Part 14 - Omong-omong soal nazar

2.5K 276 28
                                    

Cerita tentang ketidak-akuran keluarganya memang sudah menjadi konsumsi public, bahkan di dalam lingkup internal pekerjaan Olivia sendiri. Maka dari itu, dia tidak merasa heran ketika seluruh pasukan yang duduk saling bersebelahan dan bersebrangan di dalam pesawat angkut Airbus A400M ini memandangnya dengan raut iba.

Tanpa harus mengklarifikasi, mungkin benar hanya dia satu-satunya prajurit yang tidak mendapatkan salam perpisahan dari keluarga—walaupun sebenarnya ada Kak Ana dan keluarga dari Teguh yang secara tidak langsung mengunjunginya karena harus melihat sang putra, tapi sepertinya mereka tidak termasuk ke dalam hitungan.

Well, kalau begitu memang benar dialah yang paling merana disini. Seharusnya.

Dia sama sekali tidak merasakan apapun saat pesawat angkut ini meninggalkan daratan. Meninggalkan tanah kelahirannya. Meninggalkan orang-orang yang disebutnya keluarga. Perasaan hampa ini malah membuatnya takut. Sampai-sampai dia merasakan tegang pada punggung belakangnya.

Fase 'kehampaan perasaan' ketika dia sedang melakukan misi perdamaian malah akan membuatnya dilempar keluar dari pesawat ini sekarang juga. Kemudian akan muncul rumor baru 'Seorang perwira menyuap dokter kejiwaan agar lolos tes psikologis' atau yang mirip seperti itu.

Karena, bagaimana kau bisa iba kepada korban perang yang akan memunculkan rasa kemanusiaan untuk membantu mereka ketika perasaanmu mati? Ini 'kan tugas kemanusiaan. Dan tentu saja melibatkan rasa-rasa iba dan perjuangan hidup-mati untuk membantu. Pertolongan yang setengah-setengah jelas akan membuat semua pihak terbunuh dengan mudah.

Olivia menghela napas lalu diam saja dan melipat kedua lengannya di atas perut. Mencoba untuk berpura-pura tidak melihat pandangan itu dan juga berusaha memunculkan perasaan yang diperlukannya. Untunglah keadaan mulai mencair dan mereka saling membuka obrolan lain untuk dibicarakan.

Seperti Kaptennya, yang mengatakan kalau korban jiwa pada perang minggu ini bertambah 35% dari minggu sebelumnya. Menciptakan kegaduhan instan dalam kabin dan mereka mulai bertanya-tanya 'apakah beberapa negara menarik pulang prajurit mereka bahkan setelah dua bom dijatuhkan di pinggir kota?'

Olivia ingin tertawa, sungguh. Mental prajurit perdamaian tidak mungkin sekecil itu. Tapi mengingat keadaannya yang kurang strategis untuk melucu, dia jadi menggigit lidah untuk menahan semburan tawa itu keluar. Dan perutnya langsung kram.

"Saya dengar ada yang berhasil memecah kode keamanan mereka di pesisi timur. Lalu serangan rudal langsung dilemparkan sebagai balasan." Kata sang Kapten.

"Lewat jalur darat?" seseorang bertanya. "Karena gak mungkin 'kan, mereka membiarkan jet tempur lawan mendekat ke zona putih?"

Olivia menggaruk ubun-ubunnya.

Atas pertanyaan simple itu, berbagai spekulasi pun muncul. Berbagai kemungkinan mereka keluarkan sebagai pendapat.

"Menurut Lettu Olivia bagaimana?"

Olivia berjengit dan berhenti menggaruk kepalanya. Semua orang sudah melihatnya dengan rasa ingin tahu yang besar. Well, apa yang mereka harapkan? Dia bukan ahli persenjataan, jadi dia rasa pendapatnya tidak sepenting itu.

"Eung..." Olivia menggaruk pipinya, "tergantung dari jenis rudal yang dipakai. Bisa saja itu adalah serangan Air-to-Surface Mission atau Ground-to-Ground Mission. Karena menjatuhkan rudal butuh prosedur. Kalau dalam kasus Air-to-Surface Mission dan Air-to-Air Mission, kompatibilitas target-amunisi harus ditentukan, dan juga tidak bisa langsung main tembak. Jika pertanyaannya adalah rudal apa yang diluncurkan? Bagi saya itu cukup sulit untuk ditebak. Karena setiap rudal memiliki jarak tembak dan kecepatan yang berbeda - beda. Selain itu kecepatan dan ketinggian pesawat tempur saat meluncurkan rudal juga turut menentukan efektivitas dari rudal yang ditembakkan. Kesimpulannya adalah, itu bisa jadi rudal yang mana saja."

Final Masquerade Series (#3) : Bring The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang