"Oliv, sini deh!"
Olivia sedang membaca gulungan kertas berisi peralatan serta jadwal-jadwal sampai mereka mendarat di Irak saat Teguh memanggilnya. Dahinya berkerut tapi tak urung mendekat pada rekan satu timnya itu.
Teguh terkekeh pelan melihat wajahnya yang sudah melontarkan pertanyaan, tanpa harus mengeluarkannya dari lisan.
"Nyokap gue mau ketemu sama lo." kata Teguh, "Kangen udah setahun gak liat."
Setiap kata yang keluar dari mulut Teguh sepertinya buyar sebelum bisa masuk ke telinga Olivia. Dia semakin heran saat salah satu lengannya ditarik menuju kerumunan keluarga yang memberikan salam perpisahan juga doa kepada prajurit.
Mereka harus membungkukkan badan untuk meminta jalan. Setelah beberapa keluarga mereka lewati, akhirnya Olivia bisa melihat wajah-wajah termakan usia yang tidak asing. Walaupun begitu, tetap saja ada sepercik rasa aneh karena sudah lama tidak bertemu.
Belum sempat Olivia mengucapkan salam, tubuhnya sudah tenggelam dalam rengkuhan hangat nan erat dari seorang wanita manula yang dipanggil 'Ibu' oleh Teguh.
"Ya Gusti... kamu makin cantik aja, nduk. Udah setahun aja ya? Ibu gak berasa sama sekali."
Olivia melihat wajah-wajah geli yang tersaji di depannya hanya bisa meringis kecil, membalas pelukan Bude Nurti dengan hangat. Sepuluh detik kedepan, pelukan itu terlepas dan wajahnya ditangkup oleh Bude Nurti.
"Ibu ikut sedih, nduk. Semuanya pasti berat banget buat kamu, kan?" adalah topic yang sangat dihindari Olivia, tapi ternyata sudah bertemu juga.
Olivia tersenyum kecil, yang bahkan tak sampai pipinya. "Olivia gak apa-apa, Bude. Udah gak sedih banget kok. Walaupun sulit, tapi semuanya udah terjadi dan Olivia gak bisa berbuat apa-apa. Hanya do'a yang bisa Olivia kirim."
Tanpa disangka, Bude Nurti menangis. Dia kembali memeluk Olivia dan mengelus-elus pundaknya. "Sing sabar yo, nduk. Gusti Allah pasti memberikan yang terbaik buat kita semua."
"Iya. Makasih Bude. Udah ah jangan nangis lagi! Nanti cantiknya ilang." Katanya yang disambut kekehan semua orang.
"Keluarga kamu sudah datang, Olivia?" tanya Pakde Tedja, ayah Teguh.
Olivia tersenyum aneh sambil mengelus tengkuknya, "Enggak dateng, Pakde. Tapi mereka sudah nelpon tadi subuh." Dustanya.
Olivia bisa melihat kekehan masam Teguh. Selain dia dan Tuhan, Teguh adalah satu-satunya saksi yang mengetahui kebohongan Olivia. Mereka benar-benar sibuk dari jam 3 pagi hingga saat ini—pukul 9 pagi—dan tidak sempat melakukan hal lain diluar aktivitas mengepak barang dan mempersiapkan amunisi. Tidak mungkin ada yang masih bisa main ponsel atau melakukan aktivitas santai lainnya.
Apalagi mereka satu tim. Olivia bisa kena damprat sama komandannya—Pak Ramil—jika ketahuan sibuk sendiri dengan kegiatannya yang melenceng. Sengaja seperti itu. Karena waktu untuk pamitan dengan keluarga sudah terjadwal. Pukul 9 hingga pukul 10 nanti.
"Si Aram kok gak balik-balik dari tadi?" suara Bude Nurti yang syarat kebingungan membuat semuanya langsung focus mencari sosok yang tidak diketahui Olivia.
"Lo masih inget kan sama adek gue yang paling terakhir? Kayaknya gue pernah cerita sekali deh." kata Teguh melihat kebingungan Olivia.
"Palingan lagi nyari cewek cantik, Bu. Lagian Ibu juga sih, tu' anak kalau gak mau diajak ya gausah dipaksa." Jelas Teguh setengah geli.
"Nah ini dia!" Pakde Tedja setengah berteriak gemas, "Dari mana kamu? Ke toilet kok setengah jam sendiri."
"Nyari cewek cantik, Pa. Sialnya gak nemu dari tadi." Jawaban Aram sukses membuahkan tabokan pada belakang kepala dan punggungnya. Siapa lagi kalau bukan dari Pakde Tedja dan Teguh sendiri?
KAMU SEDANG MEMBACA
Final Masquerade Series (#3) : Bring The Rain
Ação🄵🄸🅁🅂🅃 🄳🅁🄰🄵 D18+ Ada pepatah yang mengatakan "Curiosity kills cat." Itu sangat benar. Rasa penasaran itulah yang membuat Olivia berani mengikrarkan diri menjadi seorang Jet Fighter Pilot. Mempertaruhkan jiwa, raga, masa muda dan juga ... nam...