51

2.6K 91 0
                                    

Kalau saja aku bisa memilih, aku lebih memilih menjadi seseorang yang tidak peduli daripada peduli namun tidak dihargai.

💖💖💖

Hivi bangkit dari kasurnya lalu berjalan mondar mandir tidak jelas. Malam ini cerah dan dirinya tengah dilanda bosan. Para sahabatnya pergi berlibur dan tidak ada yang tinggal selain dirinya.

Jalan jalan keluar? Hell, Hivi tak pernah mau jika itu sendiri. Hivi menghembuskan nafas kesal. Haruskah dirinya seperti ini? Dirunah dengan mondar mandir tidak jelas sampai pagi. Dan Hivi yakin besok pagi kakinya akan lepas dari engselnya.

Hivi berhenti, ia bertolak pinggang dan menatap keseluruhan kamarnya. Dan.... pandangannya jatuh kearah gitar yang tiba tiba datang minggu lalu.

Ah, ya. Dia belum pernah menggunakannya selama ini. Hivi berjalan kearah gitar tersebut dan mengambilnya dari gantungannya.

Hivi akui gitar ini memang bagus, dengan aksen kayu yang nyata dan tekstur kasar di depannya. Tidak lupa sebuah stiker bunga manis berwarna pink yang dikelilingi bintang bintang kecil berwarna hijau yang mengkilap.

Senyum Hivi mengembang dengan sendirinya. Mood nya yang tadi memburuk kini naik seperti semula. Ingatkan Hivi untuk mengucapkan banyak banyak terima kasih kepada orang yang memberikan gitar ini kepadanya saat ia tau siapa pemberinya.

Hivi langsung beranjak keluar rumah. Rencananya ia akan memainkan gitar itu dan menghabiskan waktunya di tepi danau kecil diujung kompleks. Dengan berbekalkan piyama putih polos dengan sendal berbentuk anjing dengan bulu bulu yang lembut, Hivi melangkahkan kakinya dengan riang. Ia tersenyum lebar tiap kali berpapasan dengan orang orang.

Ah... ini pasti akan menjadi malam yang menyenangkan.

Ya... Siapa yang tau..

💖💖💖

"MULAI SEKARANG ARKA AKAN TINGGAL DISINI! GAK ADA BANTAHAN!" Suara berat itu menggelegar didalam rumah besar itu. Semua yang mendengarnya pasti akan menciut takut dan bergetar.

Berbeda dengan seorang Alfa. Ia memberanikan dirinya menatap sang papa yang dadanya naik turun menahan amarah.

"GAK! DIA GAK BOLEH DISINI! DIA YANG MILIH TINGGAL DI PARIS, TERUS KENAPA MALAH BALIK LAGI? BELUM PUAS ANAK KESAYANGAN PAPA ITU BIKIN AKU MENDERITA? BELUM PUAS HA?!" Balas Alfa tak kalah besarnya. Ia tau ia telah melewati batas. Namun ia juga tak mau berurusan lagi dengan masa lalunya.

"Alfa, Arka itu saudara kamu. Kapan kamu mau maafin dia?" Suara Lano merendah. Memijat pelipisnya pening.

"Saudara? Saudara mana yang menghianati saudaranya sendiri? Dan papa malah lebih mentingin dia saat Alfa lagi terpuruk." Alfa berkata dingin. Entah sudah berapa ribu kali Alfa menyebut Lano bilang begitu dan entah berapa kali Alfa menjawabnya dengan hal yang sama. "Kalau dia tetap mau tinggal disini, kalo gitu aku aja yang pergi," Alfa mengambil jaketnya serta kunci motor lalu pergi dari rumah.

"ALFA KAMU MAU KEMANA?! ALFA!!" Teriak Lano. Alfa tak menggubris, ia terus berjalan dan pergi dengan Honda ninjanya.

Lano menghela nafas berat. Ia duduk disofa seraya memijit pelipisnya yang semakin berdenyut. Untung Vania tidak ada disini, jika ada maka wanita tercintanya akan kembali menangis dan terluka.

(Don't) goTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang