Sudahkah dia mengatakan bahwa kegiatan memata-matai itu membosankan? Yah. Apalagi yang hanya mengamati dari jauh dan mendengarkan percakapan mereka seharian. Dia beruntung karena gendang telinganya belum berdarah karena mendengar guyonan dirty Alfino dan kawan-kawannya.
"Makanya lo sekali-sekali ikut gym biar tau rasanya."
"Bayar lagi dong kalo gitu. Mendingan dirumah aja."
"Si Pino mah mana tau, Gar, betapa luar biasanya peaches para cewek kalau lagi squat."
Lalu mereka tertawa kencang.
Dia lumayan mengakui kalau Alfino itu paling polos diantara teman-temannya. Tapi, bisa sepolos apa sih anak laki-laki?
Olivia sudah nyaris sekali ingin berdiri menghampiri mereka, membentak mereka dan menyuruh mereka untuk membicarakan hal yang penting saja. Dia mendesah pasrah sebelum bangkit untuk memesan lagi.
Antrian siang ini cukup panjang karena sudah masuk jam makan siang. Dia mengikuti Alfino ke resto ini sejak sejam yang lalu dan mungkin dia akan menyerah dalam beberapa menit kedepan. Teman-temannya itu sangat ... ugh.
Ketika antriannya memendek, dia sudah sibuk melihat papan menu dan memilih. Namun gerakan gusar cowok di depannya mengalihkan perhatiannya.
"Yakin gak bisa, mbak?"
"Iya, mas. Sudah di blokir."
"Shit," lalu merogoh seluruh kantung celananya dengan heboh. Olivia sudah menebak permasalahannya.
Karena antrian di belakangnya mulai mengeluarkan hawa tak enak, dia maju dan berkata dengan tenang. "Mbak, saya pesan Spaghetti alla Carbonara satu sama es jeruknya satu. Digabung aja sama mas ini." lalu dia memberikan tiga lembar uang seratus ribu.
Mbak kasir dengan sigap melakukan orderannya, karena dia juga sudah melihat situasi yang tidak kondusif dari barisan antrian. "Ini kembaliannya, mbak. Mohon ditunggu lima menit untuk pesanannya."
Olivia mengangguk lalu berbalik, hendak menuju ke mejanya. Tapi baru beberapa langkah, lengannya ditahan.
"Mbak tunggu!"
Olivia berbalik dan terkejut dalam hati. Cowok dengan tinggi 180 cm, kulit kecoklatan yang eksotis, rambut hitam cepak dengan mata teduh itu tersenyum gugup menatapnya. Yang membuatnya terkejut bukanlah tampilan fisik dari cowok itu, melainkan fakta yang barusaja menghantamnya.
Dia ... Hernando Diwata.
Tidak mungkin Olivia salah mengenali. Dia masih ingat betul gurat ketakutan dari cowok di depannya ini yang sekarang tengah tersenyum canggung.
Sepertinya sudah lama sekali waktu berlalu sejak terakhir kali dia berurusan dengannya. Fisiknya sudah jauh lebih baik dan lebih berisi. Dan semoga saja psikisnya juga mengatakan hal yang demikian. Luas semesta ternyata sempit sekali karena mempertemukan mereka kembali.
"Maaf, mbak. Saya gak bawa dompet dan saya kira CC saya masih bisa dipakai," dia tertawa kering, terlihat malu. "Saya minta nomor ponselnya boleh? Saya mau ganti uangnya."
Olivia melirik dinding kaca yang dipasang secara vertikal di sebelahnya dan bersyukur kalau raut terkejutnya tak tampak sedikitpun. Wajahnya masih mengeluarkan mimik normal dan datar. Dia berdeham. "Gak perlu. Cuma seratus lima puluh kok."
"Tapi, mbak. Seratus limapuluh kan juga uang. Saya gak suka punya hutang sama orang."
"Saya ikhlas," Olivia tersenyum tipis lalu berbalik. Tapi ternyata cowok itu mengikutinya hingga ke mejanya dan tanpa permisi duduk di depannya. Masih ngotot mau mengembalikan uang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Final Masquerade Series (#3) : Bring The Rain
Acción🄵🄸🅁🅂🅃 🄳🅁🄰🄵 D18+ Ada pepatah yang mengatakan "Curiosity kills cat." Itu sangat benar. Rasa penasaran itulah yang membuat Olivia berani mengikrarkan diri menjadi seorang Jet Fighter Pilot. Mempertaruhkan jiwa, raga, masa muda dan juga ... nam...