dibandingkan orang orang yang hidupnya super 'struggle' seperti apa yang terkisah di dalam diri Mr. Eiffel ini.

Bukan main hal hal seperti ini, kayak obat pahit yang membuat gue jadi benar benar mikir dalammm banget di hari itu, seperti renungan harian yang membuat jiwa menjadi lebih teduh. Gue jadi bertanya tanya.

Apakah generasi gue ini adalah generasi yang lemah. Atau bagaimana... karena rata rata semuanya udah kebantu banget sama yang namanya teknologi. — Gue nggak sempat mengenal yang namanya, apa, seperti yang ada di cerita Mr. Eiffel, nggak punya uang sama sekali dan harus merawat motor tuanya itu dari uangnya itu sendiri. Mungkin kalau berpura pura nggak mampu, gue pernah, tapi kalau beneran nggak mampu, gue nggak pernah mengalami hal yang seperti itu.

Opa pernah bilang sama gue kalau, "Orang itu, jika dia sudah semakin tua, seharusnya dia menjadi semakin bijak, bukan sebaliknya, malah semakin berandalan."

Ah, pokoknya gue banyak belajar dari mereka semua. — Bertambah lagi koleksi orang baik di dalam hidup gue.... yang bisa dibilang, cuma hitungan jari. Karena kalau orang jahat, sebut saja gue dan kawan kawan gue di masa masa SMA kami, jahat dan badung badung. Nggak mengindahkan nasihat orang tua. Segala macam harus dilakuin cuma karena sebatas 'gue berani'.

Dannn berjuta alasan lainnya yang sesungguhnya hanya kami buat buat sendiri.

►♀◄

Teng tong. Tanpa terasa, jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang waktu indonesia barat. Mr. Eiffel undur diri karena dia mau makan siang bersama keluarganya, sedangkan gue dan Ibu masih berada di ruangan ini. — Setelah Mr. Eiffel melangkahkan kakinya keluar dari ruangan ini.

Ibu menatap gue, dalam tatapan yang benar benar serius, tatapan ini... adalah tatapan yang dia keluarkan kalau gue sudah membuat masalah. Atau, kalau Ibu lagi 'kepingin' dibelikan sesuatu oleh gue, yang jelas, gue nggak suka kedua duanya.

"Palma." ucap Ibu seketika.

"Ya bu?" — Gue menjawab, sambil membaca baca majalah yang ada pada meja ruangan ini.

"Tutup dulu majalahmu itu. Ibu mau bicara." nada bicaranya mulai menjadi serius.

"Duh... oke bu." jawab gue mengikuti keinginan Ibu. Sebenarnya gue sudah tahu Ibu akan ngomong apa sama gue.

"Nak, terus terang, Ibu heran sama kamu." tegas nya tibatiba.

"Heran kenapa bu...." tanya gue tanpa mencurigai Ibu.

"Heran, karena nakal kamu itu, nakal yang merugikan orang lain." — "Ada apa lagi dengan Dewinta?" ucap Ibu sekaligus.

"Duh, bu, biasalah itu... cuma cemburu."

"Ini tidak biasa nak.. makanya Ibu angkat bicara." — "Kamu tahu apa kesalahanmu?"

"Aku main sama Quinza Ibu..."

"Nah, sudah paham kamu. Letak kesalahan kamu dimana."

"Iya bu."

"Dimana, coba Ibu tanya."

"Di mana mana bu."

"Palma, serius nak, Ibu sedang tidak bercanda."

"Well, i don't behave, bu, that's all, okay?" — "Okay, Palma akui Palma memang salah."

"Minta maaf kamu sama Dewinta.." Perintah Ibu kepada gue.

"Iya bu, nanti." ucap gue membalas.

"Lakukan segera. Tidak perlu di tunda tunda." paksa Ibu pada gue.

Duh... ngotot banget, "Iya Ibu.... iyaaa."

"Ya sudah kalau begitu, Ibu mau lunch dulu. Kamu susul Dewinta, minta maaf kamu sama dia."

"Ya, bu.... ya..." ucap gue menyeluruh.

It was just one weeks before i do my fucking job. I admit, being a grown up? Enggak mudah sama sekali.....

►♀◄

After my mum left me in that room, my eyes starts wondering around, farther than i thought. — I looks into the cloud. Imagining how would i be in the next windu (Eight years in Javanese calendrical reckoning).

The same question i asked for myself when i was still a young boy.

I said i would play the tuts, making a good melody comes out of nowhere just to enjoy the pleasure of playing a piano. That time i was thinking about being a maestro. A jazzy one. If you believe me....

The next day i was soaring high, and sat right to my Papa, piercing through those ancient haze in the brightest air. Chuckling so hard that Papa was smiling to me.

Well... life is such a big journey.

Doyan Cewek, I Am A Boy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang