Ruangan 6x5 meter itu terasa sepi walaupun ada dua orang di dalamnya. Andri menatap atasannya, yakni Marsekal Abas dengan tatapan tajam. Kesepakatan yang diambil secara sepihak lah yang membuatnya murka kepada atasannya sendiri. Selama ini dia sangat menghormati Marsekal Abas yang selalu bijak dan mengedepankan musyawarah. Tapi sekarang dia merasa tengah berhadapan dengan orang lain.
"Ini untuk kebaikan dirinya sendiri, Andri," ucap Marsekal Abas setelah keheningan panjang yang mencekam.
"Tapi—"
Marsekal Abas menggeleng pelan. "Jangan sampai keegoisan kamu dalam menjaga perasaannya malah menimbulkan dampak yang sebaliknya. Olivia sudah bukan remaja lagi. Dia pasti akan mengerti."
Andri mencengkram kedua lututnya. Rahangnya mengetat kuat. Sementara itu Abas masih menatapnya dengan kekerasan hati yang sama, namun ada banyak pengertian lewat tatapan matanya. Lima menit dalam keheningan total, Andri berpikir. Mencerna baik-buruknya keputusan ini untuk anak asuhnya.
"Oke," putusnya. "Baik. Saya setuju."
Marsekal Abas tersenyum tipis. Dia mengangguk sebelum menelpon sekretarisnya, meminta tolong untuk membawa masuk tamunya yang telah menunggu. Tak sampai semenit sambungan diputus, pintu ruangan terbuka. Menampilkan sesosok pria tinggi dengan tatapan matanya yang tajam. Marsekal Abas dan Andri berdiri menyambutnya.
Menyambut pria yang akan menggantikan posisi Olivia dalam timnya.
Olivia menolak ditinggal sendiri di dalam ruangan itu. Bukan karena dia takut, tapi demi kebaikan dirinya sendiri dia harus berada di tempat terbuka atau paling tidak ada orang lain bersamanya.
Dia sudah bicara dengan Kak Ana dan juga Rey. Kesimpulannya adalah, semua itu benar. Segala hal yang terjadi dengan Maria adalah kenyataan. Dan jangan ditanya bagaimana perasaannya sekarang.
Seluruh tubuhnya gemetar dan rasa marah itu muncul lagi. Beserta dengungan baru di kepalanya. Rey menatapnya dengan pandangan was-was. Dia berdiri di kusen pintu dengan kedua tangan menyilang di depan perut.
"Yakin udah berhenti nangisnya?" tanya pria itu. Rey tidak akan membawa gadis itu keluar sebelum bisa menguasai dirinya.
Dia mengangguk pelan. "Gue mau di depan aja."
"Oke. Cuci muka dulu sana."
Olivia bangkit dan menuju toilet yang ada di dalam ruangan itu. Pantulan dirinya menatap sedih, marah dan tak berdaya. Ketika tersadar lengan kanannya sudah melayang, hendak meninju cermin, dia cepat-cepat berjongkok melindungi kedua lengannya. Napasnya tersengal-sengal dan kedua tinjunya mengepal erat.
Tidak, tidak boleh lagi.
Inilah alasannya dia tidak mau ditinggal sendirian disaat-saat seperti ini. Dia pasti akan kalap.
Terakhir kali dia kalap adalah saat berita kematian Oliver. Kedua tangannya sudah tidak berbentuk dan mati rasa karena meninju cermin setiap kali melihat pantulan dirinya disana. Dia berakhir di kamar transfusi darah karena kehilangan mereka cukup banyak. Setiap dia kalap, dia tidak menghiraukan apapun—rasa sakit dan tatapan kasihan orang-orang—termasuk tetesan darahnya yang mengalir deras sampai menggenang di lantai. Pak Andri—komandannya menghukumnya karena sudah melakukan perbuatan mengerikan itu. Dia dilarang mendekati jet atau ikut latihan selama dua minggu—ini adalah hukuman utamanya, sisanya masih banyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Final Masquerade Series (#3) : Bring The Rain
Action🄵🄸🅁🅂🅃 🄳🅁🄰🄵 D18+ Ada pepatah yang mengatakan "Curiosity kills cat." Itu sangat benar. Rasa penasaran itulah yang membuat Olivia berani mengikrarkan diri menjadi seorang Jet Fighter Pilot. Mempertaruhkan jiwa, raga, masa muda dan juga ... nam...