Bagas berdiri di samping Bu Lestari saat mengecek lahan untuk pembangunan Apartment 88 di daerah Bintaro.
Walaupun Bu Lestari mengenakan helm proyek serta rompi proyek bagi Bagas Bu Lestari tampak menawan. Hatinya berdesir, dan tidak bisa melepaskan pandangannya dari Bu Lestari. Ketika Bu Lestari ada di sekitarnya Bagas sulit untuk berkonsentrasi pada sesuatu, padahal dia salah satu Pria yang memiliki tingkat konsentrasi tinggi dalam melakukan sesuatu.
Kini konsentrasi nya buyar ketika melihat Bu Lestari mengenakan kemeja putih tipis, serta celana kulit hitam yang membuat lekukan tubuh Bu Lestari begitu tampak. Bagas hanya bisa mengepalkan rahangnya melihat penampilan Bu Lestari yang tampak sangat menawan dan cantik.
"Pak Bagas?" Bagas tidak sadar kalau sedari tadi ia hanya menatap wajah Bu Lestari tanpa mendengar satupun kata yang keluar dari mulut Bu Lestari.
"Ya" Jawabnya Gugup.
"Pak Bagas sepertinya masih belum paham dengan permintaan saya tadi ya?" Bagas kebingungan permintaan apa yang Bu Lestari maksud. Karena hampir 5 menit penuh dia hanya memandang wajah Bu Lestari.
"Mmmm, maaf boleh diulangi sekali lagi Bu?"
"Saya ingin untuk kamar untuk Housekeeping kali ini ada dua kamar, untuk kamar mandi tiap penghuni hubungi lagi American Standard ya Pak, saya tidak mau yang lain, untuk CCTV kali ini ditambah di setiap sudut pintu kamar agar lebih aman, Pos Security ditambah menjadi dua Pos, sudah menangkap semua permintaan saya?" Bagas mengangguk paham dan telah mencatat seluruh perkataan Bu Lestari padanya di Galaxy Tablet miliknya.
Kini Bu Lestari berjalan menuju patokan tanah dimana Apartment 88 akan dibangun.
"Pak Bagas bisa discuss lagi sama Papi saya via vidcall, beliau yang megang rancangannya, saya yakin Pak Bagas cepat paham karena sudah bekerja lama sama saya," Bu Lestari menepuk pundak Bagas dan Bagas hanya bisa terpaku di tempat.
Bagas tersenyum kaku ke arah Bu Lestari karena sentuhan kecil tadi lalu Bu Lestari meninggalkan lokasi proyek dan Bagas dapat bernafas dengan lega. Bukan karena dia gugup tempat kerjanya di cek oleh sang pemilik, namun ia gugup karena tepukan tadi dan berhadapan dengan wajah cantik Bu Lestari. Dia juga gugup jika harus video call dengan Ayah Bu Lestari.
Bagas masuk ke dalam kontainer bekas yang saat ini dijadikan kantor sementara. Bagas membuka laptopnya dan membuka aplikasi skype lalu menekan nama Tuhendra Mahesa Notonegoro. Saat sudah tersambung tampak wajah rupawan yang sudah lanjut usia di layer laptopnya.
"Siang pak Hendra, saya ingin membicarakan mengenai rancangan Apartment 88," Pak Hendra adalah Ayah dari Bu Lestari yang saat ini tinggal di Belanda bersama dengan Istri mudanya.
"Ah, Nak Bagas Apa kabar? Nggak beda jauh kok Nak sama plan kemaren, nanti akan saya kirimkan via email saja ya, saya ada keperluan ke Den Haag siang ini, lagipula disini kan masih pagi sekali Nak Bagas, via email saja ya..."
"Tapi Bu Lestari minta saya untuk discuss langsung dengan bapak,"
"Sudahlah anak saya memang kaku orangnya, lha wong via email aja juga bakalan beres kalo di tangan Nak Bagas, saya percaya sepenuhnya sama Nak Bagas, tenang saja...." Setelah itu Pak Hendra melambaikan tangan dan mematikan koneksi Sykpe nya dengan Bagas.
Inilah perbedaan anak dan Ayah ini.
Bu Lestari tipe yang sangat kaku dan mengikuti setiap SOP yang ada sedangkan Ayahnya lebih santai dan lebih fleksibel. Jujur, kalau masalah pekerjaan Bagas lebih memilih Pak Hendra untuk diajak bekerjasama, karena Bu Lestari lebih rewel dan cerewet kalau masalah proyek dan kerjaan yang dia tangani.
Tetapi hal tersebut tak pernah membuat Bagas kesal, dia menikmatinya karena dia juga sedikit demi sedikit belajar dari Pak Hendra dan Bu Lestari.
Ketika Bagas akan keluar dari kantor sementaranya salah satu pegawainya menyebutkan bahwa ia kedatangan seorang tamu. Sangat jarang sekali seorang tamu yang ingin menemuinya langsung datang ke tempat proyek. Bagas menyuruh pegawainya untuk mempersilahkan tamu tersebut masuk.
Ketika tamu tersebut memasuki ruangan, pegawai Bagas keluar menutup pintu di belakangnya dan tampaklah sesosok wanita berambut Panjang, kulit kuning langsat, bermata bulat, dan berbibir tipis. Wajah tersebut sangat familier sekali bagi Bagas.
Senyum wanita itu juga sangat Bagas kenal. Bertahun-tahun ia memendam dendam pada wanita tersebut. Ia rela membuang segala impiannya karena wanita tersebut. Wanita yang tidak mau bertanggung jawab terhadap perbuatannya dan meninggalkan buah hati mereka di klinik begitu saja.
Zhea Salima, Ibu Diki sekaligus mantan pacar Bagas. Seluruh darah di tubuh Bagas serasa mendidih, ingin sekali ia memaki wanita itu dan berteriak ke arahnya. Tapi Bagas hanya sanggup berkata
"Darimana kamu tahu tempat ini?" Zhea hanya tersenyum lembut ke arah Bagas lalu duduk di salah satu kursi pegawai.
"Diki," Bagas terkejut. Darimana Zhea tahu Diki? Darimana Zhea bisa bertemu dengannya? Karena Bagas tidak akan membiarkan Zhea untuk bertemu dengan anaknya yang berharga.
"Aku selalu lacak dimana keadaan kamu Bagas, aku selalu rindu sosok kamu, dan aku rindu anak kita, can you forgive me? Lupain semua hal buruk yang sudah kita lalui dan membangun kembali keluarga yang utuh?" Zhea menggapai tangan Bagas namun Bagas menampiknya.
"Diki tidak punya Ibu , Diki hanya punya Ayah, jangan sembarangan masuk ke kehidupan kami Zhea, kami sudah tidak butuh dirimu, dan Diki tidak butuh Ibu,"
Bagas tidak menyukai keluarga Zhea yang selalu menyombongkan harta dan kekuasaan. Ayahnya adalah kepala Badan Intelejen Nasional. Sudah pasti selama ini Ayah Zhea lah yang melacak keberadaan Bagas namun tidak berbuat apapun di kala Bagas kesulitan, orang-orang muna ini hanya ingin menontonnya dalam keadaan sengsara dan kesulitan.
"Bagas, please...Diki seneng banget waktu lihat aku, Diki bahkan nangis Bagas, Diki nangis..."
"Kamu tahu apa tentang Diki? Kamu hanya ketemu sama Diki beberapa jam saja sudah menganggap diri kamu sebagai Ibunya, kemana perginya kamu selama 16 tahun? Dimana kamu Zhea ketika Diki merengek meminta ASI Ibunya? Kemana dirimu? Dimana kamu ketika Diki ingin dipeluk Ibunya saat mau tidur, perayaan hari ibu dan hari pertama dia menginjak di bangku sekolah, KEMANA PERGINYA KAMU?"
Bagas sudah tidak bisa menahan emosi.
Bagas sudah tidak bisa membendung amarah ini. Saat Bagas ingin membuka pintu Zhea sudah menempelkan bibirnya ke bibir Bagas lalu Bagas mendorong Zhea menjauh namun Zhea menarik lagi wajahnya dan kini Bagas membuat Zhea jatuh tersungkur dan Zhea menangis.
"I miss you Bagas I miss you..."
"I don't Zhea... tinggalkan saya sendiri, pergi jauh-jauh dari saya, saya tidak mau lihat wajah kamu lagi..."
"Bagas..." Bagas meninggalkan Zhea yang masih menangis di kantor sementaranya.
Hati Bagas untuk wanita itu telah tumpul, telah mati bersama kenangan mereka 16 tahun yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apartment 88 [END]
Random21+ Rank #1 on #kisahkehidupan 22 Agustus 2018 Rank #2 on #read 13 September 2018 Rank #1 on #read 18 September 2018 Rank #1 on #read 18 oktober 2018 Rank #1 on #read 25 oktober 2018 Rank #5 on #kisah 03 november 2018 Lestari Primastuti, seorang bus...