Saat Pak Bagas mengambil katalog IKEA dan menunjukkan kepada Lestari beberapa gambar lemari dan kerangka tempat tidur, Lestari tidak fokus dengan perkataan Pak Bagas.
Pikirannya melayang ke pertemuan tidak terduganya dengan Darto.
Darto masih tetap sama seperti apa yang diingat oleh Lestari.
Bermata coklat tua setua kayu hutan, mata teduh, alis sempurna yang sangat cocok dengan garis matanya, hidung tegas yang pernah menempel di kulit Lestari berpuluh tahun yang lalu, garis wajah rupawan yang pernah membuat hati Lestari berdebar tak karuan dan melupakan apa perkataan orang mengenai sifat negative Darto, perbedaannya wajah Darto kini telah termakan usia hingga menampakkan sedikit kerut di wajahnya dan rambut putih tumbuh di samping rambutnya namun Darto masih setampan yang Lestari ingat.
"Jadi, kita lebih baik pilih yang model Tyssedal atau Trysil Bu?" Lamunan Lestari dibuyarkan oleh Pak Bagas yang menunjuk ke salah satu gambar di katalog.
"Yang sesuai dengan budget kita saja Pak,"
"Oh, kalau begitu Trysil ya Bu, kayaknya lebih cocok, atau disamakan saja dengan Apartment 88 yang di BSD?" Sebetulnya saat ini Lestari tidak dapat berpikir dengan jernih. Kata-kata Darto terngiang di benaknya.
"Magda kangen sama kamu Lesie,""Lesie, boleh minta kontak kamu? Kita harus ketemu kapan-kapan,"
Kata-kata itu terngiang terus di benaknya, mendengar kenyataan bahwa Darto bahagia bersama Magdalena hingga mereka maish bersama hingga sekarang. Lestari tidak sadar bahwa sedari tadi Pak Bagas memandanginya dengan jarak yang sangat dekat.
"Kayaknya Ibu lagi melayang ke suatu tempat," Lestari berdeham lalu mengambil katalog dari tangan Pak Bagas.
"Selain lemari kita butuh kerangka tempat tidur kan ya Pak?" Lestari berusaha sebisa mungkin tidak terdengar ingin menangis dan bergetar.
Dengan cepat Lestari mempercepat langkahnya menuju diplay tempat tidur dan pura-pura tertarik dengan nama barang, ukuran barang, dan harga yang tergantung di setiap barang di IKEA.
"Seperti yang di BSD kan kita pakai yang model Malm Pak, kita pakai ini saja lagi," Lestari tahu suaranya bergetar dan menahan tangisnya untuk tidak jatuh di pelupuk matanya. Lestari takkan menangis di hadapan orang lain apalagi karyawannya.
"Malm, lebih mudah untuk dirangkai dan pas sekali untuk budget kita Pak," Lestari sebisa mungkin mengoceh hal yang tidak jelas agar dia melupakan apa yang barusan ia hadapi.
"Jadi, dengan begitu Pak Sidi dan anak buah nya lebih mudah untuk meletakkan dan merangkai lalu semuanya beres bukan begitu Pak Bagas?" Lestari seperti tidak bisa mneghentikan ocehannya untuk mengalihkan rasa sedihnya.
"Jadi, kita bisa pesan ini saja lagi tanpa harus mencari-cari yang lain, kalau kita mencari-cari yang lain nanti pasti kehabisan waktu, terbuang percuma, padahal masih banyak yang harus kita kerjakan agar timeline kerja kita berjalan dengan lancar sehingga kita bisa menyelesaikan tepat waktu, karena Pak Bagas sendiri tahu saya benci sekali menunda pekerjaan, saya orangnya disiplin, tidak suka sama hal yang lelet, molor atau ngaret, dengan begitu seluruh bisnis saya akan lancar tidak terhalang masalah, lebih sukses lebih mandiri lebih inde—"
Lestari terkejut Pak Bagas merengkuh Lestari dan saat ini wajah Lestari terbenam di dada Pak Bagas. Aroma Pak Bagas menyeruak ke indera penciuman Lestari dan harumnya sangat natural dari tubuh Pak Bagas bukan aroma parfum atau cologne murah, aromanya sungguh menenangkan.
"Jangan ditahan Bu, nangis aja..." Lestari tidak menyangka bahwa Pak Bagas sedari tadi menyadari dirinya menahan tangis. Lestari menggeleng lalu mendorong Pak Bagas dengan pelan.
"Anda lancang," Wajah Pak Bagas pucat seperti sesuatu yang berat telah menimpanya.
Sebetulnya Lestari tidak mau berkata seperti itu pada Pak Bagas hanya saja, dia merasa kecil dan tidak nyaman dikasihani seperti itu.
"Maaf saya cuman—" Lestari mengangkat tangan kanannya untuk menghentikan Pak Bagas berbicara.
"Saya baik-baik saja, saya wanita dewasa, saya bisa mengurusi masalah saya sendiri," Tidak, Lestari berbohong.
Lestari sama sekali tidak bisa mengatasi hatinya yang bersedih setelah melihat Darto, sebetulnya pelukan tiba-tiba yang diberikan Pak Bagas membuat ia ketakutan karena ia sudah lama tidak merasakan kehangatan dari seorang pria.
Apalagi aroma Pak Bagas kini menempel di ingatan Lestari seperti sebuah lem pekat dan lekat yang akan sangat sulit untuk di hilangkan dari dirinya. Lestari kira Pak Bagas akan berhenti mengganggunya namun Pak Bagas berhenti di depannya dan menatapnya dengan tatapan aneh.
"Maka menangislah Bu, kalau Ibu bisa mengatasi segala masalah Ibu, menangis bukan berarti Ibu tidak dewasa lagi, tetapi menangis melepaskan semua beban yang Ibu rasakan selama bertahun-tahun, "
"Bapak tidak ta—"
"Saya tahu saya lancang ikut campur masalah Ibu, saya tahu apa perasaan Ibu sekarang karena saya mengalaminya hanya berbeda faktor dengan Ibu, tidak ada salahnya sesekali kita melepaskan emosi kita dibandingkan menahannya Bu, di hari saya kehilangan wanita yang paling saya cintai dan menghadapi kenyataan bahwa saya akan membesarkan Diki seorang diri, saya menangis Bu, saya menangis dan menangis hingga semuanya buram dan mati rasa, namun saya bangkit lagi karena seluruh kesedihan saya hilang seketika, karena beban saya hilang bersama air mata,"
Kini Lestari menekan bibirnya kuat dengan giginya, ia merasakan setitik rasa darah mengecap di lidahnya yang keungkinan keluar dari bibirnya karena terlalu lama ia gigit.
Lestari memang menahan kesediha selama bertahun-tahun hingga ia lupa apa rasanya menangis.
Air mata asing baginya selama puluhan tahun ini. Emosi juga asing baginya karena ia menekan emosinya kuat-kuat ketika Darto memutuskan membatalkan pernikahannya karena ia jatuh cinta dengan Magdalena, sepupunya.
Mata Lestari sudah memanas menahan tangis dan kini Pak Bagas menarik tangannya dengan lembut dan menuntunnya ke sudut ruangan di IKEA lalu menekan kepalanya dengan lembut ke dada Pak Bagas, Pak Bagas melakukan gestur lembut di belakang kepalanya dan mengelusnya dengan pelan.
"Let that out Bu, don't hold it anymore," Dengan mudahnya kata-kata Pak Bagas membuat air mata Lestari pecah hingga kemeja Pak Bagas basah dibasahi oleh air mata Lestari.
Sudah lama rasanya air matanya tidak berporduksi bersama dengan emosinya yang seperti ini. Lestari menarik Pak Bagas lebih dekat dengan menarik kemeja Pak Bagas, dan Lestari merasakan lengan Pak Bagas melingkari tubuh Lestari.
Kehangatan ia rasakan mengalir di tubuhnya serta air mata tidak bisa berhenti keluar dari kedua matanya.
"Ma-maaf kalau... air mata...saya...bo-bocor," Kata Lestari sesenggukan dan Lestari mendengar Pak Bagas terkekeh karena merasakan dada Pak Bagas naik turun serta suara tawanya terdengar sangat dekat di telinga Lestari.
"Keluarkan aja Bu, kita akan memikirkan sama-sama bagaimana caranya air mata Ibu tidak bocor lagi setelahnya," Pak Bagas menepuk-nepuk kepalanya lalu Lestari merasa aman dan nyaman berada di pelukan Pak Bagas dan masih tidak bisa berhenti mengeluarkan rasa sedihnya bersama tangisan yang sudah ia tahan selama berpuluh tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apartment 88 [END]
Random21+ Rank #1 on #kisahkehidupan 22 Agustus 2018 Rank #2 on #read 13 September 2018 Rank #1 on #read 18 September 2018 Rank #1 on #read 18 oktober 2018 Rank #1 on #read 25 oktober 2018 Rank #5 on #kisah 03 november 2018 Lestari Primastuti, seorang bus...