Bagas berkeringat dingin setelah ditelepon salah satu polsek setempat bahwa anaknya terlibat perkelahian. Tidak pernah anaknya itu terlibat perkelahian hingga kepolisian terlibat seperti ini. Anaknya itu atlit yang tidak pernah macam-macam dan murid yang pintar di sekolah.
Bagas parkir di halaman polsek Serpong tanpa membuka kaca dan terburu-buru masuk ke dalam kantor kepolisian.
Bagas di tahan salah satu anggota polisi dan menanyakan kemana dia akan pergi, Bagas memberitahu salah satu anggota tersebut dan anggota tersebut menuntunnya ke arah ruangan reserse.
Disana terdapat dua orang murid memakai seragam putih abu-abu dan dua lagi mengenakan seragam SMA tetapi seperti seragam SMA berwarna hijau dan putih. Diki melihat ke arah Bagas namun dia alihkan lagi pandangannya. Bagas langsung menghampiri Diki dan duduk di sampingnya.
"Selamat sore Pak, saya Bripda Restu Sianggolan yang tadi menelepon Bapak Bagas Antasari Samudra," Bagas menjabat tangan Bripda Restu lalu melihat ke arah anaknya. Tampak Diki yang penuh memar di bagian wajahnya lalu Bagas hanya bisa menahan nafas melihat wajah anaknya itu.
"Seperti yang tadi saya katakan kepada bapak Bagas melalui telepon bahwa saudara Diki ini berkelahi dengan teman satu sekolahnya dan beberapa murid sekolah lain hingga mereka kami panggil ke polsek untuk kami minta keterangan," Bagas tidak menyangka bahwa anak laki-laki yang ia sayangi ini akan terlibat sebuah perkelahian hingga di panggil pihak kepolisian.
Seumur hidup dia takkan pernah menyangka hal ini. Sebagai orang tua Bagas ingin sekali mengamuk kepada anaknya dan memarahinya detik ini juga, namun jika Bagas ingin menjadi orang tua yang bijak dia harus memendam emosinya dan bersikap tegas kepada Diki bukan mengamuk padanya.
"Bisa jelaskan Pak? Apa yang anak saya lakukan sebenarnya?" Bagas menoleh ke arah Diki yang hanya tertunduk sambil memain-mainkan kutikula kukunya.
"Mereka berkelahi di luar lingkungan sekolah dan menganggu kenyamanan para pemakai jalan, dari keterangan anak bapak kalau salah satu teman satu sekolahnya itu sudah mencabuli pacarnya, tetapi saudara Jaffa ini tidak mengakui perbuatannya dan menganggap bahwa saudara Diki itu mengada-ngada dan berbohong," Jantung Bagas berdegup dengan kencang. Bagas menekan pelipis kepalanya dan merasa pusing seketika.
Anaknya berusaha membalaskan dendam pacarnya kepada teman satu sekolahnya. Bagas tidak tahu dia harus bangga atau kecewa pada anaknya kini.
"Jika itu yang terjadi kenapa anak saya yang malah ditindak lanjuti? Kenapa bukan teman satu sekolahnya yang kemungkinan benar mencabuli pacar anak saya, bukankah kasus itu lebih parah Pak?"
"Ya, namun kita tidak bisa memutuskannya sekarang karena harus melalui keterangan korban, tetapi korban sedang tidak ada di tempat," Tampak Diki berdiri dari duduknya lalu menoleh ke arah Bagas.
"Aku mau telepon Cindy, Pa... Om Polisi ini nggak percaya sama cerita Diki,"
"Hei, duduk! Bukannya saya tidak percaya sama cerita saudara, tetapi kita tidak ada bukti yang jelas," Diki duduk kembali di kursinya lalu mendesah kesal.
"Om nggak percaya cerita saya karena saya bukan anak pejabat kepolisian kan Om? Papa saya emang cuman mandor bukan kayak Papanya Jaffa yang jelas-jelas Kapolres di Tangerang Selatan" Bagas melihat wajah Bripda Restu seperti kesal dengan perkataan Diki lalu Bagas seperti menengahi.
"Bisakah saya berbicara berdua saja dulu dengan anak saya Pak?"
"Ya... ya... silahkan saya beri waktu," Bripda Restu berdiri dari duduknya lalu keluar ruangan. Walaupun di ruangan ini masih banyak polisi lainnya tetapi Bagas sudah merasa privasi yang diberikan untuk berdua dengan anaknya sangat cukup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apartment 88 [END]
Random21+ Rank #1 on #kisahkehidupan 22 Agustus 2018 Rank #2 on #read 13 September 2018 Rank #1 on #read 18 September 2018 Rank #1 on #read 18 oktober 2018 Rank #1 on #read 25 oktober 2018 Rank #5 on #kisah 03 november 2018 Lestari Primastuti, seorang bus...