Taxi yang dipesan Pak Andri untuknya meluncur membelah jalan Tol Lingkar Luar Jakarta menuju rumah orangtuanya di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Olivia mendesah dan menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap pemandangan sisi jalan tol yang gelap dan dipenuhi pohon. Kacanya diturunkan setengah, angin malam menerpa wajahnya yang lebam-lebam. Jalan tol malam ini ramai lancar, karena dia membaur dengan mereka yang baru pulang kerja juga.
"Mbaknya tentara ya?" tanya si supir ketika mereka terhadang macet.
"Iya, pak."
Sang supir jadi berubah semangat. "Wah, beneran toh ternyata! Saya kirain si mbaknya pakai pakaian punya kerabat. Hebat banget ya perempuan jaman sekarang, bisa masuk tentara juga. Tadi pas dapat pesanan suruh angkut di dalam rumah sakit, saya jadi semangat banget mau liat tentara-tentara yang keluar masuk. Saya jadi inget anak saya, mbak. Putra saya juga cita-citanya mau masuk angkatan udara, kayak mbak. Tapi sayang tidak lolos."
"Karena apa, pak?" tanya Olivia. Dia memandang si bapak lewat cermin tengah mobil. Umur bapak supir dia taksir lebih dari limapuluh-an. Keriput-kerput sudah tercetak jelas di sekitar dahi, leher dan kerutan matanya. Auranya hangat sekali, jelas kebapakan. Anak ke berapa yang beliau maksud?
"Masalah kesehatan, mbak. Dia punya asma," jawab si bapak sedih.
Olivia mengedip cepat dan tanpa sadar menahan napasnya. Dia tersenyum kecut, masalahnya mirip seperti seseorang yang dia kenal.
"Memang sulit diakali kalau sudah menyangkut masalah kesehatan," komentar Olivia, ikutan sedih. "Anaknya umur berapa, pak?"
"Itu kejadian dua tahun lalu, mbak. Sekarang anaknya sudah umur 19 tahun, si bungsu itu. Dia sedih sekali waktu itu karena tidak lolos, karena kepingin sekali. Tapi saya semangati terus untuk berusaha di jalan lain," si bapak tersenyum lebar. "Dan akhirnya dia jadi mahasiswa di jurusan menggambar ... apa itu ya namanya, saya lupa haha."
"Seni rupa?" tebak Olivia.
"Bukan, mbak. Ada desin desin-nya gitu haha. Saya tidak paham." Si bapak tertawa geli. Mobil kembali berjalan dengan pelan.
Dahi Olivia berkerut. "Design visual?"
"Nah! Iya itu, mbak! Namanya susah diingat, makanya saya gak paham haha." jawab si bapak dengan semangat. "Dia bilang akan mencapai cita-citanya lewat jalan itu. Dia semangat dan optimis bisa bergabung sama AU lewat jalan ini. Siapa tahu saja dia bisa jadi orang yang akan bikin desin pesawat tempur baru untuk Negara."
"Amiin!" jawab Olivia secara spontan. Orang yang memiliki itikad baik untuk masa depannya sendiri apalagi untuk Negara harus diaminkan. Tujuannya mulia sekali. Dia ingin melihat Negara ini menjadi lebih baik, lewat usaha-usaha besar maupun kecil.
Semua orang punya caranya sendiri untuk bisa menggapai cita-cita atau juga rasa baktinya pada Negara, Ollie. Kata seseorang kepadanya dulu. Kalau aku ingin memulainya dengan masuk ke AU.
Olivia tersenyum kecut ketika kenangan itu melintas, tenggelam didalamnya. Sampai-sampai dia tidak mendengar apa yang si bapak ucapkan. "Ya? Kenapa, pak?"
"Itu saya tanya, kenapa wajahnya bisa sampai babak-belur begitu?"
Dia tertawa garing. "Ah ini ... biasa, pak. Sedikit aksi berantem saat tugas kemarin."
"Oh begitu," si bapak supir terlihat sedih lagi. "Sebenarnya saya juga agak kurang setuju kalau si adek masuk AU sih, mbak. Karena saya ngeri sama pelatihannya. Gak tega. Sampai dipukuli begitu."
Olivia hanya bisa tersenyum kecil. "Ya memang sudah seharusnya begitu, pak. Kedepannya, kami akan menjaga Negara ini secara fisik. Kalau dipukul sekali saja sudah tidak tahan, bagaimana kami bisa menjaga masyarakat dan wilayah Negara?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Final Masquerade Series (#3) : Bring The Rain
Action🄵🄸🅁🅂🅃 🄳🅁🄰🄵 D18+ Ada pepatah yang mengatakan "Curiosity kills cat." Itu sangat benar. Rasa penasaran itulah yang membuat Olivia berani mengikrarkan diri menjadi seorang Jet Fighter Pilot. Mempertaruhkan jiwa, raga, masa muda dan juga ... nam...