Part 20 - Do you want her back?

2K 292 54
                                    

Hari ke-enam.

Tidak banyak yang berubah. Kakinya masih terpasung dan tangannya masih diikat diatas tubuhnya. Penyiksaan selalu datang tepat waktu. Jadwalnya lebih sering ketika pagi—Olivia sebenarnya tidak tahu kapan persisnya pagi dan malam karena dia tidak pernah melihat matahari—yang ditandai bunyi bip bip kecil pada jam tangannya. Mereka membangunkannya dengan cara menyiramkan air dingin ke wajahnya atau tamparan atau pukulan di seluruh area tubuh.

Pertanyaan lalu cambukan, pertanyaan lalu tinjuan. Siklusnya nyaris seperti itu. Bagi mereka, Olivia adalah samsak baru yang harus dipakai sesering mungkin. Kalau saja dia bukan prajurit, mungkin dia sudah tidak sadarkan diri sejak tiga hari yang lalu karena seluruh penyiksaan itu. Tapi untungnya berkat seluruh pelatihan militer, tubuhnya menjadi lebih kuat dan resisten terhadap segala jenis penyerangan kulit-ke-kulit.

Olivia tidak berharap penyerangan itu akan berganti ke peluru-ke-kulit. Well, setidaknya jangan sekarang. Dia masih ingin membawa keluar Pak Doddy dari neraka kecil ini.

Dia menggerakkan jemarinya yang kaku dan pucat karena kurang asupan darah. Kakinya ditekuk pelan-pelan keatas agar tidak semakin kaku. Olivia mendongak, nyaris menangis lagi. Tapi tidak! Dia sudah mendeklarasikan diri untuk tidak mengeluarkan setetes air mata lagi setelah cambukan di hari ketiga.

Bukannya bermaksud sok kuat, tapi itu adalah sugesti untuk tetap kuat, untuk tidak melemahkan diri, untuk tidak membuang energi, dan hidup di hari berikutnya.

"Sshh..." punggungnya perih—sangat perih—dan lembab. Luka terbarunya baru diukir pagi tadi. Sekitar tiga jam yang lalu. Oke, kemungkinan lain yang muncul adalah dia bisa mati karena infeksi dan jamur, jika opsi mati karena ditembak atau dipenggal kepalanya sudah ketinggalan zaman.

Pintu ruangan terbuka, Alima masuk dengan terburu-buru. Dia membuka obrolan tanpa melepaskan niqab-nya seperti biasa. Inilah yang berbeda. Dia sudah mempunyai pengunjung tetap selain para lelaki yang menyiksanya.

"Kau-harus-segera-pergi,"

Olivia mengedip cepat. "Yeah, I know. If only I had superpowers like an Avatar, maybe I was free from yesterday."

[Ya, aku tahu. Andai saja aku mempunyai kekuatan super seperti Avatar, mungkin aku sudah bebas dari kemarin.]

Alima mengepalkan kedua tangan di depan wajahnya. Wow, sepertinya seseorang sedang kesal.

"Mereka-akan-membunuhmu," Alima menggeleng. "Aku-mendengarnya-ketika-lewat. Kau-sudah-tidak-berguna-bagi-mereka."

Ketenangan yang sudah dibangunnya susah payah langsung hancur. Olivia meneguk air liurnya dan menatap Pak Doddy yang masih terbaring di pojok ruangan. Ya Tuhan, jangan sekarang!

"What will they do? And when?" [Apa yang akan mereka lakukan? Dan kapan?]

Alima menggeleng lagi. "Aku-tidak-tahu. Hanya-itu-yang-kudengar. Mereka-akan-mengeksekusi-beberapa-orang-besok. Aku-harap-kau-tidak-ada-di-dalam-daftar."

Olivia mendesah keras. Dia tidak memiliki rencana apapun. Penjagaan disini amat ketat dan lagi dia tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan. Tidak ada yang bisa dijadikan senjata ataupun informasi.

Level intelijen: NOL BESAR!

Alima menatapnya sedih dan mengeluarkan sebongkah roti, seperti biasa. "Jangan-langsung-dihabiskan. Kita-membutuhkannya."

Roti yang dibawa gadis itu semakin lama ukurannya semakin besar. Cukup untuk meredam bunyi perutnya. Walaupun tidak cukup untuk proses recovery. Dia butuh dari sekedar roti dan air untuk penyembuhan luka dan mengembalikan stamina yang sudah jatuh hingga ke dasar.

Final Masquerade Series (#3) : Bring The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang