71

788 68 18
                                    

Senja bersalju itu di habiskan oleh sepasang anak adam dan hawa untuk saling berpelukkan menghalau dinginnya musim dingin untuk menusuk kulit mereka.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Letta tiba-tiba.

"Apanya?" tanya Jonah balik. Tangan lebarnya masih setia mengelus puncak kepala gadis berkacamata itu.

"Mengenai yang kita bicarakan tiga hari yang lalu" Letta mendengus jengkel. Semenjak pembicaraan mereka mengenai kakeknya, Jonah selalu saja mengalihkan pembicara atau berdalih dengan berbagai macam hal.

"Sebaiknya kita fokus untuk kesembuhanmu terlebih dahulu" see? Pemuda ini kembali berkilah.

Letta bangkit dari posisi tidur diatas dada bidang Jonah. "Jangan mengalihkan pembicaraan Jonah marais" gadis itu menatap tajam sepasang manik safir milik Jonah.

"Aku,,aku,," Jonah mengedarkan pandangannya, menghindar dari sepasang hazel yang tengah menatap tajam kepadanya.

"Tatap aku" Letta menangkup rahang Jonah menyebabkan manik hazel dan safir itu saling tatap.

"Kau ingin menjalani hidup dengan tenang bukan?"

"Ya aku ingin, tapi,,"

"Lantas kenapa kau masih ragu?"

"Aku hanya,,,"

"Jangan biarkan dendam itu semakin besar Jou"

"Aku hanya belum siap!" nada suara Jonah naik satu oktaf membuat Letta terperanjat kaget.

Jonah turun dari atas bankar dan kemudian mengusap wajahnya kasar. Ia berdiri menghadap jendela yang menampilkan bagaimana salju secara perlahan menutupi seluruh permukaan jalan.

"Aku belum siap melihat wajahnya kembali, aku takut kebencianku akan bertambah besar setiap melihatnya" lirih Jonah.

Letta bangkit dan mendekati Jonah. "Tidak pernah terlupakan sedetikpun bagaimana aku menyaksikan kematian kedua orangtuaku. Pada saat aku berumur 10 tahun aku mengalami kecelakaan dan terbangun tanpa ingatan apapun, tapi beberapa bulan kemudian aku mengalami mimpi buruk, bukan tapi aku kembali mengingat tentang kematian orangtuaku" cerita Jonah.

"Kenapa dari sekian banyak memori kenapa harus ingatan itu yang kembali kuingat?!" Jonah mengusap wajahnya denga n frustasi.

Letta menarik Jonah kedalam pelukkannya, ia mengelus kepala Jonah dan membisikkan kata-kata yang menenangkan.

"Entahlah aku harus bersyukur atau tidak karena setidaknya aku tidak melupakan jika aku pernah memiliki orangtua sebelumnya" gumam Jonah dengan penuh luka di dalam nada suaranya.

"Aku tau sangat berat bagi dirimu untuk melakukannya, aku tidak akan berharap jika kau akan memaafkan kakekmu demi dirinya. tetapi lakukanlah demi dirimu, ketenangan batinmu. Sudah cukup kau menyimpan rasa sakit selama ini" Letta menepuk-nepuk dada Jonah menenangkan.

Jonah menghela napas dalam. "Baiklah" ucapnya, pada akhirnya dia tidak akan pernah bisa menang dari gadis yang berada di dalam pelukkannya tersebut.

"Mantra apa yang kau berikan kepadaku sehingga aku tidak dapat membantahmu hmm?" bisik Jonah pada telinga Letta.

"Mantra cinta?" balas Letta dengan berbisik.

Jonah merenggangkan pelukkannya dan menatap lamat wajah gadisnya.

"Ternyata Arletta Edward sudah pandai menggombal sekarang eh?" Jonah menaikkan sebelah alis tebalnya.

"Aku belajar dari ahlinya" Letta mengedipkan sebelah matanya dan kemudian menjulurkan lidahnya.

why don't we? (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang