63

2.5K 77 1
                                    

Bila aku gelap. Kau adalah terang. Kau menjadi penerang dalam hidupku yang gelap dan aku akan menjadi tempat dimana terangmu amat sangat diperlukan.

~A~

💖💖💖

Alfa mengerjab. Menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya kala dirinya terbangun. Alfa melihat sekeliling sembari berusaha duduk, paha yang menjadi bantalannya kini telah berubah menjadi bantal sofa biasa, namun nyaman.

Diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul 15.34. Cukup lama dirinya tertidur, dan dia yakin kalau nanti malam jam tidurnya akan lebih lambat.

Tubuhnya kembali bugar, kepalanya sudah lebih ringan dan perasaannya jauh lebih baik. Alfa memutar kepalanya kekanan dan kekiri, mencari sosok pemilik rumah yang sudah merawatnya tadi. Namun nihil, keadaan rumah sepi dan hanya ada dia disana.

Ceklek.

Pintu rumah terbuka, membuat Alfa refleks menoleh. Didapatinya Hivi dengan dua kantong belanjaan sedang dikedua tangannya.

Alfa berdiri, mengambil inisiatif sendiri untuk membanti gadis itu.

"Eh?!" Hivi terlonjak kaget saat Alfa tiba-tiba mengambil kedua belanjaannya.

"Biar gue bantu." Katanya lalu berjalan kearah dapur.

"Lo udah baikan?" Tanya Hivi yang berusaha menyajarkan langkah Alfa.

"Bahkan jauh lebih baik." Jawab Alfa sembari menaruh belanjaan Hivi diatas pantry.

"Oh.... baguslah." Lirih Hivi. Kepalanya tertunduk dengan pandangan kosong kearah lantai.

Keduanya diam. Terjebak kedalam hening selama beberapa saat. Sampai Alfa membuka suara.

"Mau denger cerita?"

Dan disinilah Hivi dan Alfa. Duduk di taman belakang rumah Hivi. Taman ini kecil, hanya ada satu pohon mangga yang rindang, beberapa tanaman hias dan rumput yang ditata rapi membentuk pagar. Keduanya duduk di kursi yang ada dibawah pohon mangga dengan soda ditangan masing-masing.

"Sebenernya..... gue punya kembaran."

Hivi sudah tak kaget soal itu. Ia sudah menduganya saat melihat pemuda yang mirip dengan Alfa tadi malam.

"Namanya Arka. Kita dulu memang kayak saudara kembar normal. Main berdua, makan, sekamar, berantem, semuanya. Tapi bokap mandang kita beda, secara intelejen menurut gue. Bukan kasih sayang, gue sama dia dapet kasih sayang yang seimbang. Gue ngerti kalo bokap lebih mentingin Arka ketimbang gue karna dia anak sulung, anak yang wajib gantiin posisi papa saat papa pensiun. Asal lo tau, dulu waktu gue sd gue bodoh." Alfa terkekeh. Lebih terdengar miris.

"Dan demi nyamain dia, gue berjuang keras. Disitu gue ketemu Stephanie. Cewek yang nyemangatin gue buat gak nyerah untuk nyamain Arka. Dia yang bantuin gue belajar, dia yang selalu ada saat gue butuh, dan dia yang buat gue jatuh cinta untuk yang pertaman kalinya."

Hivi diam. Namun, hatinya tertohok mendengar betapa berartinya gadis yang dibicarakan Alfa. Matanya melirik Alfa yang tengah memandang lurus kedepan, dibibirnya tersungging senyuman. Yah,,, senyuman pahit.

"Dan seperti tebakan lo, gue berhasil nyamain Arka. Disaat dia fokus untuk ngelanjutin perusahaan papa, gue malah fokus buat gapai cita-cita gue. Dokter. Dan gue merasa bangga akan hal itu. Gue banyak baca kasus dimana dua orang saudara kembar retak hubungan cuma karna warisan. Tapi gue dan Arka beda, kita mencapai tujuan yang berbeda dengan cara yang sama. Gue kira persaudaraan kami bakal baik-baik aja. Waktu itu libur kenaikan kelas sembilan, papa bawa Arka ke Paris. Saat gue tanya ngapain, papa bilang ada urusan dengan kepindahtanganan perusahaan, dengan alasan diurus duluan supaya gak repot belakangan. Gue percaya, tapi disaat yang sama Stephanie juga ikutan pergi gak ada kabar. Gue berusaha positive thinking. Tapi saat mereka belum pulang disaat sekolah udah masuk, pikiran gue mulai aneh-aneh. Dan....... fyi, gue bener. Gue gak nyangka bakal dapet kejutan. Mereka berdua sama-sama ke Paris." Alfa menolehkan kepalanya pada Hivi dan menatap gadis itu dalam.

(Don't) goTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang