Tamara seperti bermimpi memeluk mahasiswanya itu.
Tidak mungkin kan, Tamara benar-benar melakukan hal itu? Jika hal itu benar-benar terjadi pikirannya berarti sudah tidak waras lagi.
Apa yang akan dikatakan, Ayah, Andrew, Bitha dan pihak kampusnya, jika dia melakukan hal seperti itu. Tamara menggeleng-geleng di dalam tidurnya dan mendapati suara desahan pelan di telinganya.
Tunggu dulu, kenapa ia juga merasakan sesuatu yang hangat seperti hembusan nafas di kepalanya? Kenapa gulingnya juga seperti benda hidup, karena jelas-jelas Tamara dapat merasakan gerakan gulingnya seperti orang yang sedang mengambil nafas.
Bibirnya juga seperti menyentuh sesautu yang lembut, dia juga tidak tahu apa itu. Kenapa matanya juga berat sekali untuk terbuka?
Oh, astaga Tamara baru menyadari kalau dia sudah tidak tidur selama berhari-hari karena menemani Ayahnya yang stroke di rumah sakit, jelas-jelas dia sedang tidak tidur di kamar apartemennya.
Perlahan-lahan ia mencoba membuka matanya yang terasa berat untuk terbuka lalu cahaya dari kamar rumah sakit masuk menusuk matanya hingga Tamar harus menyipitkan matanya.
Namun, pemandangan pertama kali yang ia lihat bukanlah kamar rumah sakit Ayahnya, melainkan leher seseorang.
Leher? Kenapa leher? Leher siapa yang Tamara tiduri? Perlahan-lahan Tamara mencoba mendongak dan didapati wajah memerah seseorang yang sudah memenuhi mimpinya di setiap malam, Sandy Almanar.
Tamara mendorongnya menjauh lalu merapikan rambutnya serta pakaiannya dan tidak berani menatapnya.
Tamara rasa wajahnya saat ini juga sama merahnya dengan mahasiswanya itu. Sandy berdiri lalu meregangkan tubuhnya dan berdeham.
"Enak Bu boboknya?" Tanya Sandy dengan suara serak yang membuat sekujur tubuh Tamara merinding. Efek apakah ini? Hingga suara Sandy saja membuatnya merinding.
"Hem," Tamara hanya sanggup menjawab seperti itu, jika dia menjawab kata-kata yang lain Tamara rasa dia takkan sanggup menutup kegelisahan dan rasa malu yang menggerogotinya saat ini.
"Good... good...Om Eddie lagi di ruang terapi Bu,"
"Oh... oke..." Tamara berdiri dan ingin menuju kamar mandi namun Sandy menahan pundaknya dan lagi-lagi Tamara merasakan seperti sebuah serangan listrik di sekujur tubuhnya.
"Bu, nengok sini dong," Astaga, kenapa mahasiswanya itu harus menggunakan nada manja padanya? Apakah mahasiswanya ini sudah kelewat nyaman bersama dengannya, hingga lupa akan sopan dan santun?
Namun, Tamara tetap mengikuti permintaan Sandy dan menoleh ke arah Mahasiswanya tersebut. Sandy menunjuk ke arah pakaiannya yang basah namun hanya di sekitar dadanya saja, area basah itu pun tidak lebar, hanya seperti sebuah pulau kecil yang menggenang diatas pakaiannya.
"Ini tanda manis dari Bu Tam," Tamara memandang Sandy dengan wajah mengerenyit, karena tidak mengerti maksud perkataan mahasiswanya tersebut.
"Saya jadi ragu mau ganti baju atau nggak, ini baju mau dicuci atau nggak, karena Ibu ninggalin tanda manis ini di baju saya,"
"Maksud kamu?" Sandy mendekat ke arahnya lalu terkekeh.
"Ibu, tidur nyenyak di dada saya dan ngiler, sungguh suatu anugerah bisa liat Ibu Tamara ngiler di dada saya," Mata Tamara melebar dan mulutnya terbuka.
Tamara tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Selain dia tidur sambil memeluk mahasiswanya dengan pose yang sangat intim sekali dia juga mempermalukan dirinya sendiri dengan ngiler di pakaian mahasiswanya terlebih itu di bagian dada bidang mahasiswanya tersebut.
Sepertinya Sandy menyadari ekspresi Tamara saat ini setelah mendengar apa yang barusan Sandy katakan, Sandy makin mendekat lalu menghapus sesuatu di dekat bibir Tamara. Gerakan tersebut membuat Tamara berjengit.
"Masih nyisa, gemes amat sih Bu," Oh, bisakah mahasiswanya ini tidak menggoda dirinya seperti itu?
Hati Tamara tidak bisa dilakukan seperti ini. Walaupun tampaknya angkuh dan tangguh di depan, Tamara paling cepat luluh dengan perlakuan seperti ini dari laki-laki.
Tamara harus berpikir jernih, dia tidak bisa luluh dengan mahasiswanya itu dan tidak boleh hilang kendali lagi seperti kejadian di mobil mini cooper milik mahasiswanya itu!
"Kamu... kamu melakukan hal itu lagi," Katanya pelan.
"Apa Bu?"
"Flirting nggak jelas sama dosen kamu," Bukannya Sandy merasa takut dengan nada dingin yang dilontarkan Tamara namun Sandy mendekatkan diri lagi ke arah Tamara.
"Udah saya bilang kan sebelumnya Bu? Saya nggak peduli," Bukannya Tamara mundur namun dia rela menerima bibir Sandy yang mendarat di bibirnya.
Tamara menikmatinya. Tamara tahu harus menghentikan hal ini, namun tubuhnya berkata lain, ia ingin menikmati momen ini detik ini juga dan menit ini juga.
Sebetulnya Tamara panik, bagaimana jika Ayahnya sudah kembali dari terapi dan mendapatinya bercumbu dengan salah satu mahasiswanya? Apalagi Ayahnya tidak menyukai lelaki yang etnisnya tidak sama dengan dirinya.
Tunggu dulu, kenapa dia memikirkan Sandy sebagai laki-laki yang akan dikenalkan Ayahnya sebagai status yang berbeda selain mahasiswa?
Tidak, tidak boleh seperti itu, Tamara harus menghentikan hal ini, dia harus mendorong Sandy menjauh, bukannya melingkarkan lengannya di leher Sandy dan mencium bibir mahasiswanya itu lebih dalam.
"Saya... baru...bangun...tidur...I...Have...a...morning...breath..." Kata Tamara, nafasnya terengah-engah diantara bibir mereka yang masih bertaut.
"I...don't...care...Bu..." Sandy merekatkan lengannya di pinggang Tamara, hingga dada mereka saling bertemu. Tamara mengacak-acak rambut Sandy hingga Sandy mengerang di mulutnya.
Mereka bertukar nafas, bertemu lidah dan menggesekkan gigi mereka, mendesah dan mengerang seperti itu seterusnya. Tamara sudah lama tidak merasakan ciuman yang seperti ini, liar, intens dan seksi.
Astaga, dia juga merindukan ciuman yang dia dan Sandy lakukan di mobil mini cooper miliknya.
"Kita harus berhenti," Kata Tamara lebih meyakinkan dirinya sendiri. Sandy melepas bibir mereka lalu menggigit bibir bawah Tamara hingga Tamara menahan untuk tidak mendesah lebih kencang.
"Ibu yakin?" Sialan, mahasiswanya ini sangat suka menggodanya.
"Yeah," Walaupun Tamara berkata seperti itu, Tamara tidak melepas tangannya dari mengusap-usap wajah Sandy, dan hal tersebut membuat Sandy terkekeh dan mencium sekilas bibir Tamara.
"Okay, I'll save it for later ya Bu," Sandy melepaskan Tamara lalu berjalan menuju jaket hitam miliknya dan mengedipkan sebelah matanya pada Tamara.
"Salam buat Om Eddie, Andrew sama Bitha... saya tunggu Ibu di Apartemen, dan jangan lupa istirahat dan makan ya Bu," Tamara hanya bisa berdiri terpaku menatap mahasiswanya yang siap meninggalkan kamar rumah sakit tersebut.
Lalu, Sandy mendekatinya lagi lalu mencium lehernya, menjilatinya dan seperti meyedotnya.
Tamara melebarkan matanya dan tahu apa yang sedang di lakukan mahasiswnya itu.
Sandy terkekeh lalu mengedipkan lagi sebelah matanya dan berjalan menuju pintu kamar rumah sakit lalu menutup pintu dibelakangnya
"Dadah Bu Tamara, see you later Bu," Ketika Sandy sudah pergi dari kamar rumah sakit Tamara jalan tergesa-gesa menuju kamar mandi untuk berkaca, dan benar di dapatinya bekas merah di lehernya, atau kebanyakan orang menyebutnya cupang.
"WTF! Sandy! You left me a hickey!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Apartment 88 [END]
De Todo21+ Rank #1 on #kisahkehidupan 22 Agustus 2018 Rank #2 on #read 13 September 2018 Rank #1 on #read 18 September 2018 Rank #1 on #read 18 oktober 2018 Rank #1 on #read 25 oktober 2018 Rank #5 on #kisah 03 november 2018 Lestari Primastuti, seorang bus...