Part 56 - Masih belum ingat?

2.2K 277 71
                                    

Setelah mendengar kenyataan pahit bertubi-tubi, awalnya Olivia yakin dia bisa mengatasinya. Tapi ternyata tidak. Dia menyetir seperti orang kesetanan, dan untungnya saja dia tidak menyebabkan kecelakaan pada orang lain dan dirinya sendiri. Olivia sadar dirinya begitu bodoh saat Jeepnya memasuki pelataran lobi apartemen.

Dia menjatuhkan kepala di atas setir dan menarik napas dalam-dalam, merasa menyesal telah bertindak gila.

"Maaf ... maaf ... maaf ... maaf," gumamnya. "Ya Tuhan, maaf."

Karena rasa bersalah yang tak kunjung sirna dan kebingungan yang terus melanda, akhirnya dia memutuskan untuk membuat obatnya. Jeep-nya keluar dari lobi dan menuju Kota Tua. Dia memilah ATM yang tak ramai antrian dan mengambil uang tunai dari tabungannya sebesar sepuluh juta rupiah. Setelah menaruh uang itu dengan aman ke dalam tas, dia mulai berkeliling mencari para obatnya.

Seseorang pernah berkata, "Jika kamu sedang sedih, maka buatlah orang lain merasa bahagia agar kebahagiannya tertular kepadamu."

Maka dari itu, sejak siang hingga menuju petang dia selalu membantu orang-orang yang terlihat membutuhkan sedikit bantuan. Dan ya, itu membuat banyak sekali perubahan pada hatinya. Melihat orang lain bahagia karena dirinya adalah hal yang sangat menakjubkan. Karena biasanya dia hanya bisa membuat orang lain kesal atau paling tidak merasa iri yang tidak beralasan, kemudian berujung dendam.

Puncaknya adalah ketika dia melihat tawa bahagia para bocah-bocah di panti. Hatinya seperti barusaja ditukar dengan yang baru. Mereka saling memamerkan mainan baru dan bermain bersama. Sedangkan sebagai ucapan terimakasih kepada para usahawan, Olivia memberikan mereka masing-masing uang sebesar 500 ribu rupiah.

"Anak-anak minta kamu bermalam, masih kangen katanya," ujar ibu panti yang tubuhnya cukup subur, Bu Hartanti namanya. Wajah keibuan yang kental itu menatapnya dan matanya yang memancarkan kehangatan memandangnya dengan intens. "Kalau enggak, mereka mau nangis berjamaah."

Olivia dan Hartanti tertawa bersama. Tak punya alasan untuk menolak, akhirnya Olivia mengangguk. Sekarang dia sedang di dapur, menyuci semua peralatan masak dan piring-piring kotor. Mereka baru saja selesai makan malam.

Olivia mengeringkan kedua tangannya dan duduk di salah satu kursi, diikuti Hartanti yang duduk di hadapannya setelah menyajikan dua gelas teh hangat.

"Ibu gak pernah tahu kabar kamu beberapa tahun ini. Kemana saja toh, nduk?"

Olivia memberikan tatapan menyesal. "Banyak kerjaan. Dan belum lama ini aku pergi ke Irak."

Hartanti berubah khawatir. "Kamu gak apa-apa kan selama disana?"

Olivia menggeleng sambil tersenyum. "Enggak dong. Masa ibu lupa sama julukanku sejak SMA?"

"Apa?" kepala wanita itu teleng ke kiri. "Biang onar?"

Olivia terbahak. Benar, itu salah satunya. Dia mengenal panti asuhan ini berkat membuntuti Dhirta. Hanya ... sedikit kisah kenakalan ala remaja sih. Buntutnya dia ketahuan dan foila ... ini menjadi rumah keduanya.

"Iya kan? Itu kan julukanmu dari dulu," Hartanti memberikan pembelaan sambil tertawa pelan. "Tapi ibu seneng banget kamu kesini. Ibu kira kamu lupa sama kami semua. Ibu sempet pangling lho liat kamu tadi. Lebih cantik, lebih tinggi, lebih berisi, lebih ... bahagia dari terakhir ibu liat kamu setelah pemakaman Dhirta."

Dan malah, saat Hartanti melihat Olivia memakai seragam TNI AU untuk yang pertamakalinya, wajah gadis itu masih sangat mendung. Tapi sekarang sudah tidak begitu. Entah apa yang sudah dilalui anak itu, Hartanti hanya berharap dia mendapatkan kebahagiaan yang ada di seluruh dunia.

Karena Olivia memang pantas mendapatkannya.

Olivia menggenggam kedua tangan ibunya. Wanita kedua yang mau menerima segala keburukannya selain sang Mama. "I'm so sorry," hanya itu yang bisa dia katakan. "Mulai sekarang aku bakalan lebih sering berkunjung."

Final Masquerade Series (#3) : Bring The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang