34. menuju Chicago

858 90 5
                                    

Tiga hari setelah insiden penembakkan tersebut, suasana telah menjadi kondusif dan mereka kembali berkegiatan seperti biasa.

Tak terkecuali Letta, meskipun tangannya masih harus diperban dan sedikit nyeri ketika digerakkan. Hal tersebut tak menghalanginya untuk melakukan aktivitas. Hal tersebut membuat sahabat-sahabatnya hanya dapat menghembuskan napas lelah, karena tidak ada yang bisa mengalahkan kekeras kepalaan gadis berkacamata tersebut.

"Sudah kukatakan biar aku saja yang membawanya. Seharusnya kau beristirahat saja" kecuali satu orang ini, yang masih setia mengomeli gadis keras kepala tersebut.

"Ini koperku, jadi biarkan aku yang membawanya" Letta berusaha untuk merebut kopernya. Tapi melihat Jonah yang melotot garang kepadanya, membuat nyali Letta ciut seketika. Setelah perdebatan itu berakhir, mereka segera menuju bis yang akan membawa mereka menuju Chicago. Sementara yang lain sudah berada di sebelah bus berwarna hitam tersebut.

"Lama sekali pasangan yang satu ini" Darren mengetuk-ngetukkan kakinya tidak sabar, seraya memandang Letta dan Jonah yang baru saja tiba.

Yap, pemuda berusia dua puluh satu tahun ini adalah orang yang sangat amat tepat waktu. Jika Paul akan menghitung setiap menit keterlambatan, maka Darren akan menghitung setiap detik keterlambatan.

Darren adalah seorang yang sangat perfectsionis, dibalik wajah imut dan senyum manisnya, tersimpan sosok yang bossy dan diktaktor. Mungkin itu adalah salah satu dampak dari kecerdasannya yang di atas rata-rata.

Maka jika ada yang tidak sesuai dengan pemikirannya dia akan menjadi luar biasa kesal.

"Jika kau tidak sabar, kau bisa kesana dan menggendong mereka agar segera sampai" ucap Daniel, yang sedang bersedekap dada di depan pintu bus.

Darren hanya melirik pemuda bermata biru safir itu sekilas, dan kembali memperhatikan jam tangannya.

Setelah berkemas dan menata barang-barang mereka di bagasi bus, akhirnya bus hitam tersebut meluncur memulai perjalanan panjang ke Chicago.

"Kau lelah? Sebaiknya kau istirahat saja, Atau kau ingin tidur?" tawar Jonah.

Letta mendengus jengkel. "Aku sudah tidur selama empat puluh lima jam kalau kau lupa, dan aku sama sekali belum mau bertemu dengan bantal" ucap Letta, berhasil membungkam Jonah.

"Sebaiknya kau yang beristirahat, kau pasti lelah harus menjagaku, dan melakukan konser sekaligus" ucap Letta, sembari memperhatikan kantung mata Jonah yang menghitam.

"Jangan khawatir Letta, bahkan jika disuruh tidak tidur selama satu tahun pun, dia akan rela demi dirimu" sela Jack yang duduk di kursi paling belakang. Kedua mata hazel itu masih fokus menatap game pada layar ponsel pintarnya.

Zach yang berada di sebelahnya sudah berteriak-teriak dengan heboh, dan sesekali memaki Jack serta Darren yang juga fokus terhadap ponsel mereka.

Jonah mendengus menatap ketiga orang gila yang sedang berteriak-teriak di kursi paling belakang.

Bugh ...

"Diamlah kalian bertiga, ini bukan hutan" hardik Corbyn. Ia yang sedang berusaha tidur, merasa terganggu akibat teriakan ketiga orang yang duduk di belakangnya. Ia melempar sebuah bantal leher yang tepat mengenai wajah Zach.

"What the heck, dude!" perotes Zach yang terkena lemparan maut Corbyn.

"Haah, aku jadi kalah karenamu!" Corbyn kembali menutup matanya, tidak perduli akan protes yang diberikan oleh Zach.

Ia sangat lelah sekali, semalaman suntuk dia tidak bisa tidur karena harus mengolah informasi yang di dapatkan dari calon mertuanya.

Bukan hanya itu, ia juga harus memikirkan berbagai macam kemungkinan yang akan terjadi di chicago nanti. Bukannya dia tidak tahu jika ada bahaya besar yang menanti mereka di sana. Perjalanan ini bisa disebut sebagai perjalanan menuju perut neraka.

Corbyn merasakan sebuah sapuan lembut di dahi nya. Kedua mata nya terbuka, dan mendapati jemari lentik Hanna yang sedang mengusap-usap dahinya.

"Jangan suka mengerutkan dahi begitu, kau terlihat tua" Hanna terkekeh kecil. Corbyn memgulas senyum simpul kepada tunangan cantiknya.

"Aah~ romantisnya" suara itu menginterupsi kemesraan kedua insan tersebut. Tampak Zach dan Jack yang sedang menumpukan kepalanya di sandaran kursi.

Zach mengelus dahi Jack dengan lembut. "Jangan suka mengerutkan dahimu, kau terlihat tua" Zach meniru ucapan Hanna tadi, tetapi dengan nada manja yang dibuat-buat.

Jack menggenggam tangan itu dan kemudian mendekatkan wajahnya kepada Zach, "terimakasih beb, kau sangat perhatian" kemudian ia memajukan bibirnya, seakan hendak mencium Zach.

"Yak ...! kau menjijikan!" Zach mendorong wajah Jack agar menjauh dari dirinya.

"Argh ...! kau kasar sekali" sungut Jack sembari merapikan rambut keritingnya.

Sementara di sisi lain bus, tampak Daniel yang sedang sibuk dengan ponselnya, entah apa yang menarik dari benda pipih tersebut. Tampak beberapa kali ia mengerutkan dahi, atau berganti dengan sebuah seringaian, yang hanya dirinya yang mengerti arti dibaliknya.

Sementara Jocellin yang berada di sebelah Daniel, fokus menatap seorang pemuda Asia yang masih sibuk dengan game di ponselnya. Ada banyak pertanyaan berlalu lalang di kepalanya.

Apakah pemuda itu 'sama' seperti dirinya?

Hingga pemuda yang dia perhatikan mengalihkan tatapan kepadanya.
Sebuah senyum tanpa dosa terpajang di wajah imut itu, dengan sebelah alis yang terangkat, membuat wajahnya semakin menjengkelkan untuk dipandang.

Kedua mata mereka masih saling beradu tatap, seakan saling mengikat satu sama lain. Hingga sebuah telapak tangan menghalangi pandangan Jocellin, ternyata pemilik telapak tangan tersebut adalah Daniel.

" jangan menatapnya seperti itu" tutur Daniel dengan wajah datar.

Jocellin menoleh. "Seperti apa?" tanya gadis itu.

Daniel menoleh dan menatap kedua manik biru yang serupa dengan miliknya. "Kau menatapnya seakan dia adalah makhluk paling indah di dunia ini"

"Jangan mengada-ada kau ini" Jocellin mendengus. Mana mungkin dia menatap seperti itu.

Daniel terkekeh dan mengacak puncak kepala Jocellin dengan gemas.
"Aku sudah berjanji akan menjagamu, termasuk untuk menjagamu dari para bajian seperti dia" Daniel mengedikkan dagunya kearah Darren, yang telah kembali fokus pada ponselnya.

Jocellin mendelik. "Kau menilainya seakan-akan kau tahu bagaimana tipikal pria bajingan itu sendiri" cibir Jocellin.

Daniel balas mendelik. "Sejak kapan kau menjadi suka membantah seperti ini?" tanya Daniel tak suka.

Kemana perginya Jocellin nya yang manis dan selalu menurut tersebut.

Eh? Jocellin nya? Apa Daniel baru saja mengklaim gadis itu sebagi miliknya?

"Aku tidak akan menuruti semua perkataanmu, aku tidak ingin ikut 'tersesat' bersamamu" kata Jocellin dengan menekan kata tersesat.

Daniel mengerutkan dahinya bingung. Kedua bibirnya terbuka hendak menjawab ucapan Jocellin, jika saja ponsel yang sedari digenggamnya tidak bergetar. Kedua pupilnya membulat begitu melihat id caller yang masuk.

'Shit, kenapa harus sekarang dia menelpon?'

Daniel bangkit dari duduknya dan berjalan menuju bagian belakang bus untuk mengangkat panggilan tersebut.

Jocellin menatap punggung Daniel yang semakin menjauh dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

"Tenang saja, dia tidak akan pergi ke neraka. Belum" Jocellin tersentak kaget ketika mendengar suara seseorang di sebelahnya.

"Sejak kapan kau ... " Jocellin gelagapan.

Darren menurunkan telunjuk Jocellin yang berada di depan wajahnya. "Kau jangan terlalu mengkhawatirkannya"

"Apa maksudmu?" tanya Jocellin berpura-pura tidak mengerti.

Darren menatap kedua mata Jocellin dengan intens. Membuat gadis itu menciut di tempatnya, entah bagaimana tatapan itu terasa begitu mengintimidasi dirinya.

"Jangan biarkan dia tersesat terlalu jauh, manis" bisik Darren tepat di telinga Jocellin.

*****
Don't copy my story!!

~Weni

why don't we? (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang