Fast Lane 18.2 - Maretha Raksawilendra

234 6 0
                                    

Kalau Dewinta, yang bikin gue susah lupa, ya suaranya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau Dewinta, yang bikin gue susah lupa, ya suaranya... Yang manis dan penuh harmoni. Kalau Maretha, ya ini...

* * * * *

*Tut.... Tut....*

Panggilan gue diangkat, asyik.

"Halo.... Dengan siapa..." — Meskipun hanya mendengar suaranya saja. Gue langsung bisa membayangkan Maretha sedang ber hadap hadapan dan berbicara dengan gue, "Halo ta... Ini gue..." jawab gue pede, ketika menelpon dia.

"Maaf, siapa ya...?" tanya dia lagi melalui telefon ini.

"Gue Ta... Palma." jawab gue sambil agak sedikit tertawa.

"Maaf... Saya tidak kenal dengan Palma..." — Disitu gue kaget, setelah semua kejadian itu, dia nggak kenal sama gue, nggak inget sama gue? — "Hah... " Dan gue cuma bisa bengong, hah, dia nggak kenal sama gue?

"Kalau Palma saya tidak kenal... Kalau Hensey, saya kenal."

"Ohhh. Hahahahaha." — Gue tertawa puas setelah dia menjawab seperti begitu.

"Hensey." — Tibatiba Tata langsung menyapa gue.

"Eh, yes ta?" tanya gue.

"Kemana aja kamu? Baru nelfon." tanyanya agak merapat dan sedikit berbisik.

"Gue disini aja ta, di NZ. Hahah." jelas gue ringan.

"Eh, Ta, gue kira lo nggak mau terima telefon dari gue," tukas gue mengarang bebas.

"Kata siapa?" — Dia nanya dengan nada seriusnya itu, jiper lah gue.

"Kata siapa ya, kata mas Oscar kali Ta?" jawab gue lagi, iseng.

"Hahaha...." — Tata orangnya kalem kok bro, beda jauh sama Dewinta yang senang genit genit sendirian kalau udah gue bercandain. — Mas Oscar Lawalata, hehe, dia sempat jadi guest speaker waktu kami di J!M dulu, salah seorang perancang busana juga di tanah air Indonesia. Kalian tahulah yaaa yang suka sama dunia fashion di Indonesia.

"Ta, gue lagi baca rubrik elo di Indonesia T@tler nih, gila, makin beken aja lo ya, udah jadi perancang busana juga lo sekarang?" tanya gue yang memang bener bener penasaran.

"Hihi... Iya, berkat kamu juga... " — Nyessss, kalau udah ada 'hihi' berarti masuk nih jurus sepik sepik iblis gue bro.

"Loh kok berkat gue ta, emang kontribusi gue buat elo apa ta? Kan nothing." — Gue merendah, untuk meroket.

"Hensey, it's not nothing, it's something." — Wih... Gue adalah 'something' bro!

Dalam hati sih, "Makasih Tataaaaaa!" tapi ya nggak gue omongin begitu juga lah sama si Maretha.

"Well... Thanks Ta." — Aslinya sih gue bingung, gue nyumbang apaan ya buat dia. Orang dulu aja gue kerjanya cuma bisa jadi rivalnya dia itu.

"My pleasure. You've been very motivating for me." — Nah kalau yang ini alasannya, gue baru mengerti sekarang, buat gue, gampang buat bikin cewek 'on fire' ajak aja dia berkompetisi, insult sedikit, kasih dia kesempatan buat menang, dan... Menangkan hatinya, dari sana, sebenernya, mereka akan jadi lebih berkembang.

Nggak simpel juga memang, karena membutuhkan proses, tapi, hal ini selalu bisa gue atur. Apalagi metode seperti ini cocok sekali untuk orang seperti Tata. Bukan mengelabui ya, tapi menyesuaikan dengan setiap personality-nya. Jadi nggak ada itu istilah pukul rata kalau udah soal approach sama yang namanya cewek, perempuan atau wanita.

Kasta nya aja beda - beda. Hehe.

"How are you, Ta? How's ur mom and dad?" tanya gue lagi kepada Tata.

"I am fine... Family's doing well." jawabnya nyantai.

"How's business ta?"

"Running smoothly." jawabnya lugas.

"Alright..." jawab gue seudahnya.

"Ketemuan yuk? Kita dinner bareng lagi." — Eh? Nggak salah dengar ya gue? Tiba tiba Tata mengajak gue ketemuan. Dinner pula.

"Dimana?" tanya gue kalem.

"Altitude aja. Ten days dari hari ini. Saya tunggu ya..." — Saya tunggu ya.... Duh, suara wanita khas dia yang sedikit bassy itu bro!

Tata... I'm howling for you. Really.

"Okay. I see you when i see you." balas gue mengiyakan.

"Goodbye Hensey."

*click*

*Call Closed*

* * * * *

Telefon gue tutup. Sepuluh hari dari sekarang gue ada dinner sama Tata. Gue harus prepare, harus pukul - pukul samsak tinju dulu nih, biar agak segar dikit. Kiranya, begitulah yang ada di pikiran gue saat itu.

Sejarah gue sama Tata. Kalau gue rinci satu per satu, bisa agak pusing kepala gue. Jadi ya se maklum nya aja ya. Kalo gue lagi dapat mood nya, gue bisa lancar jaya dalam menjelaskannya. Kalo lagi nggak, kentang kita bagi - bagi bersama. Bercanda.... Peace out, bro. (Kentang= kena tanggung)

Sejak hari itu, akhirnya gue jadi, dinner sama Maretha. Semenjak dinner itu, gue jadi deket banget sama Maretha, kita banyak sharing bareng dan menertawakan suka duka kita sebagai mixed race citizens yang tumbuh besar di Indonesia. — Oh anyway, kita WNI juga loh guys... Dan kita proud akan hal itu. Jadi jangan kira gue tidak terlahir di Indonesia ya, gue lahir di Bandung kok. Dan mungkin ceritanya akan sangat jauh berbeda, kalau gue dilahirkan di Las Vegas.

By the way, soal nama, ada alasan dibalik tertulisnya 'Halden' pada nama tengahnya dia itu. Halden adalah nama nyokapnya Maretha bro. Tante Halden. Mamih nya Maretha, bule asli Irlandia, cantik, eloquently spoken, nggak berani deket deket gue sama nyokapnya, takut khilaf, bro... Soalnya gue ada bakat bakat jadi brondie. (Baca= Brondong)

Mending gue main sama anaknya aja, cari aman, atau biar compatible aja, gitu. Hehe... — Meskipun mixed race. (blasteran) Maretha tetap bisa menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial di Indonesia. — Beda sekali dengan gue yang banyak kena hajar pada awalnya. Soalnya papih nya si Tata itu asli orang Indo kan ya, om Raksawilendra itu... — Yang namanya terpampang di salah satu gedung pencakar langit ternama di pusat kota Jakarta.

Tapi sempat jatuh pas udah grand opening nya... Haaaaahahahahahaha. Kira kira pada tau nggak ya? LOL. Eh, nggak sopan amat ya gue ini. — Tentang papihnya Maretha. Om raksawilendra, beliau orangnya baik, bijak kok, beliau banyak menasehati gue soal menyoal how to live in Indonesia. Apalagi pas pertama kali gue memutuskan tuk lumayan lama menetap kembali di Indonesia.

Karena gayung bersambut. Gue berkenalan dengan mereka, Maretha's parent. Sekitar satu tahun setelah gue deket sama Tata, barulah dia berani dan berniat untuk introduce gue sama bokap dan nyokapnya.

Sebaliknya dengan gue, karena ada niatan baik dari Tata, gue beranikan diri buat ajak Ibu agar bertemu juga dengan mereka, akhirnya kita sekeluarga dinner bareng di Jakarta, di daerah menteng kalau nggak salah, di tahun tahun itu.

So that's how we roll. Sampai hari ini pun, nyokap masih banyak banget komunikasi sama Tata, karena kegemaran mereka berdua sama, fashion. Yang emang nggak ada matinya, di samping itu, nyokap punya banyak bisnis sama Tata. Lagi lagi, bisnisnya ya kalau nggak fashion, ya paling jewelry dan pernak pernik kesukaan mereka itu.

Tipikal – tipikal bisnis a la perempuan Jakarta lah ya...

Doyan Cewek, I Am A Boy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang