Diah masuk ke dalam mobil Toyota Avanza milik suaminya. Mood Diah saat ini sedang jelek. Marven sepertinya menyadari mood istrinya yang sedang buruk itu. Marven mengusap pipi istrinya dan menarik dengan lembut dagu istrinya agar bertatap mata dengannya.
"Kenapa hon?" Diah melipat kedua tangannya di dada, dan tidak menatap mata Marven. Diah seperti ingin menangis.
"Nothing," Jawab Diah dengan singkat.
Marven hanya terdiam dan mengenderai mobilnya, karena dia tahu istrinya akan menceritakan hal ini padanya ketika istrinya siap untuk bercerita padanya.
Sesampainya di apartemen, Diah melesat cepat menuju kamar tidur mereka. Marven tahu ada sesuatu yang terjadi tadi di kantornya. Entah masalah pemotretan atau masalah Diah dengan atasannya. Marven menyalakan televisi dan mulai menonton acara olahraga favoritnya. Tak berselang lama Diah duduk di samping Marven lalu memeluk lengannya dan meringkuk di sampingnya, lalu mengecup leher suaminya.
"Bapak nelpon di tengah pemotretan," Marven mengangguk, seperti dugaannya ada sesuatu yang membuat mood istrinya buruk sepanjang hari.
Ternyata Ayah mertua Marven yang menelpon. Setiap Ayah mertuanya menelpon istrinya, selalu terjadi pertengkaran dan membuat mood istrinya naik turun seperti ini. Hubungan Ayah dan anak ini selalu tak pernah akur. Apalagi setelah mereka memutuskan menikah. Ayah mertuanya tidak pernah menerima Marven secara terbuka, bahkan pada saat pesta pernikahan mereka berdua Ayah mertuanya hanya hadir sekedar memberi sambutan lalu pergi dari gedung pernikahan.
"Trus?" Tanya Marven sambil mengelus kepala istrinya dan mengecup ujung kepalanya.
"Bapak pengen aku hadir di acara keraton," Keluarga besar Diah memang masih menjadi bagian dari keluarga Keraton Jogja. Ayahnya juga memegang andil penting di dalam penataan kota Jogjakarta.
"Kamu nggak dateng?" Diah menggeleng lemah.
"Aku capek kalau harus tersenyum di depan banyak orang dan berpura-pura bahwa keluargaku baik-baik saja hon..."
"Mmm.." Marven sangat paham keluarga Diah.
Keluarga Diah memang tampak baik-baik saja dari luar. Ayahnya yang dianggap sebagian besar masyarakat Jogja hebat itu tidaklah sama seperti yang terlihat. Ayahnya mempunyai dua Istri siri yang dinikahinya saat Diah masih berumur 7 tahun.
Ayahnya jika mengamuk pasti akan memukul anaknya satu persatu menggunakan tongkat kayu yang selalu dia bawa kemanapun dia pergi. Diah mempunyai saudara tiri yang dia sendiri lupa nama serta wajahnya. Istri siri Ayahnya yang pertama adalah guru sempoa Diah yang setiap minggu datang ke rumahnya. Sedangkan Istri siri kedua Ayahnya adalah pengasuhnya sendiri sejak kecil.
Ayahnya seakan-akan mengambil satu persatu orang yang berarti bagi Diah.
Ibunya selalu diperlakukan seperti seorang pembantu dan asisten pribadi Ayahnya. Apapun yang dilakukan oleh Ibu Diah tidak pernah berarti dimata Ayahnya. Begitu pula dengan anak-anaknya. Diah adalah anak bungsu dari Istri pertama Ayahnya. Namun, hanya Diah yang berani melawan ambisi Ayahnya.
Diah satu-satunya yang tidak berkuliah di luar negri, tidak lagi tinggal di rumah pendopo yang letaknya tidak jauh dari keraton Jogja, biaya hidupnya tidak lagi ditanggung Ayahnya, dan menikah dengan orang yang bukan pilihan Ayahnya.
"You should come hon..." Kata Marven dengan suara lembutnya.
Mata Diah dan Marven bertemu namun ada kekecewaan di mata Diah. Diah tidak menduga kalau suaminya akan memintanya datang ke acara penuh kepura-puraan tersebut. Diah kira Marven akan berada disisinya dan membelanya atau menahannya untuk tidak datang menemui Ayahnya.
"They are your family after all, even they're fucking messed up..." Diah tidak mau memandang suaminya lagi dan berdiri dari samping suaminya lalu berjalan menuju kamar.
"Honey..." Marven menyusul istrinya ke dalam kamar dan berdiri di samping tempat tidur.
"Aku benci berdiri disana,tersenyum ke semua orang seperti sebuah mesin," Air mata Diah sudah hampir terjatuh di pelupuk matanya
," Aku benci melihat kami bersandiwara layaknya keluarga cemara di hadapan orang-orang yang melihat Ayahku sebagai pahlawan kota, aku benci menjadi alat pencapaian ambisi Bapakku honey... Aku benci... Aku benci... Banyak hal yang kubenci kalau aku kembali ke Jogja..." Marven memeluk istrinya dan merasakan air mata Istrinya membasahi kemejanya.
"Aku benci bersikap baik-baik saja ketika melihat badan Ibu memar-memar hon, aku benci tidak bisa berbuat apa-apa ketika aku mengetahui hal itu semua, dan aku benci melihat Mas-mas ku diam saja melihat itu semua terjadi, dan aku benci seluruh kota Jogja mendukungnya penuh dalam pemilihan Walikota kali ini, ingin sekali ku teriakkan lantang ke seluruh Kota Jogja bahwa pria yang mereka pilih adalah monster penghancur kehidupan yang berambisi tinggi!" Marven tidak bisa berkata apa-apa.
Hatinya perih ketika Istrinya berada di titik terlemah seperti ini. Marven mengangkat wajah Diah lalu mencium bibirnya dengan lembut dan dalam.
"I'll come with you hon..." Mata Diah melebar lalu Diah menggeleng.
"No, jangan... kamu tahu apa yang bakalan dilakuin sama Bapak kalo kamu ikut,"
"I don't care... paling aku dipukul lagi pakai tongkat Daddy kamu..."
"Honey aku nggak mau---" Marven mencium bibir Istrinya dan memotong perkataan Istrinya tersebut.
"Biarkan aku ada disamping kamu seharian, I don't care if your Dad will smack my butt or tummy... I don't give a shit anymore, Let me come with you and ease your pain Hon..." Diah mengangguk dan mencium leher suaminya.
"Thank you..." Mereka berciuman lama sekali seperti mereka membutuhkan bibir satu sama lain untuk menguatkan diri mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apartment 88 [END]
Random21+ Rank #1 on #kisahkehidupan 22 Agustus 2018 Rank #2 on #read 13 September 2018 Rank #1 on #read 18 September 2018 Rank #1 on #read 18 oktober 2018 Rank #1 on #read 25 oktober 2018 Rank #5 on #kisah 03 november 2018 Lestari Primastuti, seorang bus...