Fast Lane 73 - Ngobrol bareng Olivia

8 0 0
                                    

"I am taking a nap," ucap gue kepada aunt Olly, sambil berdiri dari kursi yang gue duduki ini, gue mencoba untuk pergi.

"A minute, honey, please sit here, lemme' shortly, have a look at you," pinta dia memanggil gue untuk duduk di dekatnya, lalu dia mulai memegang wajah gue dengan kedua tangan nya.

"......" embusan napas nya terasa di wajah gue.
"Eyes and the eyebrows, good..."
"Lips, nose, good..." ucapnya lagi.
"Definitely," dia terus ngomong sendiri, tanpa gue ngerti maksudnya apa dia ngomong kayak begitu tuh, mungkin cuma iseng doang, tapi dia kelihatannya lagi serius banget waktu itu..

"What..." tanya gue akhirnya, merasa penasaran sekaligus kebingungan dengan tingkah yang ditampilkan oleh bibi gue ini.

"Definitely," ucap aunt Olly lagi, lalu dia mengelus rahang gue.

"I'll tell you later, you may now taking a nap time," ucap dia lalu menggosok gosokkan kedua telapak tangannya tepat di hadapan gue.

"Whatever, OL...." kemudian gue berdiri lemah lalu berjalan gontai menuju ke arah tangga, meninggalkan bibi gue di kursi itu sendirian. Rumah Papa, ini, menyebalkan sebetulnya... karena terbuat dari kayu, kalau siang hari, selalu ada aroma khas yang bisa mensugesti gue untuk melakukan tidur siang... nggak tau kenapa, dan itu selalu berhasil.

Mulai dari warna dinding kayu nya... warna lantai nya... sampai furnitur furnitur yang terpajang dirumah ini, it never change, nggak pernah berganti sama sekali, di rumah ini.. ever since granny Ro passed away, sejak nenek gue meninggal, nggak ada satu 'benda' pun yang dipindah posisikan, apalagi diganti di rumah ini, terutama di bagian living room, dengan karpet persia dan televisi kotak dari panasonic ini, tidak pernah berganti semenjak pertama kali gue datang kesini, berbanding jauh bila dibandingkan dengan rumah gue yang ada di kota Bandung.

"I love you more than you think, honey." seru aunt Olly dari kejauhan, secara tiba tiba banget.

A thirty five years old Olivia, saying she loves me, meh... what the hell, desah gue dalam benak gue sendiri.

Bukan apa - apa gue ngomong kayak begitu, masalahnya bibi gue ini beda kubu dengan gue, dan paman gue, Olly, ada di kubu nya Papa, dan di pihak itu, adalah orang yang baik - baik dan enggak suka cari masalah, meskipun nggak over protektif terhadap gue, mereka mereka itu, intinya kalo kita semua lagi ngobrol bareng, dan gue sama Jackie sampai ke pembicaraan yang terdengar seperti... "You see, i'm gonna sleep with the mayor's wife," atau model model obrolan yang kayak begituuu..., Olly pasti langsung ngomong, "Be careful... you don't wanna make troublee~" dan kira - kira, begitulah yang dia lakukan.

Dan gue merasa terintimidasi kalau sudah dibegitukan.

Dan gue merasa nggak yakin untuk ngikutin kenakalan dan saran saran yang dikasih sama Jackie.

Dan akhirnya gue pun malah ikut Jackie juga, hahahaha. Emang bejat gue ini.

The point is, setelah hampir tiga belas tahun berlalu, at that time, gue menghitungnya, Olly yang nggak suka gonta ganti pacar dan lebih memilih untuk menjadi single karena dia terbilang unik, tenggelam kedalam dunia akademis atau pekerjaan nya dan nggak neko - neko, persis kayak Papa di satu sisi, tipe tipe orang yang lebih mementingkan keluarga dan teman, walau dia punya wajah good-looking, and also undeniably hot, tapi pacarnya mana? bahkan Eduardo sekalipun nggak disentuhnya, itu..., bocah keren yang dulu satu kampus sama dia... 

Gue curiga dia masih menaruh hati sama si Angga. Lagi lagi harus apes, karena Angga udah dari kapan tahun lebih memilih pasangan yang satu keyakinan sama dia, kata Angga disuruh sama orang tua... dan itu nggak terbantahkan, realitanya sampai hari ini pun masih begitu. Tapi mendengar kabar bahwa tiga tahun lalu Olly akhirnya married sama pak Newsom dari Bristol, gue jadi ikutan senang.

Doyan Cewek, I Am A Boy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang