Olivia mendesis kemudian pergelangan kakinya ditarik lumayan kencang. "AWW!"
Dokter yang menanganinya mengangguk pelan lalu menuliskan sesuatu pada kertas laporan. "Kamu bisa pulih lebih cepat. Dibiasakan untuk berjalan ya?"
Dia mengangguk kecil. "Rasanya aneh aja kalau saya Cuma diam dan duduk. Badan kaku semua."
"Anak lapangan memang beda, ya?" dokter yang berumur setengah abad itu tertawa kecil. Dia berjalan menuju meja di sudut ruangan. "Sudah berapa lama kamu di AURI?"
"Udah ditahun ketujuh, kalo gak salah," Olivia bangkit dari posisi setengah berbaringnya. Menurunkan kedua kaki dari kasur.
"Jangan lupa untuk dipijat juga. Jangan ke tukang pijat abal-abal, nanti kamu bisa salah urat."
"Baik."
"Tahun ketujuh itu sudah lumayan lama untuk anak gadis bertahan di lingkungan yang keras ini. Jarang lho ada gadis kayak kamu. Anak saya saja semuanya bergelut di bidang bisnis. Padahal saya ingin sekali salah satunya jadi dokter atau bidang pengabdian lain. Tapi, yah, saya paham kalau dokter itu pekerjaan yang keras dan berat," orangtua itu menghela napas. "Mungkin bukan beban berat di jenis yang seperti ini yang sanggup mereka tanggung."
Olivia tersenyum simpul. "Kadang memang serba salah ya, pak? Ada orangtua yang memasrahkan diri kepada anak mereka, maksudnya terserah anak mereka mau mengambil jalan apa dan bagaimana untuk menjadi orang sukses. Tapi ternyata anaknya malah bingung juga kalau dikasih kebebasan itu, seperti mereka juga belum tahu ingin apa. Ada orangtua yang mengekang, tapi anaknya sudah punya jalan sendiri. Alhasil bentrok deh."
Dokternya tertawa renyah. "Yah, memang begitulah. Itu cobaan kita sebagai orangtua, sebagai anak. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Menjadi orangtua yang supportif itu enggak mudah, Ollie. Apalagi menjadi orangtua yang serba menuntut. Kami juga masih bisa salah dalam menilai segala sesuatunya. Kami masih manusia."
Itu benar. Kita semua manusia. Mau apapun jabatan terhebat kita.
Olivia turun dari kasur praktik dan memakai kembali sepatunya. Dia mendengar wejangan mengenai kondisi kakinya sekali lagi sebelum keluar dari ruangan. Lorong rumah sakit sudah sepi karena sekarang pukul delapan malam. Dia berjalan menuju kantin RS yang buka 24 jam, menunggu Deka disini.
Sambil ditemani segelas vanilla latte hangat, dia menunggu sepupunya yang entah ada dimana. Pesannya juga belum dibaca padahal dia online.
Sebelah bahunya ditepuk.
Olivia berjengit kaget dan menoleh. Seorang pria berusia 50'an, bertubuh tinggi dan gagah berbalut kemeja putih slim fit itu tersenyum sangat lebar padanya.
"Pak ... Karta?" tanya Olivia sambil mengingat-ingat.
"Bagus! Masih ingat kamu," pria itu tertawa gembira sambil tetap menepuk-nepuk bahunya.
Olivia tersenyum simpul karena berhasil menebak dengan benar. Kalau salah kan malu, padahal terakhir kali mereka bertemu saat umurnya 16 tahun. Beliau adalah sosok yang dia kira salesman—kalau saja dia tak tahu pekerjaannya dan jabatannya di BIN. Habisnya, dia kekeuh sekali untuk mengajaknya masuk ke seleksi Intelijen. Promosi tentang pekerjaan itu habis-habisan. Dia juga semangat sekali membeberkan kemampuan yang katanya Olivia miliki, dan apa saja benefit yang akan diterima jika dia masuk sebagai anggota.
Mirip sales kan?
"Gak langsung pulang?" tanya beliau.
"Nunggu sepupu saya, pak."
Pak Karta mengangguk pelan. "Saya temani ya? Sudah lama juga saya tidak ngobrol sama kamu."
"Silahkan. Bapak mau minum apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Final Masquerade Series (#3) : Bring The Rain
Aksi🄵🄸🅁🅂🅃 🄳🅁🄰🄵 D18+ Ada pepatah yang mengatakan "Curiosity kills cat." Itu sangat benar. Rasa penasaran itulah yang membuat Olivia berani mengikrarkan diri menjadi seorang Jet Fighter Pilot. Mempertaruhkan jiwa, raga, masa muda dan juga ... nam...