Fast lane 41.2 - A Pale Motion

49 1 0
                                    

Saat Dewinta berpindah langkah dan menoleh ke hadapan gue.

"Kok wajahmu pucat?" tanyanya bingung kepada gue.

"Iya, kenapa ya." tanya gue balik kepada diri gue sendiri.

"Kamu sudah makan siang belum?"

"Belum."

"Astaga. Palma.... Jadi tadi selama aku marah marahin itu kamu itu kamu belum makan siang?"

"Haha." tawa masam gue terdengar.

"Palma, nggak lucu. Ayo sini, kita makan siang dulu."

Tangan gue ditarik sama Dewinta buat langsung makan siang dirumah do'i. Makan apa gue nggak inget, minum apa, pun gue juga nggak inget. And i wish that time were never existed. But one thing for sure, is that, gue di sermon habis habisan sama kakak Dewinta, mulai dari zaman zaman kita masih berada SD SMP doloe, sampai kejadian kemarin kemarin itu.

Gue mencoba untuk mengelak... membujuk bujuk Dewinta agar dia take it easy saja... Mungkin itu sudah yang ke sekian kalinya. Jadi nggak heran kalau Dewinta pada akhirnya mulai berani dekat dengan cowok lain selain gue.

Cowok cowok yang nggak kalah financially stable dan lebih mature daripada gue. — Kalau ditanya, Gue, sakit hati apa enggak? Wohohooo, it takes a lot of moneyyy to answer that kind of bitchy question... Hahahaha, bercanda peeps. — Bisa dilihat kan? How immature i am. Disaat setiap teenager yang pada akhirnya grow up, getting a lil bit more serious in their life... dalam hal dan aspek kehidupan romansa mereka, Gue? enggak! Hahahaha.

Gue enggak sama sekali... Kecuali kalau itu orientasinya adalah pekerjaan... Karena gue nggak pernah main main (ini buohong, alias nggak sepenuhnya benar ahahahaha.) soal pekerjaan gue... Gue bahkan rela menjadi seorang carpenter hanya demi merasakan yang namanya susah payah mencari uang, seeking for money.

Gue nggak masalah dapat hourly wages yang kecil hanya demi belajar bagaimana caranya dalam how to respect your boss, dedicate yourself, dan building a good relationship inside the company. Nggak masalah.... Itu semua bisa di kalkulasi dan beda sama yang namanya cinta cintaan.

Cumaa... cumaa Dewinta selalu ada benernya... Ada yang bisa diambil dari nasihat dia. Ada yang bisa direnungkan dari kritik dan saran yang panjang lebar yang dia coba dan berusaha terangkan kepada gue...

Jadi setiap kali Dewinta mengoceh, gue nggak cuma manggut manggut aja sebetulnya... Gue dengarkan dia baik baik, bahkan kalau ada yang terlewat, gue minta Dee untuk mengulang dua kali, sampai dia kesal dan nempel nempel gemas sama gue. Gue heran, kok adaaa ya yang mau setia sama orang kayak gue ini, dan orang itu nggak cuma Ibu saja....

Yang kalau gue rese'in, judesnya udah judes setengah mati guysss. Dan bisa dipastikan kalau Ibu adalah wanita yang lebih gue nggak mau ajak ngobrol kalau dia lagi bermasalah sama gue, beda sama Dewinta, ini anak, justru gue doyan sama dia kalau lagi bermasalah, kalau adem adem aja gue malah nggak bersemangat samasekali.

But perhaps kalau gue bisa mengulang moment itu lagi, gue ingin bertanya kepada Dewinta, kenapa dia MAU gue untuk tetap berada di dalam hidupnya. Gue mau tanya itu, gue mau tahu apa jawabannya. Cuman karena terlalu asyiknya gue duduk dan menyimak apa kata do'i, ya sudyah...

Karena nggak ada hal lain di kepala gue selain nggeh nggeh ajaaa sama apa yang Dewinta katakan kepada gue. Kalau gue tanya do'i sekarang pasti nggak bakal serius itu jawabannya, meneketehe, paling...

Tapi terakhir terakhir itu gue jadi inget Dewinta pernah ngomong begini sama gue, "Enak ya, makanan nya?"

"Iya. Enak." jawab gue singkat.

"Maaf yaa tadi..." kata dia kepada gue.

Gue, cuma bisa diam, melanjutkan mengunyah makanan yang sedang gue makan...

Bingung gue, terlalu banyak maaf di hari itu, ya maaf dari gue lah, ya maaf dari Dewinta lah. Gue pikir jadi manusia ini memang limitless banget kalau sudah berurusan dengan kata 'maaf'

It's good, but sometimes, i'm getting overdose because of hearing that word in some life situation. — Eventually in that day, Dee jadi akur lagi sama gue, duhh, sebenarnya gue maluuu banget ngungkapin hal hal begini. But whatsoever, this is my two cents, my legacy, you don't like it? that's fine, nigga.

Seingat gue... Nggak ada apa apa yang wonderful lagi setelah itu, nggak secara signifikan, selain gue cuma memainkan piano, doski menyanyikan lagu sambil memainkan profil Instagram nya, itupun nyanyinya nggak fokus, tapi slowwww lahhhh, kali kali gue dikacangin juga nggak masalah. Jadi badut kali kali gitu...

►♀◄

Belakangan ini gue lagi mood banget nih buat menulis. Nggak gue tanya dulu diri gue apa dan bagaimana nya, gue rasa perasaan ingin menulis itu datang tiba tiba. Jadi gue lanjut.

My truly, heavy sorry, karena gue nggak update secara berkala, karena gue not that much lovely, nggak sesuai ekspektasi temen temen semuaaa, nggak prestatif, cenderung dorky, weird, not even classy, banyak ignoring nya dan lain lain. (Maaf norak dikit)

It's unexplainable and beyond reason tapi gue minta maaf karena gue cuma seorang amatiran yang nggak jago jago banget menulis dan bisa dibilang memang newbie dalam men-develop sesuatu yang seperti ini. Nulis nulis maksud gue... Masih harus banyak belajar, nih, hehe.

For the next session, gue cobaaa sebisa mungkin mengalir biasa ajaa nggak yang berat berat deh bahasanya ya... omfg hahahaha. — Ibu pernah bilang, itu pun Ibu belajar dari guru meditasinya, yang memang seorang nippon sejati, she said that, "You are, is what you see. You are, is how you see yourself. You are, is how you are, in this universe."

Understood, mom.

Jadi, if i see myself as an ugly, lack of motivating person and a total fallacies that somehow is rolling within this earthly mankind living. I will always be seen as that kind of person.

Which i, would not doing that thing anymore.

Okelah, gue nggak bakal menganggap remeh diri gue serendah itu lagi... Tapi kalau misalnyaaa, misalnya gue nggak banyak cakap, dan gue cenderung diam... Gue cenderung cuma memperhatikan saja....

Dan gue cenderung merendah rendahkan sesuatu di dalam diri gue... Itu artinya gue sedang berusaha untuk belajar, gue sedang berusaha merendah, gue sedang berusaha untuk lebih bisa diterima oleh siapapun.

Ini buat Papa...., Ibu juga, te ri ma ka sih ba nyak Paa, Buu. I, i don't know, i'm being speechless. Lagi lagi Palma bukan putra yang sempurna... Bagi kalian berdua.. maaf ya buuu.

Terima kasih sudah memberi saya kesempatan. Terima kasih sudah bersabar terhadap diri saya.

Terima kasih, maaf bu, maaf Palma tidak bisa se dramatis dan se romantis itu... Tapi Palma percaya, dan Ibu percaya, pun kita sudah melalui hal hal seperti ini berulang ulang kali... Then it's settled.

Maaf Palma belakangan ini jarang kontak Ibu. Uh.... Perhaps, another thanks in this very occasion would be darn good for you, bu... So.... thank you.

Doyan Cewek, I Am A Boy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang