Diah sebetulnya sangat mencintai dan menyayangi suaminya itu namun saat ini yang ingin ia lakukan adalah mengomel padanya, karena suaminya yang saat ini pengangguran tidak segera pergi dari sofa ruang televisi.
Diah, tahu suaminya pasti bersedih karena kehilangan pekerjaan yang sangat ia sukai. Tetapi tidak begini juga caranya kalau suaminya terus bersedih dan tidak segera mencari pekerjaan. Bisa-bisa tagihan kartu kredit, telepon dan apartemen membengkak.
Pendapatan Diah tidak sebanyak pendapatan Marven dulu.
Ini sudah ke enam kalinya Diah menyenggol kaki suaminya di sofa dengan vacuum cleaner.
"Hon... aku lagi istirahat..." Diah memutar bola matanya dan menyenggol lagi kaki suaminya itu.
"Oh my god Honey...!"
"Jangan kelamaan istirahatnya... cari kerja cepetan, kalau kamu nggak cepetan cari kerja aku akan ngadep ke dekan kamu dan ngadep Bapak untuk balikin lagi kerjaan kamu," Marven terduduk lalu menggeleng.
"Nggak... jangan aku nggak mau mohon-mohon sama Bapak kamu, aku tahu dia pasti nunggu aku buat mohon-mohon sama dia," Sebetulnya kata-kata tadi hanya ancaman saja buat Suaminya agar segera bergerak mencari kerjaan baru dan tidak leha-leha saja di depan televisi. Diah, juga takkan mau memohon-mohon pada bapaknya itu.
"Ayo cepetan gerak buka laptop kek atau apa kek gitu, atau cari agen kerja atau minta tolong temen-temen dosen kamu," Marven berdiri dan menggerakkan bibirnya dengan "oke oke" lalu berjalan menuju kamar dan mengambil laptop lalu duduk di meja makan.
"Enaknya aku nyari kerja apa Hon?"Apakah ini rasanya ketika Suami hampir dua puluh empat jam di rumah dan mengganggu ketenangan Istri? Entah kenapa semenjak Marven dinyatakan pengangguran dia jadi tidak manly atau gentleman lagi.
Marven jadi manja, kebingungan dengan urusan rumah, di tengah pemotretan Diah di telepon Marven padahal hanya sekedar bertanya dimana Diah meletakkan persediaan deterjen atau minya goreng.
"Apa aja Honey..."
"Oke, kalau aku cuman jadi supir grab gimana?"
"Nggak masalah asalkan kamu dapet kerja terus nggakclingykayak gini,"
"Honey...aku cuman nanya jangan sebel gitu dong jawabnya," Diah menghentikan aktivitasnya yang sedang membersihkan karpet ruang televisi lalu menghadap ke suaminya.
"Marven, kamu jadi aduh... kok jadi nanya ginian sama aku sih? Yang mau kerja kan kamu,"
"Tapi yang nyuruh aku cari kerjaan kan kamu Hon..." Oke, itu memang benar Diah yang meminta suaminya segera mencari kerjaan. Tetapi Diah tak sanggup jika Marven terus-terusan bertanya dan mengganggu aktivitasnya.
Biasanya Diah akan leluasa membersihkan rumah tanpa ada yang mengikutinya kemanapun Diah berjalan atau bertanya-tanya dimana handuk, dimana sikat gigi baru atau sabun mandi.
"Kenapa kamu nggak coba kampus yang di deket sini tuh, kayaknya di gedung kita ada salah satu dosen yang ngajar disitu," Mata Marven melebar lalu ia mendatangi Istrinya dan mencium dalam-dalam bibir Istrinya.
"You are the best wife ever! Like ever ever ever!"Diah hanya bisa tersenyum di dalam hati melihat tingkah suami yang umurnya jauh lebih tua daripada Diah tapi sikapnya masih seperti anak kecil.
"Aku minta rekomendasi Pak Made dulu dong ya Hon?" Diah yang sedang membuka pintu balkon dan akan membersihkan balkon menoleh lagi ke arah suaminya dengan tatapan kesal.
Marven sepertinya menyadari hal itu lalu menggerakkan bibirnya dengan kata "sorry" dan kembali menatap laptopnya.
Kenapa lelaki jadi tidak berdaya ketika kekuatan yang mereka pegang hilang seketika sih? Kenapa suaminya yang tadinya keren jadi manja begini karena kehilangan pekerjaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apartment 88 [END]
Random21+ Rank #1 on #kisahkehidupan 22 Agustus 2018 Rank #2 on #read 13 September 2018 Rank #1 on #read 18 September 2018 Rank #1 on #read 18 oktober 2018 Rank #1 on #read 25 oktober 2018 Rank #5 on #kisah 03 november 2018 Lestari Primastuti, seorang bus...