Fast lane 38 - Marking The Vision

83 1 0
                                    

Diantara segala macam jenis panorama dalam kehidupan. Seperti fajar, sebelum matahari terbit. Ketika pagi, sesudah matahari terbit. Kemudian siang, setelah matahari berada di atas kepala. Lalu setelah siang, ketika matahari masih bersinar, namun agak redup, karena beberapa awan seringkali terlihat menghalanginya.

Dan senja, saat langit menjadi berwarna jingga kemerah merahan, saat matahari turun, untuk terbenam, perlahan, namun terpaut pasti saat ia meninggalkan kita semua.

Senja, adalah panorama kehidupan yang paling gue cintai, kalau ada istilah khusus yang bisa disematkan bagi para pecinta sunset, disana lah gue akan berada. Buat gue, sunset adalah segalanya, sunset, atau matahari terbenam, adalah tanda akhir bagi satu hari dalam kehidupan gue.

Senja menuliskan kisah, bagi gue. Sedangkan malam sudah tidak lagi menuliskan kisah seperti yang dilakukan oleh senja. Saat malam tiba menyapa, gue jarang sekali mengenali diri gue, menurut gue, malam adalah fase - fase dimana seharusnya seorang manusia itu tidur dan beristirahat, karena kalau manusia itu pergi keluar rumah dan kelayapan.

Bisa dipastikan hasilnya enggak jauh dari menjadi seorang pengembara malam, berjalan dibawah lanskap teatrikal seluas galaksi yang penuh dengan bintang (cailah mulai nih kambuh bahasa gadungan nya) Malam juga identik dengan perasaan perasaan aneh, seperti menghilang, lupa diri, atau perasaan ingin membuktikan bahwa sesungguhnya diri gue ini lebih dahsyat dalam menghabiskan sisa sisa saldo dalam kehidupan ini (if you know what i mean)

Duh, gue ngelantur banget ya... tapi intinya gini deh, gue adalah pecinta senja. Karena kalau nggak salah, dulu, pernah, waktu Papa dan Ibu, mengajak gue berlibur ke Norbulingka, sebuah tempat yang terletak di Tibet.

Ketika berkunjung kesana, kita bertiga diminta untuk duduk di istana tersebut, baik untuk menonton pertunjukkan yang disuguhkan oleh para tibetan maupun bermeditasi.

Gue yang tadinya nggak mau diam dan pecicilan luar biasa, akhirnya menjadi tenang dan ikutan bermeditasi bersama dengan para monk yang berada disana. Seolah, ada elemen dalam kehidupan yang berhasil membuat diri gue menjadi tenang seketika.

Kami bertiga duduk, bersila, menarik nafas dalam dalam dan menikmati momen yang benar benar hening itu. Walaupun sesekali, gue masih suka iseng dan intip sana intip sini. Sebetulnya cuma memastikan saja, kalau gue masih berada di bumi ini, takut takutnya gue bisa tiba tiba berada di dimensi lain dalam kehidupan ini, gitu. Gue udah pasti jiper setengah mati.

Saat itu, beberapa menit sebelum panorama itu terjadi, adalah saat dimana gue memutuskan untuk menjadi seorang pecinta senja. (Cailah) — Saat itu, adalah saat gue menyaksikan senja ter-jingga di dalam hidup gue. Dari mata gue sendiri.... gue melihat langitnya, dan gue merasa.

Kalau senja sebelum matahari terbenam itu rasanya..... Sungguh menenangkan jiwa.

►♀◄

Ayo kita kembali ke cerita.... Pagi hari itu, gue terbangun dari tidur gue. Saat terbangun, gue baru sadar kalau ternyata semalam gue tidur tidak menggunakan piyama seperti yang biasanya sering gue lakukan, tetapi gue tidur masih mengenakan kemeja dan celana dari setelan jas yang kemarin malam sudah gue kenakan.

Bahkan, arloji Timex gue pun masih gue kenakan di pergelangan tangan gue ini. Ketika gue melihat arloji gue. Oh, waktu menunjukkan pukul enam pagi. Saat mata gue sudah mulai membuka, gue mulai beranjak dari atas kasur. — Gue agak kaget, eh, ada Debbie lagi tidur disebelah gue *genit*, refleks, gue pegang mister hepi gue.

"Oh, aman. Nggak ngapa ngapain." — Bisik gue pelan kepada diri gue sendiri.

Ini bener bener momen yang ironis banget. Mengingat kalau sebenarnya gue adalah seorang womanizer, tapi womanizer kok malah punya perasaan takut kalau 'anu' nya si gue habis di apa apain. It's like some idiom that i've heard it in Indonesia, i'ts like, maling kok teriak maling.

Doyan Cewek, I Am A Boy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang