Daniel termenung di balkon kamarnya, kedua safirnya menatap kosong kepada hamparan pohon ysng tertutupi oleh salju.
Namun ketika melihat lebih dalam terdapat begitu banyak kesakitan didalam kedua netra safirnya.
"Apa ini? Kenapa rasanya hidupku seperti sebuah drama?" gumamnya.
"Apakah hidupku memang cuma sebuah permainan?!" ia menengadah seakan tengah mengeluh kepada langit.
"Niel" sebuah suara lembut menyapa indra pendengarannya. Daniel menoleh dan mendapati Jocellin yang berdiri di sebelahnya.
"Apa yang kau lakukan disini? Kau bisa kedinginan" Daniel merangkul bahu Jocellin.
Jocellin tersenyum kecil melihat bagaimana perhatian yang diberikan oleh Daniel kepada dirinya.
"Aku memakai jaket" Jocellin mengangkat bahunya acuh.
Daniel terkekeh dan kemudian mengacak puncak kepala Jocellin dengan lembut.
"Ada yang mengganggu pikiranmu" Jocellin menatap kosong kewajah Daniel.
Daniel menyeringit. "Aku semakin curiga jika dirimu bisa membaca pikiran" pemuda itu menatap menyelidik kepada gadis cantik di hadapannya.
Jocellin mengerjab dan kemudian tersenyum kecil. "I'm not" jawabnya sekenanya.
"Kau tiba-tiba mengurung diri semalaman dan kemudian kau melamun disini, seorang Daniel seavey jarang melamun" ucap Jocellin memaparkan analisanya.
Seketika senyum di wajah Daniel luntur. "Bagaimana perasaanmu di saat apa yang kau yakini benar ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya?" Daniel berbalik dan kembali bersandar pada pagar balkon.
"Mau cerita?" Jocellin menatap pemuda di sebelahnya. Menanti kata yang akan keluar dari bibir tipis Daniel.
Daniel menghela napas panjang dan kemudian mengalirlah cerita mengenai masa lalu dan pembicaraannya dengan Jonah semalam.
Sepanjang bercerita genggaman tangannya tidak pernah terlepas dari tangan mungil Jocellin. Rasanya ia sangat membutuhkan pegangan saat ini agar dirinya tidak terjatuh karena tiba-tiba saja rasa sakit kembali menyesakkan dadanya.
"Kenapa hidupku serumit ini? Aku hanya ingin kehidupan yang tenang bukannya kehidupan yang penuh dengan drama seperti ini" tutur Daniel menutup ceritanya dengan keluhan yang selalu menggelantunginya selama sembilan tahun ini.
Sebelah tangan Jocellin yang bebas mengusap bahu Daniel.
"Apa mau kukasih tahu sebuah rahasia?""Apa?" Daniel menaikkan sebelah alisnya.
"Tuhan tengah menyiapkan sebuah kado terindah untukmu" bisik Jocellin di telinga Daniel membuat pemuda itu terkekeh.
"Dari mana kau tahu hmm? Apa kau menjadi tangan kanan Tuhan sekarang?"
"Bunda selalu mengatakan kepadaku bahwa cobaan didalam hidup itu seperti sebuah ujian, semakin sulit ujian tersebut maka semakin indah hadiah yang akan kau terima. Dan hanya orang-orang terpilih yang akan mendapatkannya" tutur Letta.
Daniel tercenung mendengar penuturan dari gadis mungil dihadapannya.
Apakah mungkin ada hal yang seperti itu? Ingin rasanya ia percaya terhadap dongeng kekanakan tersebut, tetapi dia berusaha realistis. Mana mungkin seorang pendosa sepertinya bisa mendapatkan hadiah dari Tuhan?
Jocellin menangkup rahang Daniel. "Ssst,,, semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua, bahkan seorang pendosa sekalipun"
Daniel memejamkan matanya ketika merasakan kenyamanan melalui tangan mungil Jocellin.

KAMU SEDANG MEMBACA
why don't we? (COMPLETE)
FanfictionSiapa yang sangka kelima pemuda tampan yang selalu tampak bahagian dan sedikit konyol itu memiliki masalalu yang sangat berat. "Aku ingin melarikan diri dari dunia gelap yang seakan menjadi kutukan abadi bagi keluargaku"--Jonah " Aku ingin melarikan...