Humiliation (Tamara 202) 01

5.6K 247 10
                                    

Tamara merasa dipermalukan oleh mahasiswa di kelasnya. Apalagi oleh Sandy Almanar. Tamara cepat-cepat keluar dari kampus setelah jam mengajarnya habis. Namun ada yang menahan legan nya, Tamara berbalik arah dan berdirilah mahasiswa kurang ajar itu Sandy.

"Bu Tam, maaf beribu ribu maaf bu..." Jujur, Tamara tidaklah marah padanya melainkan merasa dipermalukan oleh sikapnya, apalagi di depan seluruh mahasiswa di kampusnya.

"Kamu tahu perbuatan kamu itu tidak sopan? Apalagi tangan kamu masih nahan lengan saya, ini lebih tidak sopan Sandy," Sandy buru-buru melepaskan lengan Tamara, lalu ia menatap Tamara dengan tatapan maaf.

"Saya minta maaf sekali lagi atas perbuatan saya," Tamara tidak menjawab apa-apa. Ia betul-betul malu dengan kejadian di kelas tadi.

"Kalo saya nggak berdiri di belakang Ibu si Joshua udah nge share di instastory bu, makanya saya nutupin belakang Ibu tapi saya nggak maksud mau ngelecehin dengan megang... anu... itu .... ah itu..."

"Pantat saya?" Sandy mengangguk.

"Lain kali gunakan verbal bukan gerakan, kamu tahu kalo saya dosen lama disini saya bisa kasih kamu SP yang membuat kamu menuju DO terus pemanggilan polisi atas pelecehan seksual," Tamara memperhatikan wajah Sandy yang pucat pasi dan mata nya melebar. 

Tamara yakin saat ini dia sudah lebih dari mengintimidasi.

"Okay, saya juga mau terima kasih sama kamu karena udah nyelamatin muka saya di depan mahasiswa saya, jadi silahkan jauh-jauh dari saya, karena saya mau pulang," Saat Tamara mau membuka pintu mobilnya Sandy menahan pintu mobilnya untuk terbuka.

"Saya anterin Bu, rumah ibu di Apartment 88 kan?" Tamara berkali-kali mengerjapkan matanya. Ia tidak percaya bahwa mahasiswa nya menawari untuk mengantarnya pulang. Apalagi mahasiswa itu adalah Sandy Almanar yang selalu ia intip dari balkon apartemennya sambil menyesap bir nya dan membayangkan lengan atletis mahasiswanya itu merengkuh tubuhnya erat-erat.

"Y-y-ya, darimana kamu tahu saya tinggal disitu?" Agar tidak tampak kalau Tamara selalu membayangkan dan mengintip Sandy, dia harus mengeluarkan satu kalimat bohong pada mahasiswa nya ini.

"Saya pernah lihat Ibu keluar dari parkiran terus masuk ke kamar 202," Senyuman sempurna Sandy kepada Tamara membuat perutnya seperti diputar dan diaduk-aduk.

"Oh," hanya kata itu saja yang sanggup keluar dari bibirnya. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi di depan mahasiswanya yang satu ini.

"Jadi saya anter?"

  Berpikirlah yang jernih Tamara dia hanya mahasiswa mu, tidak lebih, dia baru berumur 19 tahun, dan kau sudah 30 tahun, ada apa denganmu sih? kau bukan pedofil, inikah yang dinamakan pedofil? tapi bukankah umur Sandy itu umur legal di mata hukum? Oh, tapi tetap saja berasa seperti seorang pedofil! 

Pikiran berkecamuk di dalam hatinya menyebabkan Sandy mencolek pundak Tamara.

"Bu?" Lamunan Tamara buyar dan dia berusaha fokus lagi pada pendiriannya untuk tidak berada di satu ruangan tertutup dengan Mahasiswa yang sudah membuat perutnya jungkir balik.

"Nggak usah, saya bisa pulang sendiri,"

"Tapi saya merasa bersalah Bu, lagian kita satu arah,"

"Nggak usah Sandy, terima kasih atas tawaran kamu, lagian penjelasan kamu tadi sudah cukup menjelaskan perbuatan kamu di kelas, saya sudah memaafkan kamu,"

"Serius Bu? Saya bener-bener nggak enak,"

"Iya, saya serius, saya maafkan kamu," Tamara masuk ke dalam mobil Honda Brio Satya yang diberikan kampus padanya untuk mempermudah Tamara melakukan mobile dari kampus ke apartemen jika sewaktu-waktu kampus membutuhkan bantuannya.

 Sandy mengetuk kaca mobil Tamara dan Tamara menurunkannya.

"Terima kasih Bu, Ibu beneran nggak akan laporin saya ke bagian kemahasiswaan kan?" Tamara tersenyum kali ini dan menggeleng. Betapa lucu dan polosnya mahasiswa seperti Sandy.

"Nilai saya bakalan baik-baik aja kan semester ini?" Tamara mengangguk. Ia ingin sekali membenarkan rambut hitam Sandy yang panjangnya hampir mengenai bulu mata Sandy yang panjang.

"Oke deh Bu, Terimakasih, hati-hati di jalan," Tamara sebetulnya enggan menutup kaca mobilnya dan berharap menatap Sandy dalam jarak yang sangat dekat sekali lagi, namun ia harus mengurungkan niatnya jika ia masih ingin bekerja menjadi dosen dan bersikap layaknya wanita berumur 30-an. 

Apartment 88 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang