Fast Lane 70 - Flying Freely

6 0 0
                                    

"Fuel leak?" kata Papa. "Kamu tau contoh dari fuel leaking itu yang kayak gimana?" tanya dia lagi sambil menoleh ke arah gue, kami berdua lagi berbaring di bawah pesawat pada saat itu.

"Enggak," jawab gue cepat, lalu Papa menunjuk ke arah sebuah lubang yang ada di Skymaster itu.

"Kalau fuel leak itu ada dan terjadi, nanti bensin nya bisa keluar dari sini...," terang dia lagi, menunjukkan jari nya pada sebuah lubang di bawah pesawat kami.

"You got it, right? eh, rambutmu sudah panjang lagi, potong ya nanti," kata Papa lagi.

"Nggak mau," jawab gue cepat, nggak suka gue potong rambut itu... nanti rasanya kayak nggak punya kepala.

"Ayo dipotong rambut nya, nanti Papa ajak kamu berenang ya nak," kata dia lagi.

"Beneran nggak nih? nanti aku ditinggalin lagi, nanti taunya Papa pergi kemana, aku dititip lagi sama orang, terus disuruh pulang naik pesawat lagi deh kayak waktu itu," jawab gue beralasan panjang dan lebar, gue kapok, man, Papa suka gitu soalnya, janji ngajak main (waktu itu katanya mau ke cagar alam di daerah Lahat, du Palembang, atau pergi kemana, eh taunya dia pergi, ujung ujungnya gue disuruh sendiri lagi, ya gue malas lah kalau udah sendiri gitu, mending gue pulang ke Bandung aja, ngapain juga kan..

"Nggak... nggak nak, nanti kita beneran berenang," jawab dia mencoba meyakinkan gue.

"Ya udah," akhirnya gue iyakan janji nya paoa.

"You got it, right?" tanya dia memastikan sekali lagi.

"Got it." jawab gue singkat.

"Potong rambut ya?" yaelah sialan, lagi lagi pertanyaan yang sama.

"Berenang dulu," jawab gue memancing janji nya.

"Okay,"
"Mau dibelikan mainan apa?"

"Nggak, mau berenang aja,"

"Okay."
"Sekarang kita pindah unit untuk cek kondisi engine ya, kita cek bagaimana oli nya, lalu cek katup mesin," ucap Papa, kemudian dia berdiri dan mengangkat gue dari posisi gue yang sedang berbaring waktu itu.

"Kamu perhatiin baik baik, pesawat itu rumit, jadi nggak bisa lepas landas kalau ini ini semua belum kamu kontrol, ini, contohnya... ini kamu buka dulu ya tangki bensin nya," lalu Papa membuka tangki bensin pesawat kami.

"Kamu lihat, kondisi dari fuel meter itu kadang suka menipu, nak, apalagi pada pesawat yang sudah berusia tua, jadi it's better for you to look at it manually," terang dia lugas ke arah gue, gue hanya bisa manggut manggut menanggapi omongan nya dia, kalau masih sesimpel itu, dan pada saat itu, gue masih bisa menangkap apa maksud Papa.

"Udah selesai belommm? kapan terbangnya!" tanya gue merusuh.

"Kamu kalau pecicilan kayak gitu mending Papa ajak berenang aja dulu, terus terbang nya nanti," jawab Papa mengkritik ucapan yang gue lontarkan pada dia.

"Yah, iya, deh, okay, okay," balas gue cengengesan.

"Iya, jadi nak... kamu harus sabar yaa, much needs to be reviewed, to be checked, kalau kamu nggak sabar sabar, kamu nggak perlu naik pesawat, kamu naik yang lain aja, naik kereta, misalnya, kamu tidak usah terbangkan pesawatmu," jawab Papa akhirnya kesal.

"Papa kok gitu," balas gue dengan tingkah emoh emohan, apa ya, acuh tak acuh gitu pokoknya.

"Ya Papa harus dan perlu menjelaskan, karena ini proses prosesnya... sebelum kamu akan menggunakan pesawat, dan kemudian terbang setelah itu." ucapnya lagi dengan nada yang agak mendingan.

"Iyaaa!"

"Mau dibeliin apa nanti?" tanya dia memotong.

"Nanti aja, belajar pesawat dulu," jawab gue mencoba fokus.

"Good, that's my boy," pujinya ringan.

"Aku mau kaset Star Craft sama Thief," pinta gue cerdas, to the point dong... heheheh.

"Iya, nanti dicarikan," jawabnya singkat.

"Tapi jangan Ibu yang belanja nya, harus Papa yang belanja," ucap gue berdiplomasi lagi.

"Iya, nanti sama Papa," tukas dia kalem.

"Jangan iya aja, harus sama Papa," gue ngotot ke Papa gue.

"Iya, harus sama Papa, ya.." jawabnya menyerah.

"Iya," jawab gue mengikuti dia.

"Sekarang kita perlu cek, roda ini, fungsingnya adalah untuk mendarat, untuk lepas landas, ya, kita pastikan tidak ada yang longgar pada baut pengencang nya, tidak bagus, itu, jadi oleh karena itu harus kita lihat, kita pantau secara berkala," Papa mulai menerangkan tugas tugasnya lagi, setelan andalan dia itu cuma celana corduroy sama kemeja hitam, RL, dia suka pakai sabuk biadab kesukaan dia yang logo nya bikers nggak jelas gitu, entahlah itu apaan. Pokoknya gue masih ingat aja keanehan bokap gue sendiri.

Bokap gue di satu sisi, orangnya sederhana sekali, nggak kayak gue yang kadang suka ingin showoff enggak jelas, everybody knows it, gue akan selalu mencari celah ketika contohnya Grady, musuh bebuyutan gue itu punya Audemars Piguet, gue harus punya produk buatan Schaffhausen atau minimal dark side of the moon nya Omega, Axel nggak kalah kencang, kalau gue punya Voutilainen, dia punya Titus, semua memang sudah menjadi hewan kalau harus selalu bersanding.

Tapi ada kok orang orang yang biasa biasa aja tanpa harus selalu memaksakan untuk bertingkah konyol seperti ini, Papa adalah contohnya, dia lah yang mengajarkan kepada gue bahwa Timex saja sudah cukup, jangan terlalu berlebihan, toh semuanya tidak harus dimenangkan.

Ini adalah dunia perang jam tangan, urusan nya bisa panjang lebar cuma gara gara jam tangan. Gue mendebat Papa, gue bilang, "Pa, semua orang pasti punya preferensi yang ingin mereka tonjolkan, Ibu, opa Sadeli, tante Kartika, atau amang Toba, atau Axel, Jackie, Olly, Dewinta, atau Ara, atau Freya, even granny Ro punya atribut yang ingin mereka tonjolkan, Papa juga punya kan, Papa aja maksa maksain beli Volante cuma karena Papa pengen tersenyum puas, Palma juga punya dong Pa..." ucap gue mencoba mengutarakan idealisme gue kepada Papa.

Dia cuma bisa manggut manggut, nampaknya dia setuju dengan prinsip gue yang satu itu.

"Jadi nggak bisa dipukul rata Pa... somebody has always something that makes the people notice, that something is what makes 'em stand out among so many things," debat gue di kala itu.

Kembali lagi ke pagi hari itu, pagi hari saat cek kapal, "Cek ini..." lanjut Papa ngomong sama gue.

"Haaaaaa cek apalagi, bosen!" teriak gue merajuk dengan nada bercanda buat Papa.

"Ini yang terakhir, cek kerapatan pada kursi penumpang, cek sabuk pengaman nya, lalu cek jendela nya, pastikan tidak ada yang longgar, karena terbang pada ketinggian 30 ribu kaki dengan jendela yang terbuka tidak akan kamu suka, percaya sama Papa, tidak akan kamu suka," jelasnya mulus.

"Tidak akan kamu suka, hahah, dasar nggak bisa ngomong bahasa Indonesia, kaku," ejek gue kepada bokap gue sendiri.

"Heyyy, don't judge me, i'm still learning," jawab dia sambil menyikut bahu gue.

"Hahahahahaha," gue ingat gue cuma bisa ketawa, nyaring pula ketawanya, hahahahahaha.

"Sekarang cek,"

"Oh no what the fuck," ucap gue sadis. Apalagi sih... yang harus di cek.

"Nak, words," Papa memperingatkan gue.

"Iyaaaa aduhhhh cek apalagiii,"

"Sekarang sudah selesai, ayo kita masuk ke kokpit lagi," kemudian masuklah gue kedalam kokpit, mulai berkomunikasi dengan tower, hampir nggak banyak tegang yang gue rasakan karena sudah biasa simulasi, walaupun masih ada karena ya simulasi tetaplah simulasi, salah menggerakkan yoke atau lupa mengaplikasikan gust lock sebelum terbang tidak akan membuat Anda tewas seketika, dan juga karena gue sudah dibikin kesal sama Papa, gue menerbangkan Skymaster ini semudah membuat telur mata sapi, karena merasa tertantang, tentunya.

And then while we fly, my old man says, "Oh... boy, you are good," ucapnya sambil menepuk bahu kanan gue, pandangan gue lurus ke depan, kami berdua sudah cruising pada ketinggian 20 ribu kaki, sebelumnya untuk terbang Papa memang bantu gue untuk berkomunikasi menggunakan radio dengan orang tower.

Berhasil sebagai seorang penerbang tidak membuat gue jadi besar kepala, tapi justru malah membuat gue sedih, mengingat bahwa beliau (Papa) sudah tidak bersama gue lagi di saat ini, karena dia lah yang membuat gue berhasil menguasai semua ini.

Waktu gue kecil dulu, gue, Dee, Axel sering main bareng di rumah gue dan kalau udah nakal nakal yang nasihatin nya ya Papa, gue sering di kasih nasihat gara² gue terlalu sering berbuat tidak senonoh kepada Dewinta, apa ya istilah nya, kecanduan mencabuli si Dee, dan Papa sering marah kalau melihat kelakuan gue sudah kayak begitu, sedangkan si Axel sering dimarahin gara gara dia suka hisap cannabis di kamar mandi Ibu, who the fuck did that on elementary times anyway? Axel, yap, cuma Axel.

Sedangkan Dewinta suka kena marah karena dia kecanduan gue cabuli. Pengin nangis gue ingat ingat waktu itu lagi (nangis dalam artian yang lucu), masalahnya, ckckck, pusing gue, gimana cara ngomongnya, masalahnya Deedee itu cerita ke ambu (nyokap) nya kalau kita abis cium ciuman, dasar sinting, kalau suka ya jangan dibocorin juga lahhhh hahahaha.

Doyan Cewek, I Am A Boy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang