Sudah hampir satu minggu Cinta tidak pulang ke apartemen. Gita mulai panik dan khawatir. Cinta hanya mengabari Gita bahwa ia sedang pulang ke rumah orang tuanya yang berada di Bandung. Tetapi tanpa kehadiran Cinta di apartemennya ini terasa sangat hampa dan kosong.
Hal yang membuat Gita panik juga karena Cinta tidak mengabarinya sama sekali selama seminggu, Gita berkali-kali mencoba menelepon namun tidak diangkat. Tidak seperti biasanya, biasanya jika Cinta pulang ke rumah orang tuanya dia akan sempat mengangkat telepon dari Gita atau sekedar membalas pesan.
Tidak, Cinta sama sekali tidak melakukan hal itu, karena itu rasa panik menggerogotinya.
Apakah ada masalah dengan kesehatan Ayah Cinta? Setahu Gita Ayahnya mempunyai penyakit jantung dan beberapa penyakit lainnya. Gita juga tahu Cinta tidak begitu menyukai Ibu tirinya.
Gita bingung harus menanyakan kepada siapa mengenai kabar Cinta, karena yang ia kenal dari kehidupan Cinta sebelum bertemu dengannya hanyalah adiknya Stevian.
Tiba-tiba sebuah kenyataan pahit mendatangi dirinya, Gita tidak tahu apa-apa mengenai Cinta walaupun mereka telah bersama selama kurang lebih dua tahun. Gita, tidak tahu apakah Cinta mempunyai keluarga di Jakarta, Gita juga tidak tahu nomor telepon rumah Cinta yang ada di Bandung, Gita juga tidak tahu apakah Cinta mempunyai saudara kandung atau tidak.
Selama mereka bersama Gita cukup nyaman hanya dengan kehadiran Cinta saja. Selama ini hanya Gita yang bercerita panjang lebar mengenai keluarganya.
Bagaimana Ibunya menerima orientasi seksualnya dengan tangan terbuka dan berharap yang terbaik untuknya, bagaimana adiknya Stevian tidak malu mempunyai kakak yang mempunyai orientasi seksual berbeda dari orang kebanyakan, bagaimana dulu keluarganya sangatlah bahagia dan lain sebagainya.
Gita baru menyadari Cinta jarang sekali membicarakan tentang dirinya pada Gita. Cinta seorang pendengar yang baik dan tidak banyak bicara. Cinta selalu menyampaikan berbagai pertanyaan kepada Gita lalu mendengarkan penjelasan Gita lalu mereka akan tertawa bersama atau menangis bersama.
Gita harus akui mulutnya sulit untuk diam, karena dia memang hobi berbicara dan hobi ngoceh istilahnya. Itulah sebabnya dia menjadi manajer sebuah band yang bernama Purple Rain. Ya, Purple Rain seperti judul lagu penyanyi legendaris Prince.
Berharap band ini akan seterkenal Prince. Walaupun Purple Rain tidak terkenal, tetapi Gita tidak putus semangat untuk mempromosikan band tersebut agar lebih terkenal lagi.
Saat ini dia di studio musik bersama anggota band Purple Rain yang siap untuk latihan lagu baru mereka.
"Kak Git, tumben nggak sama pacarnya," Tanya salah satu gitaris Purple Rain, Garrit Suyekti. Ya, Gita juga secara terbuka 'coming out' kepada mereka bahwa dia menyukai perempuan.
"Lagi ke rumah ortunya, napa lu? Sedih nggak ada yang bawain makanan?" Garrit tertawa lalu mengelus-elus perutnya dan berwajah memelas kepada Gita.
"Laper Manajer..." Gita terkekeh.
"Bisanya lu pada minta makan aja ama gua, abis ini gua beliin tapi harus janji buat lagu se-spektakuler mungkin, biar berkesan di hati penonton, kayak Freddie Mercury kalo tampil, berkesan di hati semua penonton,"
"Kak Git, jangan nyama-nyamain ama yang gede-gede napa, orang kita manggung di acara agustusan komplek aja udah seneng," Kata salah satu Drummer Glenn Steven.
"Gue kan cuman ngasih contoh, biar pada semangat, elah..." Gita mendatangi Glenn lalu memukul kepalanya menggunakan koran.
Gita sayang sekali pada keempat anggota band ini. Mereka seperti anak yang sudah diasuh olehnya selama kurang lebih satu setengah tahun.
Gita sempat menangis ketika salah satu lagu Purple Rain diputar disalah satu radio di Jakarta, padahal siaran untuk lagu mereka hampir tengah malam, namun Gita tidak luput untuk merekamnya dan mendengarkannya berkali-kali seperti orang gila.
"Gue mau nasi uduk Pak Udin ya Kak Git," Sahut Bassist Anton Pradipto.
"Gue batagor yang deket sini Kak Git," Kata vokalis band Purple Rain yang satu-satunya masih duduk di bangku SMA, Cindy Dwita.
"Plis, gue bukan gojek yak, gue beliin aja gado-gado Bu Nyoto jangan ada yang protes!" Saat Gita akan keluar dari studio pacar Cindy menunggu di depan studio sambil memain-mainkan bola basket yang ia pegang. Gita menangkap bola tersebut ketika menggelinding ke arahnya.
"Jangan main bola disini ya Diki," Gita tahu Diki karena dia anak salah satu pemelihara gedung di apartemennya. Diki melihat Gita dengan tatapan tajam dan sinis yang membuat Gita sendiri heran karenanya.
"Pacar gue bilang lo lebih keren dari kebanyakan laki Kak," Diki menatap Gita seperti memindai sebuah data.
"Sial, ternyata emang bener, kenapa sih Kak Gita harus punya rambut pendek kayak gitu terus muka kayak artis korea senengannya Cindy? Gua kan jadi tersaingi!" Gita hanya bisa tertawa kecil melihat tingkah lucu Diki lalu mengacak-acak rambut Diki.
"Lo juga keren kali, tenang aja cewek lo nggak ada yang berani ambil, tapi kalo sampe lo nyakitin Cindy, gue juga nggak akan bisa diem ya Dik, even lo anaknya Pak Bagas, dan gue suka banget sama brownies nya bokap lo, nggak menutup kemungkinan kalo lo gue bakalan mukul muka ganteng itu karena lo nyakitin Cindy," Diki berdiri lalu Gita merasa sangat kecil dan pendek karena tinggi Diki hampir seratus tujuh puluh lima sentimeter sedangkan Gita hanya seratus enampuluh empat sentimeter.
Di jamannya anak SMA seumurannya tidak ada yang setinggi ini.
"Hal terakhir dan hal yang nggak akan gue lakuin ke Cindy itu nyakitin Kak, tenang aja, gue bakalan nikah sama Cindy terus punya sebelas anak terus hidup bahagia," Gita harus tertawa karena impian naif yang dilontarkan anak SMA seumuran Diki.
"Good luck with that! Kalo Cindy ampe denger gue rasa dia bakalan merinding, terus minta putus,"
"Kenapa gitu?"
"Please, cinta SMA itu nggak real, jangan muna deh Dik, aduh gue nggak nyangka lo laki yang kayak gini, roman picisan banget,"
"Apa salahnya berharap yang lebih dan bermimpi? Gue bodo amat mau dibilang lebay, cliché, muna dan lain sebagainya, untuk saat ini yang gue mau cuman Cindy, gue yakin Cindy makin sayang sama gue karena kata-kata gue tadi," Mimpi, kata-kata itu seperti menghantam realita Gita saat ini.
Sudah lama ia tak bermimpi seperti itu. Membangun keluarga bersama orang yang ia cintai. Gita tak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Gita hanya cukup bersama dengan Cinta selama ini. Keinginannya bersama Cinta tidak pernah ia pikirkan untuk lebih dari berpacaran.
Bagaimana bisa kata-kata naif seorang anak SMA seperti Diki membuatnya menyadari sesuatu hal yang tidak pernah ia sadari? Menikah.
Sialan, Gita ingin menikah dan mempunyai keluarga bahagia bersama Cinta. Namun, ini Indonesia, belum ada hukum resmi mengenai pernikahan sesama jenis.
Mengenai anak? Gita juga tiba-tiba mengiginkan hal tersebut. Salah satu dari mereka bisa menggunakan donor sperma dari bank sperma lalu ditanamkan ke rahim mereka.
Gita bisa saja pergi ke Amerika bersama Cinta dan membangun mimpinya itu menjadi nyata, namun butuh biaya besar dan kartu tinggal untuk dapat resmi menikah disana.
Satu nama negara yang tidak jauh dari sini serta terbuka dalam hal pernikahan sesama jenis. Thailand!
Gita harus mencari tahu mengenai hal tersebut, mengumpulkan uang dan memikirkan bagaimana caranya membantu adiknya Stevian membayar biaya rumah sakit Ibunya. Gita juga harus memikirkan bagaimana caranya untuk melamar kekasih hatinya tersebut.
Gita tiba-tiba tersenyum ke arah Diki lalu menepuk kepala Diki sambil berjinjit dan mengacak-acak rambutnya lagi.
"Duh, pinter amat dah lu! Coba bokap lo liat langsung anaknya kayak gini," Diki menatap Gita dengan wajah terheran namun Gita tidak mau repot-repot menjelaskan kenapa sikapnya berubah.
"Thanks ya Diki!" Gita masih tertawa riang ketika Diki berteriak kepada Gita seraya Gita keluar dari studio.
"Apanya yang Thanks Kak Git? Kak Git? Woi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Apartment 88 [END]
Random21+ Rank #1 on #kisahkehidupan 22 Agustus 2018 Rank #2 on #read 13 September 2018 Rank #1 on #read 18 September 2018 Rank #1 on #read 18 oktober 2018 Rank #1 on #read 25 oktober 2018 Rank #5 on #kisah 03 november 2018 Lestari Primastuti, seorang bus...