Jujur Bagas tidak bisa berpikir yang sama lagi saat dia harus berhadapan dengan Bu Lestari setiap rapat berlangsung. Bagas akan terbayang dirinya yang merengkuh tubuh Bu Lestari di pojokan IKEA dan mencium aroma tubuh Bu Lestari yang lembut.
Bagas tidak bisa menjelaskan aroma lembut itu apa, hanya saja itu aroma yang membuat Bagas selalu terbayang kehangatan tubuh Bu Lestari di pelukannya. Astaga, Bagas tidak berpikir panjang waktu itu, dia main peluk-peluk saja. Apa yang Bagas pikirkan? Bu Lestari adalah atasannya!
Untung saja Bu Lestari seperti melupakan hal itu dan esoknya Bu Lestari bersikap seperti biasa.
Bagas ingat setelah hampir satu jam Bu Lestari menangis di pelukannya, kemeja Bagas basah karena air mata Bu Lestari serta tangannya sedikit kesemutan karena memeluk terlalu lama, namun ia tidak menyesali semua hal itu, dia cukup bahagia melihat Bu Lestari setelah itu tersenyum lebar memperlihatkan sederet gigi putihnya serta senyuman Bu Lestari yang sangat manis, yang Bagas yakin ini pertama kalinya ia melihat atasannya itu tersenyum seperti itu padanya.
Hari itu Bu Lestari tidak berhenti mengucapkan terima kasih kepada Bagas hingga mereka sampai di Apartment 88.
"Terima kasih banyak Pak Bagas, saya cukup malu dengan sikap saya hari ini," Bagas menggeleng pelan dan memberanikan diri menekan pundak Bu Lestari.
"Menangis tidak memalukan Bu, tenang saja, saya juga terkadang suka menangis," Ibu Lestari tertawa dan suara tawanya sangat renyah, hati Bagas menghangat dan dia tersenyum-senyum sendiri.
"Pak bagaimana menurut Bapak dengan desain dari Papi saya?" Bagas sadar sedari tadi dia melamunkan kejadian di hari itu. Bagas jadi lupa bentuk desain yang semalam ia terima melalui email dari Pak Tuhendra.
"Hmm, bagus Bu,"
"Bagus? Tumben sekali jawaban Pak Bagas sangat singkat, biasanya lebi detail," Bagas hanya tersenyum kecil, namun perhatian Bu Lestari kembali ke arah Pak Sidi.
Bagas memang tidak bisa berpikir jernih sekarang, semenjak dia memeluk atasannya secara mendadak itu. Sepanjang hari yang ia pikirkan hanya tubuh mungil Bu Lestari dan wajah Bu Lestari yang terbenam di dadanya. Entah kenapa tiba-tiba jantungnya bergemuruh. Astaga, sudah lama sekali mesin di tubuhnya ini tidak bergerak seperti ini lagi.
"Pak Bagas nopo sakit to?" Bagas menoleh ke arah Pak Sidi, yang melihat ke arahnya dengan mata lekat-lekat.
"Nggak Pak, saya baik-baik saja,"
"Kok, wajahnya Pak Bagas merah gitu, tak kirain demam," Bagas menggeleng cepat.
"Nggak, kok saya baik-baik saja," Selanjutnya Pak Sidi dan Bu Lestari melanjutkan perbincangan mereka mengenai konstruksi bangunan.
Bagas harus fokus tidak bisa lagi teralihkan pikirannya ke hari dia memeluk Bu Lestari. Mungkin, pelukan itu bagi Bu Lestari hanya pelukan biasa, tidak berarti apa-apa. Tidak, bagi dirinya, itu seperti sebuah pengacau pikirannya selama beberapa hari ini.
Rapat akhirnya selesai, Bagas akan melanjutkan kerjaannya untuk mengecek suplai semen, batu bata, cakar ayam, kerikil dan sebagainya, ia berjalan menuju meja kerjanya lagi namun Bu Lestari menepuk pundaknya dan mengajaknya keluar trailer.
Saat mereka di luar trailer Bu Lestari seperti mengecek ke kanan dan ke kiri lalu mendekat ke arah Bagas hingga jantung Bagas seperti akan melompat.
"Pak, saya tahu Bapak pasti kepikiran yang di IKEA," Astaga, darimana atasannya ini tahu pikirannya? Apakah Bu Lestari itu juga seorang cenayang hingga pikirannya mudah sekali terbaca?
"Saya mohon, kita kembali lagi seperti yang dulu ya Pak? Sebagai saya dan Bapak yang bekerja untuk saya, saya tahu di hari itu saya begitu... hem..." Bu Lestari berdeham lalu melanjutkan kata-katanya ,"Rapuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Apartment 88 [END]
Random21+ Rank #1 on #kisahkehidupan 22 Agustus 2018 Rank #2 on #read 13 September 2018 Rank #1 on #read 18 September 2018 Rank #1 on #read 18 oktober 2018 Rank #1 on #read 25 oktober 2018 Rank #5 on #kisah 03 november 2018 Lestari Primastuti, seorang bus...