Fast Lane 69 - He teaches flying

3 0 0
                                    

Akhir bulan November tahun 2013, ingat banget gue waktu itu, akhirnya gue mempersilakan Jefferson, untuk duduk di jumpseat, hanya sekadar duduk dan memegang yoke pada pesawat milik daddy nya. Setelah melalui tanya jawab yang benar benar panjang, dan lebarrr, ada satu hal yang membuat gue memperbolehkan bajingan kecil ini untuk duduk di kokpit gue; dia jenius,

Dan dia memang penuh dengan antusiasme, plus, wajah memohon nya itu nggak bisa gue tolak...

Maksud gue, gue memperbolehkan Jeff untuk berada disini tidak dengan memainkan panel panel yang terdapat di dalam kokpit pesawat sembarangan. Memindahkan, menekan tombol ini, itu, tanpa instruksi terlebih dulu dari gue, nggak boleh asal asalan pokoknya, jadi Jeff, hanya boleh duduk, diam, memperhatikan dengan seksama, tidak main main, tidak cengar cengir, tidak lompat lompat, tidak...

And guess what? Jeff berhasil melakukan semuanya, dia berhasil menjadi serius, pandangan matanya yang tajam itu menunjukkan bahwa dia memang sedang berkonsentrasi, terkendali lah ya intinya, ketika melihat Jeff sedang serius seperti itu, gue tanya sesuatu sama dia, "Jeff, yang menyala dengan simbol salju itu dinamakan dengan apa?" kemudian dia menjawab, "Anti Ice," ucap nya simpel, cukup mengesankan untuk anak yang masih berumur sembilan tahun. Jeff juga sudah tahu dasar dasar instrumen pada penerbangan, hal ini membuat gue berkaca terhadap diri gue sendiri.

Hal ini betul betul berbeda bila dibandingkan dengan diri gue yang waktu pertama kali mencoba pesawat, adalah karena diminta oleh Papa, bukan atas keinginan gue sendiri. Percaya nggak percaya, dulu gue pernah takut sama yang namanya terbang, sempat, takut, maksudnya, tapi karena dibiasakan terus menerus dan secara berulang ulang kali, gue akhirnya jadi santai santai aja.

Kalau menurut opini gue yang masih awam, ini bisa jadi adalah sebuah jawaban bagi orang orang yang takut untuk terbang, karena biasanya kan awal awal memang suka pingsan, tapi ini hanyalah sugesti aja.

Jadi biarkan walaupun pingsan, terus aja di bawa terbang (orang yang takut terbang itu), nanti lama kelamaan keadaan seperti itu akan memaksa under consciousness, atau alam bawah sadar mereka untuk merasa 'biasa' ketika mereka harus terbang, pingsan itu biasa, itu hanya awalnya saja, untuk selanjutnya nggak akan terlalu berlebihan lagi pingsan seperti itu.

Sedikit cerita lagi, soal pengalaman waktu gue pertama kali terbang, waktu itu umur gue masih sekitar enam tahun, gue terbang bareng sama Papa, waktu itu gue masih kecil, dan pertama kali terbang ya pakai helikopter, bukan propeller, bukan glider, bukan large sized jet, juga bukan bizjet sama sekali.

Sampai nangis gue waktu itu, orang naik heli, RIBUT banget kan... jadi mana gue tahan, (goyang goyang pula, helikopter nya itu, dan heli nya adalah heli punya militer, model Comanche, yang pintu nya besar dan lebar, jadi angin itu berhembus nya kencang sekali, dan kalau melihat ke bawah, betul betul mau mati rasanya) apalagi kalau dasarnya anak mamih kayak gue dulu dulu itu...

Semua pengalaman itu, kalau gue ingat ingat lagi gue malu banget, gue sampai nangis jerit jerit, meraung raung sambil ngomong, "NGGA MAU, NGGA MAU NAIK, NGGA MAU!" sedangkan Papa ketawa tawa memegang gue dalam pelukan dia, dan Ibu, Ibu memang kejam, why's that so? karena KETAWA nya lebih keras daripada ketawa nya Papa. Anak cowok kok cengeng, begitu deh kalau kata Ibu.

Sehabis kejadian itu berlalu, gue nggak mau ngomong, sudah hampir dua minggu gue nggak mau ngomong baik sama Ibu maupun sama Papa, walaupun gue sudah dibelikan mainan, Atari, Nintendo, Playstation, Betamax, VCD, serial Full House, ATV, Roller Blade, Nerf, Lego, Buzz Lightyear action figure, dan semua permainan papan yang waktu itu semua anak ingin punya dan idam idamkan, serta kaset lengkap pertandingan Smack Down, yang masih ada Andre the Giant nya.

Namun, gue masih saja nggak mau ngomong, sampai akhirnya, ada satu hal yang bisa membuat gue mau angkat bicara lagi, kira kira hal apakah itu?

Puppy, ya, puppy. (anak anjing)

You had me at this one, Bu.

Betul, gue dibelikan seekor English Bulldog yang dodol nya kebangetan, udah kecil, lucu, gendut, dodol lagi, semenjak Ibu belikan gue si Tubalcain, (nama mendiang doggy gue) menemani gue dari tahun 97 sampai 2000 an akhir, setelah akhirnya gue pindah ke Rotorua, kemudian akhirnya dia beristirahat dalam damai di tahun 2002, meninggal karena terkena diabetes (kalau orang yang suka pelihara EB, udah nggak heran EB tua nya pasti kena diabet). Singkat cerita, Tubal, gue memanggil dia, tidak pernah seperti Ibu, yang suka menertawakan gue kalau gue suka takut terhadap suatu hal. Gue mendidik Tubal agar dia galak terhadap Ibu, dan bagaimana jadinya? akhirnya, upaya gue berhasil, setiap kali Ibu pulang dan masuk ke dalam rumah, Tubal selalu menggeram tanpa alasan yang jelas, ya sebetulnya ada sih alasan nya; gue yang suruh dia untuk benci sama Ibu.

Tapi tetap aja, walaupun Tubal sudah menggeram, mau se-horor apapun ancaman dan geraman nya itu, yang namanya English Bulldog mau bagaimanapun juga tetap kelihatan tolol, jadi ya... yang ada, dia malah ikut diketawain sama Ibu. Lagi lagi, Ibu yang harus menang. Kami kapan? maaf ya Bal, elo hidup hanya untuk ditertawakan oleh Ibu. Juga maaf, karena diam diam, gue juga suka menertawakan elo. #savage

***

Oh ya, bukan tanpa alasan gue tarik cerita gue dari waktu waktu itu, ada alasan nya. Nanti pada akhirnya ada penjelasan nya juga.

***

Kembali lagi ke hari itu... melihat Jeff duduk tenang di jumpseat mengingatkan gue akan sesuatu, mengingatkan gue akan sosok gue di masa lalu. Jeff pertama kali boleh duduk di kokpit umur sembilan tahun, dia sudah diperbolehkan sama bokapnya, sebelumnya, dan pendapat gue, ini anak memang keren, dia bilang ke gue pas di momen² kami lagi ngobrol itu, dia mau coba duduk di kokpit karena dia bukan ingin jadi seperti gue, karena gue tanya ke dia kann, mau ngapain lo duduk di jumpseat?

Lalu dia jawab begini, "aku penasaran, aku kepengin nikmatin pemandangan nya, waktu itu juga daddy, mommy dan aunt Olly bolehin aku diem di kokpit kok, masa von Palma jahat sih ga bolehin aku duduk di kokpit," begitu jawabnya, gak pakai resek, kayak elemen mengadu ke bokapnya atau yang lain lain gitu? enggak...

Walau demikian keren nya gue memuji Jefferson, bagaimanapun juga, tetap, lebih keren gue dong. (Sombong sedikit nggak apa apa kan... hehe) Gue melakukan penerbangan solo pertama gue saat masih berumur delapan tahun, tepat dua tahun setelah di brainwash oleh Papa, begini ceritanya...

Pagi hari itu di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin (jadi ingat woyla hahahaha) November (yang gue ambil memang rata rata dari bulan November) tahun sembilan puluh sembilan, semalam sebelumnya gue sudah menginap di hotel Sandjaja di kota Palembang, kenapa harus di Palembang, alasan nya simpel, karena Papa sering bertugas untuk antar pejabat BUMN yang berlokasi nggak jauh dari kota itu, jadi gue kesana untuk berlibur, karena kan gue kecilnya tinggal di Bandung, makanya harus menginap.

Anyway dulu di Palembang belum kayak sekarang, Palembang tahun 98 sederhana banget, gue lumayan sering main kesana soalnya, hanya untuk sekadar beli pempek lenggang dan menikmati pemandagan sungai Musi, sambil main ke dalam klenteng yang ada di dekat sungai Musi itu.

Malam harinya gue menginap di Sandjaja, jadul sekali, hehe, itu kalau di lihatnya dari sekarang ya. Karena kalau sekarang, sudah banyak hotel yang lebih modern lagi. Gue ingat waktu itu di Palembang, Papa belikan gue seekor iguana, dan berakhir dengan dikembalikan lagi ke toko hewan nya karena gue muntah muntah melihat iguana tersebut, betul, gue muntah muntah, entah karena alasan apa dikasih reptil gue malah muntah muntah, nah setelah sembuh, gue diajak ke bandara sama Papa, untuk menerbangkan sebuah pesawat, 337 Skymaster.

Tidak banyak yang bisa gue ingat, hanya serpihan memori nya aja, tapi yang paling berkesan dan enggak pernah gue lupa adalah, pagi hari itu, cerah sekali, saat mau terbang, kami harus menunggu selama setengah jam tepat di runway, dengan kondisi pesawat menyala, karena banyak pesawat yang harus terbang, namun lajur lepas landas nya sedikit, jadi harus mengantri.

Mungkin ada secuil pertanyaan, kenapa kok terbang nya di Sultan Mahmud dan bukan di Rotorua? masih ingat nggak... kan gue pindah ke Rotorua aja tahun dua ribu, jadi ya sebelum tahun itu gue masih tinggal dan sekolah di Indonesia, justru sebelum pergi ke Rotorua gue lebih dulu terbang ke Kanada, lalu pergi ke Charlottetown, katanya Papa ada beli tanah disana (sekarang sudah jadi rumah), itu tahun sembilan enam, udah lama banget.

Pagi hari itu, cuaca nampak cerah, angin nya tidak terlalu gusar, menandakan bahwa terbang akan menjadi lebih mudah karena pesawat tidak harus goyang karena angin yang berhembus. Pagi itu, gue sudah duduk di dalam pesawat berdua dengan Papa, jadi kalau dikatakan sebagai solo flying, ya enggak benar benar solo, heheh. Karena masih ada Papa didalam cockpit bersama dengan gue, hanya saja gue yang duduk tepat di captain seat nya untuk mengoperasikan pesawat, sudah simulasi terlebih dahulu pastinya, di Bandung sudah pernah.

Gue ingat, waktu itu Papa ku masih muda banget, heheh, rambutnya masih hitam semua, jadi belum ada putih putihnya, dan giginya juga belum ada yang tanggal. Sembari menunggu dia selalu mengucap hal yang sama kepada gue, "Remember the number, my boy, remember to sequentially checking it out." ucap dia santai, dilanjutkan dengan instruksi lainnya lagi seperti, "Fuel?"

Gue jawab, "Good," lalu dia tambahkan, "Sufficient," kemudian, "Flaps?" tanya dia lagi, "Checked, normal." sambung gue menjawab pertanyaan dari Papa, "Landing gear?" dan controller lain seperti lever. Setelah itu gue rasa kami sudah siap terbang, namun secara tiba tiba Papa berucap lagi kepada gue, "Keluar dari kokpit, Pal." gue menjadi heran, lalu dia ngomong lagi, "Get out of the cockpit, leave the power on," dan akhirnya gue menuruti komando dia dan keluar dari kokpit. Gue mulai menampakkan ekspressi wajah kayak orang kebingungan.

"Nggak apa apa, kita turun dulu," jawab Papa lagi setelah kami berdua sama sama keluar dari dalam pesawat, "Sekarang kamu dengerin suara baling baling nya nak," suruh dia cepat kepada gue.

"Udah, kenapa?" tanya gue bingung, sambil menggaruk kepala.

"Menurutmu normal nggak?" tanya Papa lagi.

"Normal," ketus gue masam, sambil menperhatikan baling baling pesawat yang berputar kencang, dan juga ribut.

"Who says... kamu kira sebelum terbang itu cuma cek di dalam kokpit aja, Pal? ya enggaklah, di luar juga harus ya. Oke, kamu betul, itu normal, baling baling nya, sekarang kita pindah ke bagian ekor, perhatikan airframe nya baik baik ya," ucap dia mengintruksi lalu berjalan ke bagian ekor pesawat ini.

"Iya, iya," jawab gue menurut saja. Dan setelah itu dia mulai memperkosa bagian ekor pesawat kami, semuanya dia pegang, semua dia raba, bahkan sampai baut terkecil sekalipun dia pandangi letak dan keberadaan nya, kalau bisa sih sampai di perbesar hingga seratus kali, alias di macro zoom, bitch.

Masih berada di sayap pesawat, sekarang Papa menyuruh gue untuk kembali masuk kedalam kokpit, "Palma, sekarang masuk kokpit, cek radio dan komunikasi, betfungsi secara normal atau tidak, jika tidak, kita tunda lenerba gan kita, jika normal, kita lanjut terbang, coba, Papa harus tau," setelah itu gue masuk ke dalam kokpit, duduk dan mengambil radio, lalu mulai bingung lagi, dan bertanya, "Pa, ini nanti ngomong apa anjis?" hahahahaha, bercanda, nggak pake anjis, man.

"Pa, ini nanti ngomong apa?" tanya gue kebingungan.

"Say, Badaruddin tower, this is November Juliet Romeo, Seven Five, Seven Three, requesting for clearance," jawabnya sambil bersandar dari luar pintu pesawat kami, gayanya nyantai banget, gue ingat dia itu terkesan kayak belagu, padahal lagi santai aja.

Setelah ngomong via radio, gue disuruh keluar lagi dari kokpit.

Hebat, ya, mungkin anak kecil lain sedang asyik menonton Cartoon Network di dalam kamarnya sambil memakan kukis coklat buatan Ibu mereka di saat sedang berlibur, sedangkan gue? gue disuruh megang megang pesawat, sampai Papa ngajak gue berbaring berdua di bawah Skymaster ini, "Palma, let's lie down beneath this beauty lady," ucap dia kepada gue. Arti simpelnya; Palma, ayo kita berbaring di bawah pesawat ini, dan lihat, pesawat ini kelamin nya apa.

Yeah, Pa, i'll do everything you say, cause i love you...  

Doyan Cewek, I Am A Boy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang