Help Him Out to Escape The Problem (Sang Pemilik) 03

4.1K 231 6
                                    

Lestari mendengar kabar mengenai apa yang terjadi kepada keponakanannya Diah Pamungkas saat menghadiri acara keraton sabtu kemarin.

Lestari memang tidak pernah menyukai sepupunya itu, Hariyono. Tabiatnya buruk dan terlalu tinggi hati.

Lestari ingat, dia pernah dipermalukan diseluruh keluarga Notonegoro oleh Hariyono, mengenai pernikahannya yang batal waktu itu. Hariyono tertawa terbahak-bahak ketika pernikahannya gagal, dan menyalahkan dirinya. 

Hariyono mengatakan bahwa Lestari tidak patut diperjuangkan, dia mengatakan kalau lelaki tidak akan tertarik pada wanita yang cerdas, mandiri dan independen seperti dirinya, dia mengatakan bahwa wajar saja Darto lebih memilih Magdalena yang lemah lembut dan tidak banyak protes, lebih cocok menjadi ibu rumah tangga dibandingkan dirinya.

"What a prick," Kata Lestari mengingat kejadian itu.

Hariyono salah satu contoh pria Indonesia yang suka menganggap wanita sebagai objek pemuas nafsu, pembantu dan pesuruh. Padahal seharusnya iparnya Kenanga tidak pantas diperlakukan seperti itu.

Lestari ingat pertama kali bertemu dengan Kenanga, betapa cerdasnya wanita itu, sayang sekali jika dia harus menerima lamaran dari Hariyono. Kenanga harus merelakan gelar kedokterannya dan menikahi lelaki seperti Hariyono. Walaupun Lestari juga bersyukur Kenanga mendidik Diah begitu hebatnya, Diah tumbuh menjadi wanita kuat dan tegar. 

Lestari juga menyukai kenyataan bahwa Diah memilih sendiri calon suaminya, tidak seperti kakak-kakaknya, dimana Istri-istri mereka dipilih oleh Hariyono dan diperlakukan seperti karyawan yang ingin melamar pekerjaan.

Setiap calon istri anak-anak Hariyono, kesuburannya di cek, kesehatan mereka juga di cek, latar belakang keluarga di cek untuk mengetahui apakah keluarga mereka akan menguntungkan bagi keluarga Notonegoro atau tidak. Bahkan calon istri mereka di wawancara satu persatu oleh Hariyono. Jaman apa coba sekarang, lagian keraton bukan lagi kekuasaan segalanya di Indonesia, pemikirannya sangat kuno sekali pikirnya dalam hati.

Hari minggu bagi Lestari bukanlah hari libur. Bisa dibilang Lestari itu bekerja hampir setiap hari. Ada saja yang dia kerjakan setiap harinya, entah bertemu Pak Bagas untuk membahas pembangunan, entah bertemu notaris untuk mengurusi masalah akta tanah, atau bertemu dengan pengacara untuk mengurusi masalah surat-surat yang menyangkut kelegalan, dan lain sebagainya.

Hari ini Lestari bersama Pak Bagas menemui pihak American Standard untuk membahas pemasangan kloset, wastafel dan shower. Lestari memang hanya mau memakai merk ini karena terbukti awet dan bagus. Walaupun harga sewa di apartemennya terhitung sangat murah, Lestari tidak ingin membuat kualitas apartemen miliknya rendah.

Pak Bagas bisa dibilang mandor sekaligus sekretaris Lestari, karena hampir segala sesuatu yang menyangkut Apartment 88 Pak Bagas yang ikut andil dan mengurusi segalanya. Lestari suka dengan kinerjanya yang rapi, disiplin, jujur dan tepat waktu. Lestari ingat sebelum Pak Bagas bekerja untuknya dia salah satu tukang yang ikut dengan mandornya dulu Pak Lukito.

Lestari bisa melihat potensi seseorang dari caranya bekerja. Bagaimana Pak Bagas mengurusi anak sambil bekerja dan mengambil Paket C, lalu diangkat Pak Lukito menjadi asisten mandor, mengambil kuliah di Universitas Terbuka di jurusan Teknik Sipil dan sekarang menjadi mandor sekaligus orang kepercayaan Lestari.

Lestari memang tidak pernah salah memilih Pak Bagas menjadi tangan kanannya. Namun, satu hal yang membuat Lestari terkadang terganggu dengan sikap Pak Bagas, dia selalu grogi di hadapan Lestari.

Padahal Lestari termasuk atasan yang sangat baik dan tidak pernah galak, memang dia sangat tegas, tetapi untuk apa Pak Bagas grogi dan takut memandang wajahnya ketika dia hanya memberikan instruksi?

"Sehabis ini Ibu ada perlu kemana lagi?" Tanya Pak Bagas ketika mereka keluar dari kantor American Standard.

"Sudah, saya tidak ada perlu selain kesini Pak, silahkan Pak Bagas kalau mau menghabiskan waktu dengan Diki, monggo lanjut saja..." Kata Lestari seraya membuka kunci mobilnya.

"Ah, tidak apa-apa Bu, kalau Ibu perlu saya dampingi, saya siap mendampingi untuk urusan Apartment 88,"

"Pak Bagas, ini weekend, seharusnya bapak menghabiskan waktu dengan Diki, sudah silahkan lanjut saja, sudah tidak ada urusan yang penting lagi kok setelah ini,"

"Bukannya Ibu kemarin mau ngecek furniture di IKEA? Untuk mengisi kamar tidur dan sofa di ruang tamu Apartment 88 yang di Bintaro?"

"Itu bisa kapan-kapan Pak, lagipula pembangunanya saja belum selesai,"

"Oh, baiklah kalau begitu saya pamit pulang duluan," Lestari sekelibat seperti melihat raut kekecewaan di wajah Pak Bagas. Kenapa dia begitu kecewa ketika Lestari memintanya untuk menghabiskan waktu bersama anak semata wayangnya. Apakah karena masalah Bu Zhea yang kemarin datang tiba-tiba mengacaukan pikirannya?

Lestari yakin dia juga sehabis bertengkar dengan anak laki-laki semata wayangnya, karena saat itu Lestari melihat Diki bertemu diam-diam dengan pacarnya di halaman belakang apartemen ketika Lestari sedang mengecek taman dan saluran air di malam itu.

Mungkin Pak Bagas butuh sedikit bersenang-senang lepas dari semua hal yang ia hadapi saat ini.

Lestari memutuskan keluar dari mobilnya lalu mengetuk kaca mobil Pak Bagas.

"Pak Bagas belum makan siang kan? Sekalian kita jalan ke arah Alam Sutera, kita makan disana," Tampak wajah Pak Bagas yang tersenyum bahagia. Hal tersebut membuat Lestari tertawa kecil di dalam hati, karena sesuai dugannya Pak Bagas butuh keluar sementara dari hal-hal kecil yang mengganggunya.

"Siap Bu, kita mau makan dimana?"

"Flavor Bliss ya Pak,"

"Kalau begitu biar saya yang bawa mobil Ibu, nanti saya telepon Pak Sidi buat ambil mobil saya disini,"

"Okay," Lestari menyerahkan kunci mobilnya pada Pak Bagas lalu mengikuti Pak Bagas yang berjalan menuju mobil miliknya. 

Apartment 88 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang