Olivia melepaskan jaket Alfino dan melemparnya ke kursi belakang. Setelah seluruh mata kuliahnya berakhir hari ini, dia langsung melesat menuju mobilnya dan menolak ajakan teman-teman barunya untuk main sebentar di kantin.
Tidak, dia memiliki urusan penting lain sekarang.
Setelah berhasil mendapatkan nomor ponsel target tentu saja ada tahap lain yang harus diselesaikan. Dalam perjalanan menuju Tanggerang, Olivia selalu berpikir kalau bisa saja cara yang dia pakai ini dapat membongkar identitasnya. Tapi, kesal sekali rasanya mengetahui fakta kalau dia bukanlah pegiat teknologi kelas kakap seperti hacker. Jadi, butuh usaha besar baginya untuk mendapatkan sederet nomor ponsel—jika dia melakukannya dengan cara biasa, seperti hanya mengmati tanpa terjun langsung ke dunia targetnya sendiri.
Kalau saja dia hacker jelas bukan begini cara mainnya.
Caranya ini terbilang berhasil, karena hanya butuh waktu beberapa jam saja untuk mendapatkan nomor Alfino Derian. Taktik lama memang selalu menguntungkan. Itulah mengapa Olivia nekat melakukan hal ini. Membiarkan wajahnya diketahui sejelas-jelasnya oleh targetnya sendiri.
Tentu saja dia juga sudah siap dengan konsekuensinya.
Satu jam setengah menyetir menuju Tanggerang, mobilnya berhenti di depan bengkel yang lumayan besar. Olivia mematikan mesin mobilnya dan mengambil jaket cadangan dari dalam dashboard. Iya, dia berbohong tentang tidak memiliki jaket lain.
Dunia intel hanya dipenuhi dengan kepalsuan dan kebohongan. Tidak usah kaget.
Setelah memakai masker ala orang sakit, Olivia keluar dan mengunci mobilnya. Para pegawai disana menyapanya sekilas lalu kembali sibuk bekerja memperbaiki motor ataupun mobil di depan mereka. Membiarkan Olivia lewat menuju lorong pendek yang membawanya ke lantai dua toko ini.
Pintu cokelat dengan banyak sekali sticker tentang satanisme terlihat. Olivia ingat maksud dari semua sticker itu bukan karena sang pemilik menyukainya. Dia berkata bahwa ada makna lain yang dia pakai dari gambar tersebut. Yaitu, jauh-jauh dari sini—ini adalah area berbahaya. Entahlah, pemiliknya memiliki cara berpikir yang unik. Olivia mengetuknya dua kali sebelum membukanya—yang untungnya tidak terkunci. Ruangan 7x6 meter bernuansa maskulin menyapanya, termasuk seorang pria yang tengah tiduran malas di atas ranjang.
"Nanti malem sih," kata pria itu pada seseorang di telepon. "Abang sibuk nih. Yang penting kan abang kerjain pr nya."
Olivia masuk dan menutup pintunya. Berjalan pelan sebelum menjatuhkan diri di sebelah pria itu.
"Haris, ada kerjaan nih," dia mengacungkan ponselnya ke depan wajah pria itu.
Haris tersenyum lebar. "Iya iya ini sekarang deh. Nih minta jawabannya sama temen abang aja ya? dia kebetulan baru dateng."
"Pr apa?"
"Biologi," Haris merebut ponsel Olivia dan menukarnya dengan ponsel miliknya. "Makanan lo kan? Urusin Intan bentar."
"Hai Intan," sapa Olivia. "Ini temennya abang Haris. Mau dibantuin apa?"
"PR KAK! TOLONGIN AKU!" pekik suara cempreng itu.
Olivia terkekeh sebentar. "Bacain aja soalnya, nanti jawabannya langsung kakak diktein."
"Nomer satu," Intan berdeham. "Jelaskan detail enzim pada biological detergent."
Olivia terdiam sebentar. "Hmm ... detergen itu mengandung protease dan lipase. Mereka bekerja lebih baik pada suhu yang lebih rendah daripada deterjen non-biologis. sehingga mengurangi biaya energi."
Haris bangkit dari kasurnya dan mengambil laptop, lalu duduk lagi disebelahnya. Ikut mendengarkan obrolan Olivia dan adiknya mengenai pr biologi, sementara dia melakukan tugas yang diberikan gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Final Masquerade Series (#3) : Bring The Rain
Action🄵🄸🅁🅂🅃 🄳🅁🄰🄵 D18+ Ada pepatah yang mengatakan "Curiosity kills cat." Itu sangat benar. Rasa penasaran itulah yang membuat Olivia berani mengikrarkan diri menjadi seorang Jet Fighter Pilot. Mempertaruhkan jiwa, raga, masa muda dan juga ... nam...