BLURB & SNEAK PEEK "VIRA AND THE OTHER GUYS" (Separuh Bagian dari Apartment 88)

1.8K 29 2
                                    

Blurb

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Blurb

Ini kisah hidupnya
tidak muluk
tidak juga berat
hanya saja ia selalu bertemu dengan pria yang bermacam-macam.
Hidupnya bisa dikatakan "bebas" tidak tampak seperti wanita pada umumnya.
Bisa dikatakan juga bahwa jika keluarganya tahu, ia dapat dicoret dari kartu keluarga, tidak dianggap sebagai anak bahkan tidak bermoral. Padahal dia hanya mencari jati dirinya dan mencari siapa "the one" untuknya.
Bukannya bebas, dia hanya menjalani apa yang menurutnya ingin ia lakukan namun pada batasan yang sewajarnya... (ah, benarkah itu wajar?)
Bahkan beberapa sahabatnya meninggalkannya di akhir, hingga ia berpikir "Ah aku lupa kalau masih hidup di Indonesia..."


SNEAK PEEK

Banyak sekali hal yang harus kukerjakan. Mulai dari mengecek persediaan barang di gudang kemudian meminta adik sepupuku yang bekerja untukku agar ia mulai menghitung gaji untuk para karyawan kemudian meminta Mama agar tidak lagi meributkan masalah lapor pajak karena saat ini sudah dipermudah hanya dengan melalui internet.

Aku sengaja berpakaian sangat rapih hari ini karena aku akan melakukan penerbangan menuju Jakarta untuk rapat dengan salah satu marketing dari kedai kopi yang akan bekerja sama denganku nantinya. Aku hanya ingin tahu berapa biaya keseluruhannya kemudian bagaimana operasionalnya di kemudian hari dan seterusnya.

Aku terlalu pusing mengurusi banyak sekali urusan setelah aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan tempat aku bekerja dulu. Aku sudah tidak tahan bekerja dengan perusahaan tersebut. Mereka seperti tidak menghargai kerja kerasku selama ini. Maka, setelah mengundurkan diri, kuputuskan untuk bekerja dengan Papa dan membantu Papa mengurusi usaha yang Papa bangun. Tidak besar namun ada banyak dimana-mana.

Papa memiliki mini market di beberapa wilayah Jawa Tengah, Jogjakarta dan Jawa Timur. Papa juga mempunyai beberapa rumah kontrakan di daerah Wiyung, Surabaya. Daripada aku bekerja dengan orang lain yang tidak menghargai usahaku lebih baik aku bekerja untuk keluargaku sendiri, karena seluruh keluarga besarku sangat membutuhkan bantuan ekonomi dari keluarga kami.

"Mbak Vir," Aku menoleh ke arah Tyas yang memintaku untuk mengecek laptop yang sedang ia bawa.
"Bu Marni ndak dateng lagi ki piye?" Aku menghela napas panjang kemudian mengambil laptop dari tangan Tyas lalu melihat daftar absensi karyawan di hari ini dan kemarin.

"Udah berapa hari?" Tanyaku kepada adik sepupuku itu.

"Hampir empat hari," Jawabnya perlahan-lahan. Aku hanya menggeleng dengan pelan sambil berdecak.

"Omah'e ning ndi?" Tanyaku kepada Tyas dengan nada kesal.

"Babarsari mbak... tapi tadi Mas Oyo udah kesana ngecek, katanya cuman ada anaknya thok yang disitu,"

"Maksudmu, anaknya yang masih SD itu?" Tyas mengangguk menjawab pertanyaanku.

"Lha, mbok'e nang ndi?"

"Nggak tahu..." Jawab Tyas sambil menggeleng.

"Wis kamu telpon nomor hape-nya?"

"Udah mbak, sampe lima belas kali aku telpon... yo ora diangkat kok..." Sekali lagi aku hanya menggeleng kemudian menghela napas panjang dan berpikir lagi. Tidak mungkin aku memecat Bu Marni. Bu Marni sudah bekerja untuk toko ini lebih dari sepuluh tahun. Bedanya, saat ini sistem toko yang kami miliki sudah tidak tradisional seperti dulu lagi. Konsepnya sudah modern, segala sesuatunya menggunakan data komputer yang disambungkan kepada serverinternet, hingga aku dapat mengawasi dimanapun dan kapanpun hanya melalui ponsel pintar.

Bu Marni tahu betul bagaimana Papa merintis toko-toko yang ia miliki hingga sebesar sekarang. Tetapi beberapa hari terakhir Bu Marni seperti kehilangan tujuannya serta tidak semangat dalam bekerja. Aku juga tidak tahu apa alasan utamanya. Ia tidak mengatakan apa-apa kemudian absen selama empat hari dari toko.

"Kalau begitu, coba cek ke rumah sepupunya yang ada di Telogorejo,"

"Oh, ada to? Tak kirain ndak ada,"

"Ada, kesana aja..." Pikiranku melayang kepada Mas Devan. Ya, anak dari sepupu Bu Marni.

Kami sempat menjalin kasih hanya beberapa bulan kemudian Ma Devan memutuskan untuk bekerja di Jepang sebagai perawat lansia sedangkan aku waktu itu meminta ia untuk tetap tinggal di Semarang dan jangan pergi ke negri sakura tersebut karena akan menyiksa batinku, dan rasa rinduku akan semakin dalam. Maka, kami berdua memutuskan untuk melepas hubungan ini dan berjalan masing-masing.

Ah, jika memikirkan Mas Devan lagi rasanya hatiku terasa kembali kosong serta hari-hariku kembali hampa.

"Mbak Vir berangkat jam berapa ke Jakarta?"

"Nanti sore, sih... kenapa?"

"Nggak apa-apa... aku pengen ikut tapi kata Bude harus jaga toko," Aku hanya tersenyum kemudian mengusap-usap kepala Tyas.

"Nanti ya kalau toko udah mulai stabil lagi dan Bude udah bisa jaga toko sendiri, sekarang cuman ada kamu yang tak andelin buat jaga toko,"

"Iya, iya... eh gimana itu sama cowok Tinder yang mbak—" Aku berusaha menutupi mulut Tyas yang dengan kencang berceloteh mengenai Tinder. Okay, keluargaku tidak tahu menahu mengenai aku yang memiliki hubungan bebas diluar sana dengan berbagai macam pria. Semenjak aku kehilangan Mas Devan, seluruh raga dan hatiku terasa hampa dan ingin adanya kehangatan. Maka, aku mulai mencari-cari hubungan melalui aplikasi daring kemudian bertemu mereka. Entah, itu akan menjadi sangat rutin atau berganti-ganti, atau kami hanya makan dan minum di bar kemudian pulang ke tempat tinggal masing-masing.

"Sudah ya... diam... kamu nggak boleh ikut-ikutan kayak mbak loh ya!"

"Lha, wong aku bingung kemaren siapa itu yang orang manado? Albert! Terus tiba-tiba muncul yang orang Aceh! Lha kan aku bingung, siapa sebetulnya hati mbak Vir berlabuh,"

"Nggak usah menebak-nebak kisah cinta orang lain. Lagipula, aku hanya mencari kesenangan fisik bukan hati... hatiku masih terisi dengan kenangan lama yang sulit lepas dari dalamnya," Tyas hanya mengangguk-angguk atas perkataanku kemudian ia terkikik.

"Dasar manusia penumpuk kenangan! Susah move-on!" Tyas menjulurkan lidahnya ke arahku kemudian ku pukul pantatnya lalu ia meringis kesakitan dan aku tertawa terbahak.

Apartment 88 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang