Holding Hands (Bagas&Diki 302) 07

2.7K 264 22
                                    

Bagas terkejut mendapati Ibu Lestari yang berdiri di dekat mobil miliknya. Ibu Lestari tersenyum hangat ke arahnya dan hal tersebut membuat Bagas tidak sanggup jika tidak membalas senyum indah itu.

"Maaf saya lama Bu..." Ibu Lestari hanya menggeleng pelan.

"Nggak apa-apa kok Pak, urusannya sudah selesai?" Bagas hanya terdiam dan tidak berani menjawab apapun. Sebetulnya ia tidak mau Ibu Lestari tahu bahwa barusan ia bertengkar dengan mantan pacarnya sekaligus Ibu kandung Diki.

"Sudah, yuk Bu... nanti keburu macet kalo ke Bogor siang-siang," Seketika Ibu Lestari menghampiri Bagas dan menengadahkan tangan kanannya yang tidak membawa tas.

"Sini mana kuncinya?" Bagas mengerenyitkan kening ketika mendengar Ibu Lestari mengatakan ini.

"Maksudnya Bu?"

"Sini, kunci mobilnya biar saya aja yang bawa," Bagas menggeleng dengan cepat.

"Saya aja yang nyetir Bu... Ibu duduk aja..." Bagas terkejut ketika tangan Ibu Lestari menggenggam tangannya dan hal tersebut membuat otaknya seketika membeku. Bagas menyadari Ibu Lestari bukan menggenggam dalam artian menggenggam seperti apa yang para kekasih lakukan tetapi ia menggenggam tangan Bagas untuk mengambil kunci mobil.

"Pikiran Pak Bagas lagi kacau kan? Udah biar saya aja yang nyetir, bapak duduk manis sambil nyalain lagu kesukaan bapak terus nyanyi-nyanyi juga nggak masalah," Jantung Bagas hampir mau lepas ketika Ibu Lestari tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya.

Apa yang sebetulnya terjadi? Kenapa Ibu Lestari tiba-tiba bersikap seperti itu kepada Bagas? Astaga, kedipannya tadi manis sekali.

"Ayo, Pak jangan bengong..." Bagas terbangun dari lamunannya kemudian masuk ke dalam mobil.

Anehnya sepanjang perjalanan, Bagas merasa Ibu Lestari lebih santai. Ia banyak bercerita mengenai masa kecilnya, kemudian masa SMA nya dan kenangan-kenangan masa mudanya. Kemudian dia juga bercerita bagaimana ia ingin membangun sendiri sebuah rumah layak huni yang nyaman dengan harga terjangkau, bagaimana dia dapat menemukan ide sebuah apartemen bernama Apartment 88. 

Sungguh, Bagas tidak pernah sangka ia akan berbicara sesantai ini dengan atasannya, apalagi atasannya itu adalah wanita yang sudah lama ia kagumi dan sudah lama ia taksir.

"—terus, saya itu orangnya nggak rapih Pak... saya itu berpura-pura menjadi rapih agarimage saya yang dilihat diluar terlihat lebih bagus lagi, apalagi banyak yang bilang saya galak, emang bener ya Pak saya galak?" Jujur, Bagas sedaritadi tidak menangkap satupun perkataan Bu Lestari. Ia hanya terlalu kagum dengan struktur wajah Ibu Lestari yang menurut Bagas begitu sempurna. 

Matanya yang tetap fokus menatap jalanan, lesung pipitnya ketika tertawa, kemudian bulu mata yang sedikit menyapu bawah matanya, hidungnya yang sedikit kecil namun runcing diujung, serta kulit sawo matang yang menurut Bagas sangat sempurna, serta bibir tebal Ibu Lestari yang tidak henti-hentinya Bagas tatap sedaritadi.

"Pak? Kok nggak dijawab? Jangan takut... disini posisi saya bukan jadi boss nya Pak Bagas... sebagai teman kok..."

"Ah, maaf apa tadi Bu?" Bu Lestari tampak terkekeh kemudian berdeham.

"Bapak kayaknya nggak merhatiin perkataan saya ya tadi?" Bagas menggeleng dengan cepat.

"Nggak kok Bu... saya merhatiin beneran deh..." Bohong, padahal Bagas sedari tadi hanya menatap wajah Bu Lestari hingga lupa berkedip.

"Kenapa Pak? Saya cantik ya kalo dilihat dari samping?"

"Iya...Eh... Bu... bukan maksud saya..." Ibu Lestari tertawa terbahak. Baru kali ini Bagas melihat Ibu Lestari tertawa dengan begitu renyahnya dan begitu cantiknya.

Apartment 88 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang