Part 32 - silver sulfadiazine

2.2K 352 32
                                    

Olivia berdecak pelan. Sena benar-benar melakukannya dengan sangat baik. Tidak sia-sia usahanya pusing tujuh keliling karena meladeni pertanyaan pria itu saat sesi mentoring. Olivia baru sadar kalau pria itu suka sekali merendahkan dirinya. Dia sering mengatakan kemungkinan-kemungkinan jelek saat mencoba membawa Raptor, tapi buktinya sudah jelas di atas sana.

Kalau diingat-ingat lagi, Sena itu Kapten. Sepayah-payahnya dia membawa jet, pasti akan terlihat mulus saja dimata orang lain. Jam terbangnya lebih banyak daripada Olivia, begitupula dengan pengalamannya. Ketakutan itu murni hanya rasa nervousnya saja. Dan mana mungkin dia tidak bisa? Saat masa pendidikan, Sena pasti pernah membawa Raptor atau Falcon setidaknya satu kali. Rasanya tidak akan begitu asing.

Raptor terbang cukup rendah sampai suara raungan mesinnya begitu menulikan telinga. Dan hingga jarak tertentu mereka terbang menukik keatas sambil berputar pelan. Raptor yang dikendalikan Sena memiliki timing yang baik dengan anggota yang lain.

Olivia mengangguk ketika Sena tidak melakukan kesalahan sedikitpun. Untuk orang yang berlatih dalam empat hari saja, Sena sempurna. Ketika Olivia ingat kalau itu adalah gerakan terakhir dalam atraksi sebelum terbang mengelilingi kota Jakarta dan pulau Jawa, dia berhenti mendongak menatap langit dan masuk kembali ke dalam gedung.

Hangar tampak lenggang karena beberapa jet maupun heli sedang dipakai untuk meramaikan jalannya acara HUT RI. Dia mendekat ke F-16 yang diam di sudut ruangan. Tak perlu dijelaskan lagi, dia rindu dengan kekasihnya ini. Dipaksa menjauh darinya ternyata berat juga. Olivia sendiri tidak menyangka kalau ternyata dia bisa sampai sejauh ini. Benda yang dulu menakutkan dimatanya ternyata sudah menjadi sahabat – kekasihnya sekarang.

Dia mengelus bagian sayap kiri. "I'll be back soon."

Olivia keluar dari hangar sambil beberapa kali membalas sapaan dari orang lain. Sudah cukup. Dia ingin pulang saja dan mengistirahatkan kakinya, seperti yang dikatan Deka kemarin jika ingin cepat sembuh. Jika dia tetap berada disini, mungkin dia akan menangis meraung-raung kepada komandannya dan meminta izin untuk menerbangkan Falcon.

Olivia berjalan menuju parkiran dan memegang handle pintu Jeep hitam di bawah pohon. Dia baru membukanya sedikit saat sebelah lengan kekar hinggap di kaca dan menutupnya kembali. Dia tersentak dan menoleh, tertegun menatap wajah yang sudah lama tidak dilihatnya.

"Hi, Angel."

Zain terbengong menatap tv

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Zain terbengong menatap tv. Dia barusaja selesai menyaksikan jalannya upacara HUT RI yang diadakan di Istana Negara pagi ini, dan setelah itu dia tidak tahu ingin melakukan apa. Alhasil, dia hanya terdiam menatap benda flat itu dan tidak berniat untuk menggantinya ke saluran lain. Biasanya akan menonton Nat Geo tentang Great Megastructure yang disukainya, tapi seluruh energinya entah hilang kemana.

Bahkan ponselnya yang berdering di atas meja tidak diacuhkannya.

Calx berdiri diam di dekat tangga untuk menyaksikan semua itu. Dia menghela napas panjang. Semenjak kepergian Maria, segalanya terasa berbeda bagi atasannya itu. Zain yang dikenal selalu memiliki segudang aktifitas positif seakan mati, menghilang. Calx memakluminya, sangat memakluminya. Kehilangan orang terkasih memang berat, apalagi dengan cara yang seperti itu.

Final Masquerade Series (#3) : Bring The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang