"Orang-orang yang sering datang ke rumah?" degup jantung Zain berpacu dua kali lebih cepat, matanya berbinar-binar dan darahnya mengalir deras. Adrenalin yang sering dia rasakan ketika mendapat lubang tikus di sisi jalan buntu.
Danil mengangguk polos. "Ciri-cirinya—"
"Sebentar!" sela Zain. "Om Zain gak pinter buat memproyeksikan fisik orang di dalam kepala. Bisa kita tunggu sebentar? Om panggilkan orang yang jago gambar. Biar gak ada salah paham."
"Harus banget digambar ya om?"
Zain mengangguk pasti. "Oh ya jelas. Biar om Zain bisa bantu kamu saat orang-orang ini macem-macem ke kalian. Oke ya? tunggu sebentar. Eh tapi apa kamu sudah izin untuk pulang telat?"
"Saya udah bilang ke Om Eka kalau mau bikin tugas di rumah teman. Sampai sore."
"Setelah semuanya selesai, nanti om Zain antar pulang," jelasnya lalu sibuk mendial nomor sesorang. "Halo, Wa? Lo dimana sekarang? Lagi sama si Darif gak? ... itu si anak magang. Minta tolong dong, suruh dia ke kafe depan gedung! Urgent! Sekarang! ... iya ... oke. Thanks."
Zain kembali kepada bocah SMP di depannya. "Nah, Danil mau makan sesuatu gak? Sudah jam makan siang lho. Pesan aja di kasir. Bilang ke kasirnya, nanti dibayar Om Zain."
Danil menatap ragu. "B-boleh nih om?"
"Iya. Pesan apa aja yang kamu suka."
Danil akhirnya bangkit dan berjalan menuju kasir. Kasir yang sama yang melayaninya tadi. Zain tidak melepaskan tatapannya dari gerak-gerik anak itu, karena bisa saja tiba-tiba hilang dibawa orang. Mbak kasir menatapnya, mungkin ingin mengonfirmasi apakah benar dia yang akan membayar tagihannya? Zain mengangkat tangan sembari mengangguk sebagai balasan.
Kasir wanita itu balas mengangguk seraya tersenyum lalu memberikan atensinya kepada pelanggan kecil itu. Tak berlangsung lama, Danil kembali dengan sepiring penuh kue dan roti. Ada croissant, kue coklat, roti daging, dan lain-lain.
"Yakin kenyang makan itu?"
Danil mengangguk. "Ini lumayan banyak kok, om."
"Oke. Dihabiskan ya," Zain tersenyum manis.
Danil makan dengan lahap. Sebenarnya tidak baik hanya makan roti dan camilan manis saja saat makan siang pada masa pertumbuhan. Tapi, apa daya? Anak itu sendiri yang memilih makanannya. Tujuh menit kemudian, mereka kedatangan tamu.
"Bapak manggil saya?" tanya Darif, cowok dengan perawakan tinggi kurus dan kulitnya yang kuning langsat.
"Duduk dulu sini," kata Zain, menunjuk salah satu kursi di dekatnya. "Nih saya kasih kerjaan dikit. Anak ini mau ngasih ciri-ciri orang, kamu gambar sesuai dengan yang dia maksud, bisa? Bisa kan? Bisa dong! Kan abis ini mau magang di Kapolsek. Bantu-bantu investigasi."
Darif menyengir lucu. "Bapak langsung mojokin gitu, ya saya bisa jawab apa lagi selain iya? Oke, ada alatnya gak? Saya gak bawa apa-apa."
"Minta ke kasir sana. Pasti ada hvs. Pensilnya minjem sama Danil."
Darif beranjak sementara itu Danil mengeluarkan pensil dan penghapus dari dalam tempat pensilnya. Mintanya satu, tapi Darif berhasil mendapatkan tiga lembar hvs. Oke, bagus. Untuk jaga-jaga jika gambarnya salah dan tidak bisa diperbaiki.
"Nah, Danil bisa mulai sekarang. Ingat-ingat dengan pasti gimana bentuk wajah mereka, atau bisa salah satu. Yang paling kamu ingat lebih dulu aja," kata Zain.
"Umm ... tingginya segini, om," Danil berdiri dan menunjuk perkiraan tinggi menggunakan lengannya. "Badannya kayak pegulat. Matanya agak sipit, mukanya bulat, terus ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Final Masquerade Series (#3) : Bring The Rain
Action🄵🄸🅁🅂🅃 🄳🅁🄰🄵 D18+ Ada pepatah yang mengatakan "Curiosity kills cat." Itu sangat benar. Rasa penasaran itulah yang membuat Olivia berani mengikrarkan diri menjadi seorang Jet Fighter Pilot. Mempertaruhkan jiwa, raga, masa muda dan juga ... nam...