Obsesi itu ibarat monster, semakin kau menuruti perkataannya semakin besar ia mengendalikan hidupmu.
💖💖💖
"Lidya?!"
Hivi, Maxi, Heru dan Justin segera berdiri dari duduk mereka dan menghampiri Meila, Cassandra dan Amy yang tampak beradu mulut dengan Lidya.
"Jelas-jelas elo jalan yang ga liat-liat! Malah nyalahin orang lain!" Kata Amy menggebu-gebu.
"Kaliannya aja yang gak becus jalan!" Lidya tak mau kalah.
"Kami udah jalan bener, lo nya aja yang gak ngotak!" Sentak Meila.
"Kalian udah!" Pekik Hivi menengahi. "Malu tau diliatin banyak orang!"
"Dianya aja yang gak tau malu!" Cassandra menunjuk Lidya.
"Udah!" Lerai Hivi lagi. "Ka–kami minta maaf."
Meila, Amy, Cassandra, Heru, Justin dan Maxi membulatkan mata mereka kaget.
"Vi! Apaan sih?!" Amy menarik tangan Hivi dengan kesal.
Lidya terseyum miring, "lo fikir mudah? Pungut belanjaan gue!"
Hivi mengangguk membuat semua teman-temannya kembali melotot kaget. Hivi membungkuk, hendak mengambil barang-barang Lidya yang berantakan sebelum seseorang menahannya.
Hivi mendongak, menemukan seseorang yang tadi menabraknya. Mitha tersenyum lembut dan menarik Hivi untuk bangkit kembali. Ia meletakkan Hivi tepat disamping sepupunya. Lagi-lagi semua orang dibuat kaget.
Mitha membalik badannya menghadap Lidya lalu tersenyum remeh. Ia memandangi barang Lidya yang berserakan lalu mengambilnya dengan sembarangan.
"Nih!" Mitha mengulurkan tangannya memberikan barang Lidya. Lidya menatap Mitha marah lalu menatap barangnya. Baru saja dirinya hendak mengambil, Mitha malah menjatuhkannya.
"Oups" Mitha menutup mulutnya seolah kaget.
"Lo tuh—"
"Apa?" Mitha memotong. Tangannya kini sudah terlipat didepan dada.
"Cuma gue ya, yang diem ngadepin orang macam lo! Oh, sama dia tentunya." Mitha melirik Hivi sekilas.
"Orang macam apa?" Lidya mendesis, "apa maksud lo?!"
"Kapan ulang tahun lo? Biar gue kadoin kaca, super gede deh, gue janji!" Ujar Mitha.
"Lo tau? Gue udah berusaha sabar ya ngadepin lo, gak sengaja nyenggol trus ngamuk ga jelas. Ini tempat umum, mbak. Dan lo berulah disini, lo mau caper atau urat malu lo yang udah putus? Lo gak nyadar orang-orang liat lo aneh? Padahal lo sendiri yang salah, jalan sambil ngeponsel. Untung nabrak orang, kalo lo nyungsrep gegara ga liat ada eskalator didepan gimana? Untung kalo idup, kalo lo mati?"
Sebagian orang disana menutup mulut menahan tawa. Wajah Lidya sendiri sudah merah padam menahan malu serta marah.
"Lain kali hati-hati, kalo lo mati, bonyok lo yang susah. Udah capek ngebesarin anaknya, eh malah kayak gini. Ga tau sopan santun dan ga punya malu, kasian banget. Oh, atau orang tua lo ga ngajarin lo ya?" Mitha terus mengeluarkan kata-kata pedasnya. Nafas Lidya kini bertambah cepat, hidungnya kembang kempis menahan amarah, matanya berkaca-kaca saat Mitha menyinggung tentang keluarga.
"Lo–"
"Stop!" Hivi memotong kata-kata Mitha. Ia maju dan memegang pundak Mitha. "Lo udah keterlaluan."
Mitha memandang Hivi heran.
Lidya muak, benar-benar muak. Ia mengambil belanjaannya dengan kasar dan pergi dari sana dengan langkah lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Don't) go
Teen FictionMereka mengira, Tuhan mempertemukan mereka hanya untuk menjalin cinta kemudian berakhir bahagia. Namun takdir tidak berkata demikian. Dengan yang telah digariskan, mereka tidak dipertemukan bukan untuk berkisah sebagaimana yang mereka fikirkan. 99...