13. a moment

1.1K 115 3
                                    

Daniel mengetuk-ngetukkan jarinya dengan tidak sabar seraya menghela napas kasar sejak tadi, kedua mata birunya menatap jengah kearah sepasang manusia yang selalu menahan mereka untuk pulang.

"Berapa lama lagi kita harus berada di sini?" tanya nya dengan tidak sabar.

Semua pasang mata di meja itu seketika menatap kearahnya. "Kenapa kau terlihat tidak sabaran sekali Niel? Seperti bukan dirimu saja" tutur Corbyn yang diangguki oleh yang lainnya.

"Sudah tiga jam kita berada di sini! dan itu sangat membosankan kau tahu" balas Daniel dan kemudian menghembuskan napas panjang. Kenapa Corbyn dan Hanna melarang mereka pulang? Ada apa sebenarnya?

"Tapi kalau dipikir-pikir apa yang di ucapkan Daniel ada benarnya juga, kita sudah sangat lama di sini dan Jonah sendirian di rumah, apakah tidak apa-apa?" kini Jack yang angkat suara.

Corbyn tersenyum misterius. "Justru semakin lama semakin baik" ucap pemuda blonde tersebut.

Sementara itu Zach tampak mengaduk-aduk makanannya dengan tidak bersemangat, dia sedari tadi hanya diam enggan terlibat dengan pembicaraan sahabat-sahabatnya.

"Kenapa kau tampak murung Zach?" tanya Hanna yang pertama kali menyadari ada yang berbeda dari pemuda bermata teduh tersebut.

Hanna mengerutkan dahinya ketika tidak mendapatkan jawaban dari pemuda itu, bahkan tubuh pemuda itu tiba-tiba menegang.

"Zach, you okay?" tanya Jack, ia dan yang lainnya mulai khawatir sekarang, tidak biasanya Zach menjadi pendiam seperti ini.

"Zach? Zachary?!!" pekik Jack di telinga Zach, membuat pemuda itu terlonjak kaget.

"What?!" sahut Zach kesal.

"Kenapa kau diam saja sedari tadi? Apa ada yang sedang mengganggu pikiranmu?" tanya Jack dengan khawatir, ya, memang diantara mereka semua, Jack lah yang paling dekat dengan Zach, begitupun dengan Daniel, sehingga dia lah yang paling peka terhadap keduanya, mungkin karena faktor usia mereka yang tidak terlalu jauh dan dari segi sifat mereka yang beda tipis.

Zach menggeleng dan kembali mengaduk-aduk makanannya sembari bertopang dagu,
Jack dan Daniel saling pandang seolah sedang berkomunikasi melalui pikiran mereka.

Si bungsu di dalam grup ini ,memang selalu terlihat ceria dan penuh semangat, tetapi ketika ada masalah, dia akan lebih memilih menyimpan masalahnya seorang diri dari pada menceritakannya kepada yang lainnya.

"Cait!" seruan Hanna mengejutkan penghuni meja tersebut.

Seorang gadis yang baru saja keluar dari pintu dapur, segera mengedarkan pandangannya begitu mendengar namanya diserukan oleh seseorang.

Hanna melambaikan tangannya dengan semangat ketika melihat sahabatnya tersebut, gadis berambut pirang itu segera menghampiri meja yang diduduki oleh Hanna dan beberapa pemuda tersebut.

"Hai Han, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Caitlyn.

"Kami sedang makan" jawab Hanna sembari mengangkat piringnya yang sudah kosong. Caitlyn menganggukkan kepalanya.

"Oh, perkenalkan ini teman-temanku, ini Corbyn, Daniel, Jack dan Zach" para pemuda itu melambaikan tangannya, terkecuali Zach yang masih setia mengaduk-aduk makanannya.

Dia masih enggan terlibat dalam percakapan teman-temannya itu, moodnya sangat buruk sekarang, jadi dia tidak peduli siapapun teman Hanna yang berada di belakangnya itu.

"Auhh .. " Zach mengaduh ketika sikutan Jack mengenai rusuknya. "What?!" Jack hanya memberi kode dengan mengedikkan dagunya kebelakang, dengan malas Zach menoleh ke belakang dan ...

Deg ...!

Tubuh Zach tiba-tiba membeku, sama hal nya dengan Caitlyn yang juga terpaku di tempatnya.

"Guys! Guys! Are you okay?" suara cempreng Hanna, menghentikan keterbekuan kedua anak manusia tersebut.

"Yeah .. " jawab Caitlyn dengan ketus, sementara Zach hanya mendengus keras, mood nya kembali terjun bebas ketika melihat wajah gadis yang sudah berani menamparnya beberapa waktu yang lalu.

*****
Letta meletakkan dua buah cangkir teh ke atas meja dengan gugup ,karena sedari tadi pria yang menjadi tamu tersebut tidak berhenti menatapnya dengan tatapan menilai.

Apakah ada yang aneh dari penampilannya?

Oh atau kah wajahnya terlihat sangat kusut karena baru bangun tidur?

Tapi siapa orang ini sebenarnya?

Begitu banyak pertanyaan berputar di kepalanya, namun dia hanya dapat menundukkan kepalanya, tidak berani menatap pria tersebut.

Jonah mendengus dan menarik Letta untuk duduk di sebelahnya. "Berhenti menatapnya Paul" pinta Jonah yang seakan mengerti atas ketidak nyamanan Letta saat ini.

Pria bernama Paul itu, berkedip beberapa kali dan kemudian tergelak. "Apa aku menakutimu, nona manis?" Ia bertanya disela tawa.

"A-aku tidak ... aku" Letta gelagapan, dan akhirnya dia hanya dapat menggeleng kecil sebelum menunduk.

Ia akui kalau dirinya sedikit takut dengan pria di hadapannya ini. Bagaimana tidak, dengan tubuh yang besar dan berotot, rambut gondrong serta janggut yang menutupi dagunya, oh, dan jangan lupakan tatto yang menghiasi kedua lengan kekarnya, membuat pria itu terlihat sangat menyeramkan.

"Letta, ini Paul, manager kami, kau tidak perlu takut seperti itu" ucap Jonah, memperkenalkan siapa pria yang sedang duduk di hadapan mereka.

Pria bernama Paul itu mengulurkan tangannya sembari tersenyum lebar, "namaku Pau,l nona manis, tapi kau boleh memanggilku sayang atau babe" Paul mengerlingkan matanya, membuat Letta berkedip beberapa kali. Apalagi setelah itu Paul mencium punggung tangan Letta, membuat gadis itu semakin salah tingkah.

"Berhenti menggodanya Paul!" Jonah segera menarik tangan Letta dari genggaman Paul.

Paul berdecih, "aku tidak pernah tau kalau kau bisa menjadi sangat posesif" cibir Paul, tapi seulas senyum jahil menghiasi sudut bibirnya.

Jonah gelagapan mendengar perkataan Paul. "Aku bukannya posesif, hanya saja kau seharusnya malu dengan usiamu" bantah Jonah.

"Kenapa dengan usiaku? Aku baru 25 tahun dan ku tebak usianya mungkin 19 tahun?" Letta menganggukkan kepalanya. Paul menjentikkan jarinya. "Kami hanya berbeda 6 tahun, tidak terlalu jauh, sementara diluar sana banyak pasangan yang perbedaan usianya sampai 20 tahun" terang Paul panjang lebar.

"Jadi .. maukah kau menjadi pacarku Letta?" tembak Paul, membuat Letta maupun Jonah terperanjat kaget.

"Tidak bisa!!" bukan Letta, tetapi Jonah yang bersuara dengan lantang.

Letta menatap kaget ke arah Jonah, sementara Paul sudah menyeringai jahil karena berhasil mengerjai Jonah.
Bahkan orang dungu sekali pun bisa mengetahui, jika pemuda tampan itu sudah jatuh hati kepada gadis polos nan cantik tersebut.

"Jonah?" panggil Letta heran, setelah hening beberapa saat.

Jonah yang seakan baru menyadari perbuatannya menjadi semakin salah tingkah, bahkan kini semburat merah menghiasi kedua pipinya walaupun samar-samar.

Dia hanya spontan herteriak seperti tadi, ketika mendengar perkataan Paul, seakan-akan hatinya bergejolak dan memanas, membuat dia melakukan hal yang tidak diduga-duga, itu semua diluar kendali dirinya.

Jonah bangkit dari duduknya dan berlalu menuju kamarnya, meninggalkan kedua orang yang menatap punggungnya dengan pandangan yang berbeda, yang satu menatapnya tatapan heran dan penuh tanda tanya, sementara yang satunya lagi menyeringai puas.

Terdengar suara bantingan pintu dan disusul oleh tawa Paul yang menggelegar. Dia sangat puas sudah bisa menggoda si wajah datar itu.

"Selamat nona manis, sepertinya sebentar lagi kau akan mendapatkan seorang kekasih" Letta mengerutkan dahinya bingung mendengar perkataan Paul.

"Apa maksudmu?"

*****
Don't copy my story!!

~Weni

why don't we? (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang