🄵🄸🅁🅂🅃 🄳🅁🄰🄵
D18+
Ada pepatah yang mengatakan "Curiosity kills cat." Itu sangat benar.
Rasa penasaran itulah yang membuat Olivia berani mengikrarkan diri menjadi seorang Jet Fighter Pilot. Mempertaruhkan jiwa, raga, masa muda dan juga ... nam...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sena mengerang saat Olivia menjatuhkan tubuh besarnya ke lantai. Olivia tidak bisa membuka pintu karena harus menahan tubuh itu, dan lagi dia tengah memakai heels sekarang. Membuat pergerakannya terbatas. Setelah pintu terbuka, dia kembali memapah Sena yang sudah setengah sadar ke atas kasurnya.
"Fyuuuh..." Olivia menyeka keringat. "Nyusahin. Tapi sebenernya salah gue juga kenapa harus peduli. Oke, intinya gue nyusahin diri gue sendiri."
Kakinya menendang kaki Sena. "Bangun, woy!" kemudian melakukannya lagi sampai sepuluh kali. Respon pria itu hanya mengerang kecil dan berguling.
"Ck."
Olivia keluar untuk mengambil kotak P3K dan dua butir aspirin. Dia menaruh alat-alat perangnya ke dalam laci. Dia akan memastikan info tentang Alfino nanti saja. Ada orang mabuk yang harus diurus sekarang.
Diusapkannya tisu basah ke bagian pelipis dan sudut bibir Sena, membersihkan darah yang menganak sungai. Tidak begitu banyak sih, dan bukan luka parah juga. Hanya cukup lecet. Ck, apa yang Sena pikirkan sih? Tentara tidak boleh berkelahi sembarangan. Akibatnya bisa saja fatal. Dan pria ini malah berkelahi di pub.
Setelah selesai, dia melepaskan sepatu dan membenarkan posisi tidur pria itu lalu membiarkan Sena terlelap di kasurnya. Seharusnya tadi dia menaruhnya di sofa kecil depan tv saja. Olivia membalikkan badan dan melangkah menuju dapur. Merasa haus sekali setelah mengangkut tubuh besar itu sejak dari parkiran basement.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sena menggelengkan kepala ketika sudah berhasil mendudukkan diri. Dia memicingkan mata, menelaah posisinya. Ruangan kamar yang dominan putih – abu-abu, cukup maskulin. Tidak ada pigura apapun, tidak ada pernak-pernik apapun yang dapat menjelaskan. Tapi dia tetap menelan dua pil aspirin dan segelas air yang ada di nakas samping tempat tidur. Lalu kembali merebahkan dirinya, berharap pusingnya mereda.
Kilasan dirinya masuk ke pub datang secepat kilat. Memesan minuman dan berakhir mabuk. Dia tidak tahu lagi setelah itu, segalanya menjadi samar. Dia hanya mendengar seseorang berbicara dan kemudian amarahnya meledak.
