Part 33 - Ego

2.3K 306 52
                                    

Mengenakan blue jeans dan gray sweater, Olivia sudah siap berangkat menuju kafe di kawasan Bendungan Hilir yang diinfokan oleh Zain. Dia memberitahu orang rumah dahulu kalau dia akan pergi dan pulang malam. Ditemani pak Jagur, mereka berbaur dengan ratusan mobil lainnya di jalanan yang untungnya tidak begitu padat hari ini. Mungkin beberapa sibuk menjadi panitia Agustusan, dan beberapa lainnya sedang sibuk panjat pinang.

Mereka sampai sekitar satu jam kemudian. Terlambat sekitar 15 menit dari waktu yang dijadwalkan. Pak Jagur menunggunya hingga selesai karena titah Nyonya rumah.

Dengan santai, Olivia masuk ke kafé yang bernuansa retro dan juga Java chic disaat yang bersamaan. Menghiraukan tatapan orang-orang kepadanya. Dia tahu orang-orang mengerankan sandal croocs-nya yang berwarna putih. Jaman sekarang, siapa sih yang masih memakai sandal macam ini? Oh dia, tentu saja. Tapi dia tidak peduli itu. Dia akan memakai apapun yang membuatnya nyaman, dan sandal ini super-duper nyaman untuk kakinya yang tengah sakit.

Jujur, sebenarnya dia sedikit melupakan keberadaan pria itu dan permintaannya beberapa bulan lalu. Terlalu banyak kejadian dalam setahun kebelakang ini, memenuhi kepalanya, dan sialnya belum akan meledakkan kepalanya dalam waktu dekat. Sepertinya, otaknya ini masih mampu menampung beberapa pikiran rumit lagi. Tapi berkat pesan itu, Olivia kembali ke tujuan awal.

Mengetahui apapun yang terjadi dibalik kecelakaan yang merenggut nyawa adiknya.

Luas kafe ini seperti bangunan kafe pada umumnya, dan dengan penglihatannya yang tajam, Olivia dapat menemukan Zain dengan cepat. Pria itu duduk di pojok, dekat dengan meja-meja panjang yang terpasang menyatu dengan jendela lebar. Menampilkan pemandangan luar.

Olivia sudah mengangkat tangannya untuk menepuk pundak pria itu, namun langkahnya terhenti dan tangannya tertahan di udara, mengepal perlahan. Tubuhnya hanya berjarak dua langkah dari Zain sekarang. Pria itu membelakanginya dan berkat tingginya yang berada dikisaran 175 cm, dia dapat melihat pemandangan dibalik punggung itu dengan mudah.

Zain sedang menatap layar ponselnya yang menampilkan gambar seorang gadis. Gadis yang sangat dia kenali. Ibu jari Zain mengelus permukaan layar ponselnya dan napas pria itu memberat seiring dengan genggaman tangannya yang mengerat. Dia mematikan dan mengunci benda itu beberapa detik kemudian, lalu membuang pandangan ke arah jendela. Walaupun hanya melihat dari samping, Olivia tahu kalau wajah itu menampilkan ekspressi sedih yang mendalam.

Tak perlu dianalisa lebih jauh. Karena itu juga merupakan ekspressi yang sering dikeluarkannya ketika sendirian.

Olivia menarik napas dalam dan meneruskan kegiatannya yang tertunda. Zain tersentak sampai memutar tubuhnya untuk melihat.

"Sore," cicit Olivia seraya tersenyum tipis.

"O – saya pikir siapa," Zain terkekeh, air mukanya sudah normal seperti biasa. "Duduk, duduk."

"Mau minum apa? Biar saya pesankan ke barista," tawar Zain ketika dia sudah duduk nyaman.

"Mmm," Olivia melihat ke papan menu. "Koffie verkeerd aja. Terimakasih."

Di atas meja ada sudah ada segelas espresso yang dicampur vanilla milkshake dan camilan fried cassava. Zain kembali dua menit kemudian. Duduk dan menatapnya dengan tatapan takjub.

"Wow," katanya. "jadi, disana benar-benar perang?"

Olivia tidak bisa menahan tawanya akibat pertanyaan polos situ. "Iya."

"Senjata laras panjang?"

"Mmm-hmm," Olivia mengangguk.

"Bom dengan berbagai macam daya ledak?"

Final Masquerade Series (#3) : Bring The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang