Athena Mayor : I told her.
Zain menggigit bibir bawahnya dan menaruh kembali ponselnya. Sebenarnya ada keinginan kuat untuk membalas, untuk menanyakan bagaimana reaksi gadis muda itu ketika Ana memberitahunya. Tapi segera dia urungkan.
Kesedihan. Bukankah itu sudah jelas?
Kemarahan? Entahlah. Zain belum cukup mengenal sosok Olivia dan belum banyak berinteraksi dengannya, jadi dia tidak bisa menentukan karakter gadis itu lewat analisanya. Kalau masalah fisik, Zain tidak akan ragu akan ketangguhannya, tapi mengenai apa yang ada di dalam diri gadis itu sendiri tidak ada yang tahu.
First impression Zain terhadap Olivia adalah gadis itu tidak terlalu banyak bicara. Karena bentuk alisnya yang sempurna menyebabkan tatapan matanya jadi terlihat sangat tajam, walaupun dia tidak bermaksud untuk mengintimidasi. Tapi sekilas, dia dapat melihat kilat jenaka yang tersembunyi dengan apik.
Satu hal yang membuatnya terkejut adalah saat Olivia menceritakan firasat terpendamnya tentang kecelakaan yang menimpa sang adik. Cara penyampaian gadis itu seolah-olah mereka sedang membahas permainan NBA. Tidak ada keresahan, tidak ada rasa takut. Seperti anak kecil yang murni ingin tahu bagaimana cara mencetak three poin dalam permainan.
Zain merenggangkan tubuh dan menaruh kedua tangannya di belakang kepala. Sudah banyak sekali kasus yang dia menangkan. Perebutan harta, perceraian, hak asuh, pembunuhan—inilah yang kadang tidak sanggup untuk ditanganinya. Menghadapinya, berpura-pura sok berani malah membawa Zain kepada mimpi buruk akan almarhum sang ayah.
Sumpahnya lah tentang akan menjunjung tinggi keadilan yang selalu memberinya kekuatan, hingga saat ini. Dan semoga selamanya.
Zain duduk tegak dan merapikan seluruh berkas, buku dan gadgetnya ke dalam tas. Beberapa berkas kasus ada yang ditinggal karena sudah mencapai titik terang. Hanya tinggal menunggu action dan keputusan dari pengadilan. Sebelum dia beranjak, dia mengirim pesan pada Calx untuk siaga di tempatnya.
Di depan komputernya dan di ruang kerjanya.
Sesampainya di rumah, dia disambut oleh dua security penjaga gerbang.
"Sore, pak." Sapa kedua pria itu saat Zain menurunkan kaca mobilnya.
Zain mengangguk, tersenyum ramah. Gerbang abu-abu setinggi 3 meter itu akhirnya terbuka lebar dan Zain menancap gas lagi, memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Di dalam rumah, dia disambut oleh wanita tua yang bertugas untuk mengurus keperluan rumah.
"Teh hangat, pak?"
"Boleh, terimakasih. Dan oh, tolong sekalian bawa cemilan untuk Calx. Saya ada di ruangan kerjanya." Kata Zain seraya menaiki tangga menuju lantai dua.
Pintu ruang kerja Calx tertutup rapat tapi terdengar suara alunan music Remember The Time-nya Michael Jackson. Zain mengetuk dua kali dengan keras lalu membuka pintu yang tidak terkunci itu.
Pria blasteran berusia 26 tahun itu terlihat sedang asyik memainkan game perang online dan sesekali ikut bernyanyi. Entah mengetahui kedatangan Zain atau tidak.
"Calx!"
Calx berjengit dan segera menghentikan permainannya. Dia menoleh kebelakang dan berdeham canggung. "Sudah daritadi disana ya?"
Zain hanya berdecak sebagai jawaban, dia berjalan mendekat sambil membuka jasnya. Melemparnya ke sisi meja computer Calx yang kosong, melonggarkan dasi dan menggulung lengan kemeja hingga siku. Berdiri bersandar pada sisi meja menghadap Calx.
Kalau sudah begitu, Calx langsung paham kalau atasannya ini ingin membicarakan sesuatu yang penting. Sangat penting. Apalagi sambil memandangi wajahnya dan Zain tidak mengatakan apa-apa. Pikirannya seperti terbelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Final Masquerade Series (#3) : Bring The Rain
Action🄵🄸🅁🅂🅃 🄳🅁🄰🄵 D18+ Ada pepatah yang mengatakan "Curiosity kills cat." Itu sangat benar. Rasa penasaran itulah yang membuat Olivia berani mengikrarkan diri menjadi seorang Jet Fighter Pilot. Mempertaruhkan jiwa, raga, masa muda dan juga ... nam...