42

2.7K 91 0
                                    

Apakah cemburu dan curiga itu hanya berhak dirasakan sepasang kekasih? Jika iya, maka mengapa aku merasakannya pada seseorang yang bahkan bukan siapa siapa dalam hidupku?

~HA~

💖💖💖

Hembusan nafas gusar keluar dari mulut Maxi saat dirinya menemukan Hivi dikelas dalam keadaan kepala yang ada diantara lipatan tangannya diatas meja.

Memang itu adalah salah satu kebiasannya saat sampai kesekolah jika terlalu cepat atau terlalu lelah. Namun yang membuatnya khawatir adalah sebuah jaket kain tipis berwarna maroon terpakai ditubuhnya. Itu pasti untuk menutup luka yang entah disengaja atau tidak dibuatnya.

Kaki Maxi melangkah masuk kedalam kelas dan duduk dibangku Vela, disamping Hivi. Tangannya terangkat membelai lembut kepala sang sahabat. Sahabat yang pernah membuatnya jatuh hati. Namun sepertinya takdirnya kali ini bisa disebut friendzone karna Hivi tak membalas perasaannya. Hivi hanya sebatas menyayangi Maxi seperti ia menyayangi Marthin, seorang abang. Dan Maxi tak pernah memaksa Hivi.

Tak lama, Hivi mengangkat kepalanya dan mendongak memandang Maxi dengan wajah pucatnya.

"Kenapa lagi, hm?" Tanya Maxi yang masih mengelus kepalanya.

"Ac dikamar mati." Jawab Hivi sedikit lemah.

"Orang gila mana yang sakit mau pakai ac sementara lima selimut tebel aja belum cukup sama dia?" Maxi menukas membuat raut wajah Hivi berubah. Ia tak akan pernah bisa membohongi Maxi.

"Kak Helen.... gue mimpiin dia. Tapi gue cuma denger suaranya doang. Dianya gak ada." Hivi bercerita, tentang bagaimana ia tak tidur dari jam tiga setelah mendapatkan mimpi yang menurutnya buruk itu.

Tanpa banyak komentar, Maxi merengkuh tubuh lemah Hivi dalam dekapannya. Ia tau, bahwa Hivi hanya butuh sandaran, bukan kata kata.

"Kenapa Max? Kenapa kak Helen gak pernah nemuin gue dalam mimpi? Padahal gue pingin banget ketemu sama dia walau cuma mimpi. Kak Helen marah ya sama gue? Kak Helen marah sama gue karna harusnya yang—"

Maxi mengeratkan pelukannya, sengaja agar Hivi tak menyelesaikan kata katanya.

Hivi menutup matanya kuat, menghirup oksigen dalam dalam lalu mengeluarkannya. Berharap cara itu bisa membuat air matanya tak terjatuh.

"Lo gak pulang aja?"

"Ada bunda dirumah. Gue ga mau buat khawatir." Jawab Hivi yang memejamkan matanya didalam pelukan Maxi.

"Trus tante gak curiga lo pake jaket?"

"Gue cuma bilang cuaca hari ini dingin. Dan untung cuaca berpihak ke gue, akhir akhir ini mendung kan?"

Maxi terkekeh, "lo emang bisa buat opini itu fakta."

Hivi ikut terkekeh.

"Berangkat sendiri tadi?" Maxi kembali bertanya.

"Enggak, dianter ayah."

"Gak curiga?"

"Cuma tinggal bilang kangen dianter ayah. Beres." Hivi berucap enteng.

(Don't) goTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang